Meneladani Kepatriotan Puan Maharani

Oleh: Diniar N. Fadilah

Kemarin malam, secara tak sengaja saya menemukan sebuah artikel yang dimuat oleh salah satu portal berita online. Apa yang membuat saya tertarik untuk membaca artikel itu sampai usai adalah judul dan gambar yang ditampilkannya.  Dan harus saya akui, judul serta gambar yang ditampilkan itu juga sukses membuat saya menarik bibir untuk menciptakan sesimpul senyuman. Judulnya begini: Selain Plang Restoran Pringsewu, ini 4 Hal yang Sering Ditemui di Jalanan. Ada di Mana-mana lo! Sementara gambar yang ditampilkan adalah sebuah baliho dengan tulisan Selamat Datang Kepak Sayap Kebhinekaan lengkap dengan potret sesosok perempuan muda penuh kharisma bernama Puan Maharani.

Sebagai seorang yang sudah hampir dua tahun tak pernah berpergian kemanapun selain ke rumah sakit, sejujurnya saya tak tahu apakah yang ditulis dalam artikel itu adalah sebuah kenyataan atau hanya kejulidan belaka. Maksud saya, saya sungguh tidak tahu apakah benar baliho bertuliskan Selamat Datang Kepak Sayap Kebhinekaan yang dilengkapi potret sesosok perempuan muda penuh kharisma itu ada di mana-mana sampai pantas disandingkan dengan plang sebuah restoran legendaris.

Baca Juga: 

Dua Kekhilafan yang Seyogianya Dihindari oleh Akademisi Saat Menulis untuk Media Massa

Meskipun begitu, terlepas dari benar atau tidaknya informasi yang ditampilkan, saya sangat tidak setuju pada komentar-komentar julid yang dilayangkan oleh para netizen. Bayangkan saja! Apakah pantas komentar semacam “membuat rusak pemandangan saja”, “curi start”, dan “dumeh (mentang-mentang) partai penguasa” dilayangkan kepada seorang ketua dari sebuah lembaga yang punya kuasa setinggi langit? Tentu tidak, bukan? Maka dari itu, saya membuat tulisan ini sebagai sebuah ikhtiyar dalam rangka membedah fenomena baliho yang mengalahkan pamor plang sebuah restoran legendaris itu dari sudut pandang yang lain.

Saya tidak mengerti kenapa fenomena baliho yang katanya bertebaran di sepanjang jalan itu harus dipandang sinis. Saya juga tidak habis pikir kenapa orang-orang begitu suudzon pada sebuah baliho yang punya warna latar belakang mirip dengan warna partai penguasa itu. Karena bagi saya, fonomena kemunculan baliho yang disebut-sebut punya ukuran segede gaban itu adalah sebuah misi mulia yang harus diteladani. Ya, misi mulia untuk menggerakkan ekonomi rakyat di masa pandemi.

Proyek menghadirkan puluhan bahkan mungkin ratusan baliho besar itu tentunya butuh biaya yang tidak sedikit. Selama ini, kita semua termasuk para netizen julid yang berkomentar di artikel yang saya baca, terlalu sibuk mempertanyakan darimana biaya itu berasal. Kita melupakan alur selanjutnya, yaitu kemana anggaran itu mengalir.

Baca Juga:

Teriakan Lantang di Depan Pencuri

Padahal nyatanya sebagian anggaran itu menyentuh banyak wong cilik alias orang kecil yang membutuhkan, sebagian sisanya entah menyentuh siapa. Mari sama-sama berfikir jernih untuk merinci siapa saja yang terbantu oleh proyek pengadaan baliho bertuliskan Selamat Datang Kepak Sayap Kebhinekaan yang disertai potret sesosok wanita muda penuh kharisma bernama Puan Maharani itu.

Pertama, pekerja kreatif yang terlibat dalam pembuatan konsep baliho. Membuat sebuah baliho yang menarik tentunya tak bisa dilakukan oleh orang sembarangan. Ada seorang atau bahkan tim fotografer yang memotret sang tokoh, ada desainer grafis yang membuat konsep baliho, dan pasti ada pihak yang bertugas untuk mencari narasi yang wah.

Kedua, pihak percetakan yang memenangkan tender untuk mencetak baliho sarat pesan tersirat itu. Saya tidak tahu apakah baliho-baliho yang akhirnya dipasang di berbagai daerah itu dibuat di satu tempat kemudia didistribusikan ke banyak tempat atau dibuat oleh beberapa percetakan yang tersebar di banyak tempat. Yang jelas, bagaimanapun bentuk kerjasamanya, proyek pengadaan baliho ini tentu menjadi angin segar bagi pihak percetakan di masa pandemi seperti ini.

Baca Juga:

Gadis yang Tak Dilahirkan untuk Mengabdi Kepada Ketakutan

Ketiga, penjual bambu. Yup, karena baliho itu harus berdiri kokoh di tempat-tempat strategis, kehadiran material penyokong seperti bambu mutlak diperlukan. Jika satu baliho saja butuh 4 batang bambu sebagai penyangga, sudah terbayang bukan berapa banyak penjual bambu yang meraup rupiah dari proyek pengadaan baliho ini?

Keempat, tenaga harian pemasang baliho. Tentunya baliho itu tak bisa terbentang dengan sendirinya. Ada banyak orang yang mendapat tugas untuk memasang baliho-baliho itu dalam kesenyapan. Dan tentunya juga orang-orang ini tak mungkin bergerak tanpa asupan kopi, rokok, dan sejenisnya.

Kita harus membuka mata kalau proyek pengadaan baliho bertuliskan Selamat Datang Kepak Sayap Kebhinekaan itu telah menggerakan roda perekonomian banyak pihak di masa pandemi seperti ini. Kita juga harus mengapresiasi langkah Puan Maharani yang begitu patriot, rela dibully demi memutar roda perekonomian beberapa rakyat yang tersendat. Dan saya kira tak berlebihan jika Puan Maharani dan keteladanan sikap patriot yang ditunjukkannya itu sangat perlu dicontoh oleh semua generasi muda. #BismillahKomisaris

Tak perlu protes. Kan saya sudah bilang kalau semua sepak terjang beliau termasuk dalam mencari simpati untuk mencapai tujuan tertentu itu perlu diteladani. Dan saya hanya berusaha meneladaninya.


Diniar N. Fadilah. Penulis lahir di Cilacap pada tanggal 4 Mei 1998. Kecintaannya pada dunia kepenulisan mulai tumbuh saat ia duduk di bangku sekolah dasar, dan terus diasah sampai sekarang. Cerpen-cerpennya yang banyak mengambil setting kehidupan masyarakat pedesaan dimuat di beberapa media baik cetak maupun elektronik seperti mingguan Joglosemar, metamorfosa.co, dan serikatnews.com. Selain menulis cerpen, Diniar juga gemar menulis esai. Salah satu esainya yang berjudul Menjadi Ken Arok Di Era Global menyabet juara 1 dalam lomba menulis esai yang diadakan oleh Nalar Politik dan IPMAJU tahun 2017. Diniar dapat disapa melalui akun facebook Diniar N. Fadhilah serta instagram dan twitter di akun @dhianufha.

Reporter: KilatNews