SETIAP tahun, ribuan pemuda Indonesia akan mengucapkan ikrar persatuan seperti yang telah dilakukan oleh pendahulunya lebih dari 100 tahun yang lalu. Tiga bait sumpah nan sakral didengungkan di seantero negeri pertiwi. Bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu, dan berbahasa satu. Semua yang memiliki nurani patut berbangga diri ketika punya kesempatan untuk mengucapkannya. Sebuah sumpah yang agung, yang dalam sejarah dikenal sebagai awal persatuan bangsa Indonesia secara modern.
Dalam perkembangannya, mahasiswa mengadopsinya menjadi sumpah mahasiswa. Menyatakan bahwa satu tanah air yang dimaksud adalah tanah air tanpa penindasan. Berbangsa yang satu, bangsa yang gandrung akan keadilan. Serta berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.
Apa yang digaungkan lewat sumpah mahasiswa pada dasarnya adalah sebuah interpretasi atas sumpah pemuda. Mahasiswa berupaya menemukan makna atau mungkin lebih tepatnya menentukan kriteria dari apa yang disebut tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia.
Bukanlah sebuah kesalahan jika kita kembali mengulang untuk memaknai bait demi bait sumpah nan sakral tersebut. Mempertanyakan tanah air seperti apa yang dimaksud hari ini juga bukan suatu kesalahan tentunya.Secuil Tanah dan Setetes Air dari Surga Menggambarkan seberapa kaya Indonesia memang tidak butuh ilmu yang rumit.
Mendengarkan lagu Kolam Susu saja sudah cukup untuk memberi gambaran kekayaan alam yang kita miliki. ‘Kail dan jala cukup menghidupimu’ berusaha mengungkapkan betapa melimpahnya kekayaan bahari yang dimiliki Indonesia. Keberadaan lautan Indonesia di segitiga koral dunia menjadikannya sangat kaya akan biota laut. Mulai dari ikan pelagis hingga predator ada di dalamnya. Bahkan, saking banyaknya, lagu tersebut menggambarkan bahwa ikan dan udang yang akan menghampiri kita. Tidak perlu usaha berarti hanya untuk mendapatkan protein hewani dari lautan Indonesia.
Kesuburan tanah yang dimiliki Indonesia juga ‘ajaib’. Tidak perlu bibit unggul dan hybrid untuk dapat ditanam di Indonesia jika tongkat kayu dan batu saja bisa jadi tanaman. Tanah gambut, tanah alluvial, hingga tanah vulkanis terdapat di Indonesia. Hutan mangrove, savana, hingga hutan hujan tropis juga tak ketinggalan.
Sungguh kekayaan surgawi yang menentramkan. Sebelum akhirnya kita menyadari ada para pencuri yang mengendap-endap datang. Bahkan ada juga pencuri yang dengan terang-terangan minta izin kepada mereka yang duduk di teras untuk mengambil apa yang kita miliki. Pencuri yang menjadikan nelayan yang sudah bermil-mil melaut tak kunjung didatangi ikan dan udang. Pencuri yang menjadikan kita harus mengimpor sesuatu yang bahkan bisa tumbuh sangat subur di tanah yang bisa menumbuhkan tongkat kayu dan batu sekalipun. Pencuri yang menjadikan kita itik yang mati di lumbung padi.
Pasukan Berani Mati Takut Lapar
Ada yang tidak menyadari bahwa pencuri kekayaan alam Indonesia mengahadang dari segala penjuru. Ada pula yang menyadari kedatangan si pencuri tapi tidak tahu apa yang harus diperbuat. Tidak bisa dipungkiri, pesona dari para pencuri memang mengagumkan. Mereka memakai baju yang lebih rapih dan mahal dari apa yang biasa kita kenakan. Mereka juga punya alat-alat yang lebih canggih dari apa yang kita miliki hingga membuat kita hanya bisa terdiam keheranan. Seperti armada Wiranggaleng yang bersenjatakan cetbang melihat meriam Peranggi dalam novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer.
Saya teringat sebuah pengalaman di usia 6 atau 7 tahun. Kala itu, truk yang membawa trafo-trafo raksasa melintasi desa kami. Warga desa, termasuk saya berbondong-bondong ke tepi jalan untuk melihat truk yang lebih besar beberapa kali lipat dari apa yang biasa kami temui di desa. Segala macam pekerjaan ditinggalkan untuk melihat truk yang berjalan sangat pelan akibat beratnya beban dan antrian panjang kendaraan di belakangnya.
Tidak ada yang berani mengeluarkan suara sumbang ketika melihat truk besar itu melintas. Apalagi berani memblokade jalan dan menentang truk besar itu untuk menghentikan perjalanannya. Tidak pula para pemuda desa berbadan kekar yang fikirannya terlanjur dirajai oleh keinginan bekerja di truk besar tersebut. Bahkan, ketika alat-alat berat datang ke desa kami untuk mengeruk tanah, para pemuda hanya diam.
Sekali lagi, fikiran mereka terlanjur dirajai oleh keinginan bekerja di proyek itu. Dan ketidakberanian itu masih berlanjut sampai hari ini. Para pemuda, yang berintelektual sekalipun atau yang biasa kita kenal sebagai mahasiswa hanya bisa diam melihat belantara Indonesia digunduli. Tidak ada yang berani melawan ketika melihat pantai ditimbun dan menjadikan nelayan tidak bisa lagi didatangi ikan dan udang. Apalagi memblokade pencuri-pencuri yang mengubah bukit emas menjadi kubangan yang dalam.
Sesekali perlawanan dan suara-suara menentang hadir. Namun kehadirannya seakan hanya menjadi penyemarak pesta pora para pencuri. Suara kecaman itu seketika menguap ketika membentur degilnya dinding birokrasi. Keberanian menantang meriam seketika tumpas saat ditawari insentif dari korporasi. Keputusasaan terlalu mudah merasuki jiwa para pasukan yang berani mati tapi takut lapar itu. Dimana pun dan kapan pun juga persoalannya akan selalu sama. Ketidakberanian itu hanya disebabkan oleh dua hal ; kekaguman pada apa yang dibawa oleh para pencuri serta fikiran yang terlanjur dirajai oleh keinginan bekerja di perusahaan para pencuri.
Kompromi akan selalu hadir manakala terdapat ketidakmampuan dalam mewujudkan cita-cita awal. Seperti hal nya dalam mewujudkan sumpah pemuda. Ikrar bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia terlalu general untuk dapat diwujudkan. Tanah air Indonesia mencakup banyak sekali aspek dan dimensi.
Kemudian mahasiswa menyederhanakannya sebagai sebuah bentuk ‘kompromi’ atas generalnya makna tanah air Indonesia. Dimensi kemerdekaan diambil sehingga tercetus bertumpah darah yang satu, tanah air tanpa penindasan. Perwujudan tanah air tanpa penindasan masih membentur dinding kokoh ketidakmungkinan. Kemungkinan penyebabnya ada dua ; kita selaku generasi muda yang tidak kekeuh memperjuangkan tanah air tanpa penindasan atau birokrasi yang terlalu kokoh dalam melindungi penindasan.
Lantas, ketika ketidakmungkinan itu kita ilhami, apa yang akan terjadi? Akankah kita kembali berkompromi dengan ketidakmampuan? Akankah sumpah ‘bertumpah darah yang satu, tanah air tanpa penindasan’kembali kita kompromikan mejadi ‘bertumpah darah yang satu, tanah air dengan penindasan tak apa, asal bukan golongan kita yang tertindas’?
Rasa-rasanya Tan Malaka benar dengan ucapannya yang menyatakan bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda. Tentunya pemuda yang memiliki kemewahan berupa idealisme bukanlah mereka yang hanya hafal íkrar ‘bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia’ tapi juga pemuda yang berani meneriakkan dengan lantang ‘ini tanah air saya’di depan hidung para pencuri.
Penulis adalah Diniar N. Fadilah lahir di cilacap pada tanggal 4 Mei 1998. Sejak dibangku sekolah dasar ia sudah mencintai dunia tulis menulis. Bahkan esainya berjudul “Ken Arok Di Era Global” menyabet Juara 1 dalam lomba esai yang digelar oleh Nalar Politik dan IPMAJU.