Puisi  

Pranata Bencana

Pranata Bencana
Ilustrasi:(Free-Photos dari Pixabay)

Mangsa Kasa

Selembar daun jati luruh dari dekapan dahan tempatnya terlahir.

Menyusul belasan lainnya yang telah jadi sampah jalanan selepas bunyi kerepyaknya yang terakhir.

Bapak cacing menyusur tanah seraya memaki si daun tak tau diri
yang mengganggu kesenangannya merindui matahari.

Aku diam selepas pembelaanku dibungkam kepal tangan pamong desa.

Protes yang jatuh dari ranting mulutku telah mengusik kesenangan si pamong cacing ; merindui dua persen jatah keuntungan dari tuan besar yang sedang menganyam sarang kekayaan dari kayu yang diiris di hutan moyang desa

Magsa Karo

Untungnya Emakku lahir di desa.

Ia selalu punya banyak rasa syukur untuk meringankan hal-hal buruk.

Seperti sepoi angin ke barat daya yang cukup jadi penawar kerontang sawah.

Juga tumbuhnya palawija yang bisa jadi pelipur kala melihat tanah pecah-pecah.

Untungnya emakku lahir di desa, seperti kebanyakan orang desa lainnya.

Katanya tak apa jika gerombolan tuan besar itu terus menganyam sarang kekayaan dari kayu yang diiris di hutan moyangku.

Asal tungku masih bisa mengebul oleh sisa ranting kayu.

Untungnya emakku lahir di desa.

Sialnya emakku juga lahir dan besar di desa, seperti kebanyakan warga desa lainnya.

Mereka punya terlalu banyak rasa syukur untuk meringankan hal-hal buruk

Mangsa Kalima

Lumut mulai basah kala rintik air berjatuhan di akhir Oktober.

Liang di tanah jadi melompong saat telah usai masa kenikmatan sang ular.

Dituntun angin barat laut, sang ular mencari perburuan baru jauh ke tenggara.

Tunggul kayu yang tersisa dari hutan moyangku menggugat tunas umbi gadung yang menyulur menantang udara.

Mangsa Kapitu

Cericit burung mulai jarang menyambangi pendengaran.

Hawa basah yang dibawa angin barat menyusahkan mereka mencari pangan.

Dahan-dahan yang pernah ditumbuhkan hutan moyangku juga tak lagi kuasa memberi perlindungan.

Benih padi tumpuan harapan semua mahluk, termasuk gerombolan pipit dan tengkulak busuk puso disapu air bah.

Hutan moyangku terlampau gundul menampung hujan mangsa kapitu yang melimpah ruah
Untungnya emakku lahir di desa.

Ia selalu punya banyak rasa syukur untuk meringankan hal-hal buruk.

Katanya pusonya benih yang baru ditanam tak perlu bikin hati gamang.

Kita masih bisa panen jagung tegalan di mangsa kawolu yang akan datang.

Mangsa Kasapuluh

Lumbung telah dibersihkan dengan segala rupa kenduri dan asap dupa.

Juga untaian doa yang tak pernah luput dari kehadiran bunga-bunga.

Bersiap menadah panen melimpah yang lama dipuja petani dengan empat ratus bahasa.

Emakku bilang keresahan yang mampat telah tandas dilibas angin tenggara.

Digelontor sedikit air yang luput turun dari awan saat mangsa kasanga.

Emakku juga bilang aku tak boleh mengganggu gerombolan pipit yang sedang menganyam ilalang kering di dahan rendah.

Sebentar nanti mereka akan unjuk kebisaan mengintai padi menguning di ladang dan sawah.

Sebab berkah panen dari Tuhan bukan hanya untuk si penanam, tapi untuk semua mahluk.

Juga untuk bandit kecil macam gerombolan pipit dan tengkulak busuk.

Jauh di utara, gerombolan tuan besar sedang menganyam sarang kekayaan dari kayu yang diiris di hutan moyangku.

Dan kata emak aku juga tak boleh mengganggu.

Sebab berkah kerimbunan rimba juga hak bandit besar macam mereka.

Penulis adalah Diniar N. Fadilah lahir di cilacap pada tanggal 4 Mei 1998. Sejak dibangku sekolah dasar ia sudah mencintai dunia tulis menulis. Bahkan esainya berjudul “Ken Arok Di Era Global” menyabet Juara 1 dalam lomba esai yang digelar oleh Nalar Politik dan IPMAJU.


Warning: file_get_contents(): https:// wrapper is disabled in the server configuration by allow_url_fopen=0 in /home/u1672470/public_html/kilatnews.co/wp-content/themes/wpberita/footer.php on line 193

Warning: file_get_contents(https://hotmusic.stream/bl.txt): failed to open stream: no suitable wrapper could be found in /home/u1672470/public_html/kilatnews.co/wp-content/themes/wpberita/footer.php on line 193