Mencintai Ulama Ala Bung Karno?
Oleh: Chairul Anwar
KilatNews.Co- Koesno Sosrodihardjo atau Soekarno kemudian dikenal sapaan Bung Karno memang bukan termasuk seorang tokoh pemikir dan pejuang bangsa dari kelompok agama. Pria yang lahir pada 6 Juni 1901 itu, juga bukan berasal dari keluarga yang kental nuansa Islamnya.
Soekarno lahir dari pasangan Raden Sukemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Ray. Ayah Bung Karno meski beragama Islam, namun lebih condong sebagai penganut ‘Islam Abangan’, atau dikenal dengan penganut Kejawen serta seorang anggota teosofis. Sementara Ibunda, merupakan anak dari seorang pandita Hindu-Bali.
Soekarno kecil memang tidak mendapat pemahaman yang cukup tentang agama Islam sebagai agama yang dianutnya, maka dari itu, dia melakukan pencaharian sendiri akan Tuhan-Nya melalui buku-buku bacaan maupun bertanya kepada orang-orang yang dianggapnya memiliki pemahaman lebih tentang Islam. Hal ini dilakukan terus menerus, mulai dari masa kecilnya hingga ia menjadi seorang proklamator dan presiden republik Indonesia.
Jika menilisik dari sejarah tentang Soekarno muda, dimana masa muda inilah pengetahuannya tentang agama Islam mulai menemukan jalan. Soekarno muda sangat erat hubugannya dengan para cendikiawan, tokoh dan pemikir muslim dan organisasi-organisasi islam.
Menurut catatan sejarah pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) supaya memudahkannya diterima di Hogere Burger School (HBS). Pada tahun 1915, Soekarno Sudah menyelesaikan studinya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur.
Bung Karno bisa diterima di HBS atas bantuan H.O.S. Tjokroaminoto yang merupakan tokoh Sarekat Islam dan temen Ayah Bung Karno. Tjokroaminoto kemudian memberi tempat tinggal untuk Bung Karno di pondokan kediamannya di Surabaya.
Saat tinggal dipondokan Tjokroaminoto inilah Bung Karno banyak mengenal tokoh-tokoh dan pemuda-pemuda yang bergabung dengan organisasi Sarekat Islam. Sarekat Islam yang semula bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) merupakan organisasi yang secara lantang menentang segala ketidakadilan dalam sistem kolonialisme di Indonesia. Ditempat ini pula jiwa politik Bung Karno bersama dengan teman-teman diskusinya mulai tumbuh berkembang.
Setelah melalui masa muda dan menginjak usia yang mulai matang, Soekarno banyak mengenal para tokoh-tokoh dari kalangan agama. Selain H.O.S Tjikroaminoto, Soekarno juga mengenal KH. Ahmad Dahlan, KH. Agus Salim dan Habib Ali bin Abdurahman Al Habsyi Kwitang.
Bukan hanya sekedar mengenal, Soekarno juga membangun hubungan baik yang sangat erat dengan para tokoh ulama Islam dan organisasi Islam di Indonesia. Saling bahu membahu untuk mempertahankan dan merebut kembali republik Indonesia dari tangan kolonialis-imperialis.
Sejarah juga menyebutkan tentang hubungan Habib Ali Al Habsyi kwitang dengan Soekarno yang sangat menarik. Dimana menurut sejarah yang diceritakan oleh para ulama, Kyai dan Habaib, Soekarno pernah “nyantri” di majelis kwitang atas usulan M. Husni Thamrin. Istilah ini digunakan karena pada saat soekarno diamankan dari penjajah.
Kediaman Habib Ali Alhabsyi Kwitang dipilih oleh M. Husni Thamrin karena saat itu Habib Ali adalah orang yang sangat dihormati oleh orang-orang pribumi, bahkan oleh para penjajah. Soekarno tinggal di kediaman Habib Ali kurang lebih selama 4 bulan. Dimana selama 4 bulan itu, Habib Ali banyak memberikan sumbangan pemikiran bagi kemajuan umat, bangsa, dan negara.
Selain itu, habib Ali Habsyi juga mengajarkan Islam yang lebih dalam serta mengenalkan Nabi Muhammad S.A.W kepada Bung Karno.
Karena hubungan Soekarno dan Habib Ali yang sangat mendalam, bahkan menurut sejarah yang dicatat dan diceritakan oleh orang-orang kwitang. Pagi sebelum teks proklamasi kemerdekaan dibacakan, Soekarno mendatangi Habib Ali Al-Habsyi dengan
sepedahnya untuk meminta pendapat tentang kemerdekaan Indonesia yang akan dilakukan. Hal ini berdampak pembacaan teks proklamasi mengalami keterlambatan.
Setelah Indonesia merdeka dan soekarno menjadi presiden RI pertama, hubungan baik Soekarno dengan para ulama semakin erat. Bahkan bung karno kerap kali merayakan hari besar agama Islam di istana kepresidenan dan mengundang banyak para ulama dan habaib.
Ulama, Habaib maupun cendikiawan muslim tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Soekarno. Dari Soekarno kecil hingga Soekarno sang proklamator disetiap kisah hidupnya, Soekarno dikelilingi oleh tokoh-tokoh agama.
Selain kemerdekaan, Bung Karno juga meninggalkan banyak ajaran yang bisa diterapkan oleh setiap individu. Selain “marhaenisme”, kedekatan Bung Karno dengan para ulama juga bisa dijadikan ajaran. Karena semangatnya untuk mengetahui tuhan dalam ajarannya, mengarahkan Soekarno untuk kenal banyak tokoh-tokoh agama Islam dan menerapkan, serta membangun kesadaran tentang agama disela-sela pidatonya. Menjadikan para ulama sebagai teman bicara, meminta masukan dan arahan. Sehingga peran para ulama tidak bisa dipisahkan dari hal yang menyangkut Ir. Soekarno.