Kilatnews.co – Pengamat politik Farisi Aris menilai pemberhentian Aswanto oleh DPR sebagai hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi sangatlah politis.
Sebab, menurut pengamat politik yang juga Direktur Akademi Hukum dan Politik (AHP) Yogyakarta itu alasan pemberhentiannya sama sekali tidak rasional, hanya karena Aswanto dinilai tak lagi mewakili kepentingan DPR.
”Bayangkan, Aswanto diberhentikan hanya karena ia dinilai tidak berpihak pada produk-produk DPR,” katanya pada Jumat, (30/9/2022).
Padahal, menurutnya, meski tiga hakim konstitusi pada MK itu diusulkan oleh DPR, bukan berarti DPR lalu sewenang-wenang melakukan pemberhentian sepihak.
Sebab, menurutnya, ketika hakim konstitusi itu telah resmi dilantik menjadi hakim konstitusi pada MK, tugasnya adalah mengawal tegaknya nilai-nilai dan norma-norma konstitusi, bukan mewakili kepentingan DPR atau kepentingan lembaga mana pun.
”Tugas hakim konstitusi itu adalah mengawal konstitusi, bukan mewakili kepentingan mana pun,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa, mekanisme pengangkatan hakim sembilan konstitusi yang berasal dari tiga cabang kekuasaan, yakni DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung, yang masing-masing berhak mengajukan tiga hakim konstitusi sesuai Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, itu harus dimaknai sebagai upaya menyeimbangkan kekuasaan kehakiman pada MK, bukan sebagai wakil daripada tiga cabang kekuasaan tersebut.
”Bahwa menurut Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 sembilan hakim konstitusi tiga diantaranya diusulkan oleh DPR, tiganya dari Presiden, dan tiganya lagi dari MA, mestinya itu dimaknai sebagai upaya untuk menyeimbangkan MK sebagai lembaga kehakiman, ini yang kita sebuat sebagai _check and balances,_ bukan mewakili kepentingan politik masing-masing lembaga yang mengusulkan,” paparnya.
Karena itu, bagi Direktur AHP itu adalah wajar bila hakim-hakim konstitusi yang ada di MK, termasuk tiga hakim usulan DPR, tidak semuanya mendukung produk-produk DPR itu sendiri. Sebab, pada kenyataannya, sembilan orang hakim itu bekerja pada kepentingan-kepentingan konstitusional, bukan kepada lembaga pengusulnya.
”Jadi, menurut saya, adalah fatal bila DPR memberhentikan salah satu hakim konstitusi hanya karena tidak berpihak pada kepentingan-kepentingan DPR,” pungkasnya.
Sebab, menurutnya, dalam praktiknya, sembilan orang hakim konstitusi itu memang dituntut untuk tidak berpihak pada kepentingan mana pun kecuali kepentingan-kepentingan yang sifatnya konstitusional.
Sebab itu, ia menilai, jika sembilan hakim konstitusi itu dituntut dan harus mewakili lembaga pengusulnya, itu artinya MK bukan lagi lembaga yang independen. Dengan kata lain, dengan begitu, ia menilai MK tak lebih dari sekadar ”boneka DPR” dan dua lembaga lainnya.
”Jika kita menuntut sembilan hakim itu mewakili masing-masing lembaga pengusulnya, itu berarti MK tidak lagi independen, tak lebih dari sekadar boneka,” ungkapnya.
Karena itu, pihaknya mengatakan bahwa persepsi politik yang memposisikan para hakim MK itu sebagai wakil daripada lembaga pengusulnya, harus direvisi. Menurutnya, sembilan hakim konstitusi pada MK tidak mewakili kepentingan mana pun.