Menelisik Makna Puisi “Dalam doa” Karya Sapardi Djoko Damono

Menelisik Makna Puisi “Dalam doa”

Menelisik Makna Puisi “Dalam doa” Karya Sapardi Djoko Damono

Oleh : Fiana Afifah


KilatNews.Co Mengenal sosok Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono atau lebih akrab disapa sebagai “Eyang Sapardi” seorang pujangga berkebangsaan Indonesia yang terkemuka. Di kalangan orang banyak, terkhusus mereka yang begitu tertarik dengan dunia sastra, maka nama Eyang Sapardi sudah tidak asing dan tidak perlu di ragukan lagi.

Berbagai karyanya begitu kental dan lekat akan dunia kesastraan akan membuat siapa saja yang menikmatinya merasa terenyuh. Kata demi kata, bait demi bait, bahkan keindahan kalimat tiap karyanya begitu berkesan dan meninggalkan perasaan candu untuk terus menikmatinya.

Sastrawan hebat nan terkenal ini memang sudah tidak perlu di ragukan lagi akan keciamikan karyanya. Kepiawaiannya mempadu padankan setiap bait kata sederhana namun sirat akan makna menjadi ciri khas dirinya.

Eyang Sapardi, terbilang mampu  mengekspresikan hal-hal sederhana, namun penuh akan makna kehidupan sehingga membuat karya-karya yang dibuatnya begitu dicintai oleh para penggemarnya, baik di kalangan para sastrawan maupun khalayak umum sekalian.

Salah satu bukti ke-eksistensi-an karya beliau adalah adanya buku-buku berisi kumpulan puisi ciptaannya; seperti buku “Hujan Bulan Juni” yang bisa di katakan sebagai “roh” dari semua karyanya, tak hanya buku ciptaannya saja yang memikat di hati penggemarnya. Bahkan sajak yang tercipta dari sentuhan tangannya seperti sajak; “Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana” yang tentunya sudah sangat tidak asing di telinga khalayak ramai.

Sajak yang berisi kiasan namun memiliki makna mendalam bagi mereka atau bahkan kita yang sedang jatuh kedalam sebuah lubang bernama perasaan.

Mengenai karya-karya bombastis dan ciamik yang beliau ciptakan tentunya tidak akan pernah ada kata usai untuk menelaahnya secara mendalam. Satu lagi karya beliau yang begitu menarik dan memiliki makna tersendiri adalah puisi “Dalam Do’aku”.

Dalam Doaku

Dalam doa subuhku ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata,

yang meluas bening siap menerima cahaya pertama,

yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara

Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,

dalam doaku, kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa,

yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil

kepada angin yang mendesau entah dari mana

Dalam doaku sore ini,

kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,

yang hinggap diranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu,

yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan manga itu

Magrib ini dalam doaku,

kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun di angsana,

bersijingkat di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

Dalam doa malamku,

kau menjelma denyut jantungku,

yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya,

yang setia mengusut rahasia demi rahasia,

yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku

Aku mencintaimu.

Itu sebabnya aku takkan pernah selesai
mendoakan

keselamatanmu.

Bila di telisik secara mendalam, puisi ini digambarkan oleh Eyang Sapardi sebagai makna pergantian waktu beribadah umat islam. Kita bisa memaknainya, bahwa waktu tersebut menceritakan tentang kewajiban kita sebagai seorang muslim, memiliki aturan waktu untuk meninggalkan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia, lantas bergegas sebagai bentuk pujian dan ucapan syukur terhadap nikmat yang Allah berikan.

Tidak banyak waktu yang di minta sang pencipta. Hanya lima kali pertemuan di setaip harinya. Dimulai ketika saat waktu terbitnya fajar (Shubuh), berganti menuju siang hari (Zuhur) ketika matahari tepat berada di atas kepala, berlanjut kembali pada waktu sore hari (Asar), menemuinya kembali ketika matahari akan meninggalkan singgasana untuk bertukar peran dengan sang rembulan saat waktu petang (Magrib), lalu dia memanggil kembali hambaNya di saat malam hari (Isya) untuk menemuiNya setelah berbagai aktivitas padat di siang hari.

Makna kata beribadah yang di siratkan oleh Eyang Sapardi dalam puisi ini adalah bait “dalam doaku”, karena di dalam agama islam kegiatan beribadah memang tidak pernah luput dari yang namanya berdoa, maka dari itu makna “dalam doaku” sangat menggambarkan kegiatan beribadah umat islam.

Tidak hanya itu, kepiawaian Eyang Sapardi dalam memilih kata-kata di setiap karyanya, membuat puisi ini memiliki makna yang luas atau universal sehingga dapat dinikmati oleh berbagai pemeluk agama lain dengan latar belakang yang beraneka ragam.

Mengamati secara mendalam makna yang terkandung disetiap baitnya, maka bait pertama pada puisi ini sudah sangat jelas menggambarkan tentang suasana waktu subuh yang begitu hening juga menenangkan serta waktu yang sangat pas untuk khusyuk dalam berdoa.

Keadaan langit yang begitu bersih membentang secara luas sudah siap untuk menyambut kehadiran Sang Fajar yang menjadi bukti nyata bahwa kebesaran Sang Pencipta benar nyata adanya dan membuat siapa saja akan terkagum karena kebesaranNya.

Dalam bait kedua, digambarkan pada saat ini telah memasuki waktu zuhur, di mana matahari begitu terasa dekat di atas kepala. Tetapi ketika kita meyakini bahwasanya Tuhan dekat dengan kita, panas matahari yang seharusnya begitu panas di waktu tersebut akan terasa begitu sejuk bagai bernaung di bawah pohon cemara hijau yang mengikutsertakan angin sepoi bersamanya. Itulah pentingnya bagi kita meyakini akan kekuasan dan keadaan Tuhan.

Bait ketiga, menggambarkan suasana sore hari atau didalam agama islam adalah masuknya waktu Asar. Bait ini menjelaskan tentang suasana sore hari yang sedang gerimis, di mana ada seekor burung yang mengibaskan sayapnya saat terkena air hujan, burung tersebutpun hinggap dari pohon jambu ke pohon mangga untuk menghindari basah sari air hujan. Bisa kita ambil pelajaran serta hikmah, bahwa burung tersebut ibarat hidayah yang diberikan oleh Tuhan, hidayah tersebut bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja sesuai dengan kehendakNya asal dia mau berusaha untuk menjemput hidayah tersebut.

Dalam sajak bait keempat, menggambarkan suasana petang di mana angin yang datang begitu terasa menyejukkan disaat dia dalam keadaan bersimpuh menyentuh lantai. Dapat disimpulkan dan dibayangkan bahwa disaat diri dengan keadaan sujud beribadah kepada Sang Khalik secara khusyuk, kita dapat merasakan kehadiranNya yang begitu dekat seperti angin sejuk, hening, dan tenang yang datang bak membelai mengenai wajah kita sebagai pernyataan bahwa semua itu adalah keberkahan dari Allah S.W.T.

Bait terakhir atau kelima, menggambarkan suasana malam hari disaat waktu Isya atau salat malam. Bait ini menyadarkan bahwa segelap apapun jalan hidup dan seberat apapun masalah yang datang, kita harus tetap percaya bahwasanya Tuhan akan tetap selalu ada bagai denyut jantung yang selalu berdetak di setiap detik. Dia akan selalu menyertai kita dan memberi petunjuk atas segala rasa sakit yang kita rasakan, asalkan kita mau untuk terus mengingatnya dan tidak berhenti memuji namaNya. Karena cinta dan keselamatan darinya akan tetap hadir disaat kita mau berdoa kepadanya.

Puisi Eyang Sapardi ini mengingatkan kita akan pentingnya untuk menghargai setiap waktu yang terjadi di dalam hidup, karena sebagai seorang muslim sudah sangat jelas di ingatkan untuk menghargai dan menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Karena pada hakikatnya waktu yang sudah terjadi tidak dapat terulang kembali.

Maka dari itu, sudah sepatutnya untuk kita berusaha menghargai dan menikmati waktu dengan sebaik-baiknya. Tidak mudah memang, tetapi disaat kita mau mencoba untuk terus berusaha, maka tidak ada yang tidak mungkin dari kehendakNya.

Salah satu caranya adalah dengan berserah diri dan perbanyak berdoa kepada Sang Kuasa. Karena, biar bagaimanapun seberat-beratnya kehidupan akan terasa lebih mudah disaat kita mau mengingatNya.

Sungguhlah kebaikan, cinta, dan keberkahan akan selalu menyertai saat kita menyadari segala kebesaran kuasa Sang Illahi.