60tahun sudah UUPA (Undang Undang Pokok Agraria) 1960 disahkan dan menjadi acuan dari segala hal yang menyangkut tentang agraria termaktub disitu. UUPA 1960 ini dirasa penting oleh pemerintahan soekarno dan bermaksud untuk menggunakan UUPA 1960 sebagai alat untuk perombakan revolusioner terhadap struktur agraria feodal dan kolonial melalui 5 jenis program. Dari 5 itu diantaranya yaitu:

1) Pembaruan hukum agraria; 2) Penghapusan hak hak asing dan konsesi konsesi kolonial atas tanah; 3) Mengakhiri penghisapan feodal sevara berangsur angsur; 5) Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah, dan, 6) Perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.

Dan tujuan akhir dari program program ini adalah mencapai “masyarakat sosialis indonesia” sebuah masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan pancasila. Seperti yang dihrapkan dari lahirnya UUPA 1960, tercipyanya sebuah tatanan masyarakat yang berhak atas tanahnya, atas penghasipannya dan atas penghidupannya.

Jika kita menelisik dari sisi historis tentang perkembangan reforma agraria dari masa ke masa, janji jani dan sebuah harapan itu hanya sekedar muncul dari mulut para poltisi maupun para pejabat di pemerintahan terkait. Dimulai dengan pemeretelan atas UUPA dengan lahirnya UU tentang penanaman modal asing 1967, ini menandai masuknya kebijakan yang pro asing dan tidak berpihak terhadap rakyat.

Dan kemudian bagaimana reforma agraria era jokowi hari ini?

Saat awal menjabat, presiden Jokowi sempat menggaungkan agenda reforma agraria sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Jika dicermati, setidaknya konsep reforma agraria Jokowi-JK memuat tiga hal pokok: legalisasi aset, redistribusi tanah dan perhutanan sosial.

Dalam agenda tersebut, Jokowi memastikan akan merealisasikan redistribusi tanah seluas 9 juta hektar untuk rakyat sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Namun, dalam praktiknya, hingga 2018 pemerintah ternyata hanya melakukan redistribusi tanah seluas 400 ribu hektare dari total 9 juta hektare yang dijanjikan. Sisanya sebatas legalisasi dan sertifikasi aset.

Parahnya lagi, pemerintah memaknai keberhasilan reforma agraria diukur dari jumlah Akta Jual Beli (AJB) dan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang ditingkatkan menjadi Surat Hak Milik. Kesalahan memaknai agenda reforma agraria itu membuat pemerintah terburu-buru merasa puas dengan kebijakan legalisasi tanah.

Hari ini juga, konflik agraria di era jokowi banyak terjadi hampir di seluruh daerah erdapat 279 kasus dalam satu tahun yang berkaitan dengan konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 734.239,3 hektare. Dari akumulasi konflik itu disebutkan 109.042 keluarga menjadi korban.

Kasus serupa bukan saja terjadi di sepanjang 2019. Jika di-flashback, sepanjang 5 tahun terakhir, eskalasi konflik di sektor agraria mengalami peningkatan cukup tajam. Di tahun 2015, KPA mencatatkan sebanyak 252 kasus konflik agraria dengan luas wilayah 400.430 hektare yang melibatkan sebanyak 108.714 keluarga.

Angka itu terus bertambah pada 2016, di mana terjadi 450 konflik agraria dengan
Sementara di 2018, sedikitnya terjadi 410 konflik agraria dengan luas wilayah konflik mencapai 807.177,613 hektare dan melibatkan 87.568 keluarga. Jika diperhatikan, rata-rata konflik agraria terjadi di sektor perkebunan dan infrastruktur. Sisanya disumbang oleh sektor lain, termasuk sektor pertanian, kehutanan, properti, pertambangan dan pesisir/kelautan.

Kita melihat didepan mata kita, disekeliling kita dan hampir diseluruh penjuru negara kita tercinta, agenda reforma agraria hanya dilakukan dengan cara seremonial saja, akan tetapi esensi dan hakikat dari reforma agraria yang telah termaktub dalam UUPA tidak disertakan dalam agenda reforma agraria ala jokowi hari ini, maka kemudian peringatan hari tani sekaligus hari lahirnya UUPA tahun ini kita harus bersama sama membangun gerakan dari bawah, kita ajak buruh tani untuk menyadari bahwasanya semua agenda agraria di era jokowi ini hanya bualan dan pencitraan semata.

Penulis, Ayatullah Fazlur Rohman
Mahasiswa FSH UIN SUKA

Reporter: KilatNews