Drama Pohon Salam
Oleh : Eli Rohmaningsih
Tidak mengerti lagi dengan jalan pikiran sang adik, Sekar memilih untuk menyerah. Perang bantal yang dipicu oleh sang adik, merubah tatanan kamar Sekar menjadi seperti Asgard yang dihancurkan oleh Surtur. Bagaimana tidak? Bisa kau bayangkan, kumpulan spidol warna milik Sekar yang biasa bertengger manis di dalam tempat pensil karyanya diatas nakas, kini sudah berpindah di bawah kolong tempat tidurnya dengan kondisi yang tidak rapih sama sekali. Jika mama tahu, bisa dipastikan kultum hariannya akan berganti menjadi tabligh akbar.
“ Ora usah melbu kamarku meneh!” teriak Sekar sembari mengusir Mahesa dari kamarnya.
“ Ya Allah, mbak. Aku cuma bercanda. Ojo ngambek to,” ucap Mahesa memohon.
“ Karepku! Sesuk-sesuk ra bakal tak kei tathering meneh!” ucap Sekar sambil menutup pintu dan menguncinya.
“ Mbakku sing paling ayu, aku tak bisa hidup tanpamu!” terdengar suara Mahesa di balik pintu.
“ Bodo amat!”
Perang bantal berakhir dengan kamar Sekar yang menjadi korban. Semua itu tidak akan terjadi, jika Mahesa tidak mengerjainya dengan telur mentah yang ia balur dengan coklat, dan dihias dengan toping chocochips, persis seperti kue cokelat kesukaannya. Dengan wajah polosnya, kue itu ia berikan kepada Sekar dengan dalih sebagai ucapan terimakasih telah membaginya hotspot beberapa hari lalu. Sekar yang telah dibuat lelah dengan laporan hariannya, mengabaikan rasa curiga yang selalu muncul ketika Mahesa berperilaku baik padanya. Ia langsung saja menggigit kue telur itu dengan semangat. Dan dengan satu gigitan besar, ia mendapatkan telur mentah di dalam mulutnya.
Sambil memunguti barang-barang miliknya yang tercecer, dalam hati Sekar memaklumi apa yang dilakukan oleh adik semata wayangnya. Mungkin Mahesa jenuh dengan tugas-tugas sekolahnya. Sedang ia tak diperbolehkan untuk bepergian dan bertemu siapapun sekadar untuk merehatkan pikirannya. Jadilah Sekar menjadi korban ke-usilannya. Barangkali ia rindu dengan aktivitas lamanya.
Aktivitas yang biasa mereka lakukan sekarang ini hanya boleh dilakukan di dalam rumah. Bersekolah tak lagi mengenakan seragam yang harus ganti di setiap harinya. Cukup dengan stay on dengan smartphone kemudian dilanjut dengan berkutat di depan PC—mengerjakan tugas. Terdengar mudah saja melakukan semuanya di dalam rumah. Mungkin bagi mereka yang kurang menyukai keramaian akan senang dengan hal seperti ini. Tapi tentu tidak dengan Mahesa.
Dibandingkan dengan kakak nya, Mahesa memang lebih aktif. Ia senang akan hal hal yang berbau tantangan karena disitu dapat ia temukan banyak ide untuk berkomunikasi dengan kakaknya. Ah tidak, kata menjahilinya mungkin lebih tepat. Perbedaan ini kerap memunculkan perselisihan kecil dalam keluarga. Seperti akan pergi kemana liburan sekolah pada tiap semesternya.
Baca Juga: Gadis yang Tak Dilahirkan untuk Mengabdi Kepada Ketakutan
Seringkali Sekar merasa kesal karena terlahir lebih dulu yang membuatnya diminta untuk lebih banyak mengalah dari adik laki-lakinya yang selalu ingin menang. Seperti saat liburan sekolah ketika mereka SD. Sekar yang tak begitu senang akan keramaian harus mau ikut berlibur ke tempat wisata yang dipenuhi wahana wahana besar dan yang menurutnya kebanyakan dari mereka ditunggui oleh dementor. Ya, Sekar tidak suka keramaian. Sebenarnya bisa saja saat itu ia menolak, tapi hal itu ia urungkan karena drama panjat pohon salam yang dilakukan Mahesa. Sifat bebal adiknya memang sudah mendarah daging jadilah ia harus menurut untuk menghindari resiko terjun bebas dari pohon salam yang dijadikan ancaman oleh adiknya.
“Le, mudun to! Kui pohone tinggi, lho.” Mama memperingatkan Mahesa untuk tidak banyak bertingkah.
“Wegah,” sedang yang dibujuk tidak memiliki niat untuk menghiraukannya sama sekali.
“Biarin saja, Ma. Nanti kalau jatuh lak kapok dhewe,” Sekar yang lelah akan sikap adiknya pun sama tak peduli.
“Sekar ngga boleh begitu. Mahesa… turun, ya, nak… iya besok kita ke Dufan. Mbak Sekar sudah mau, kok. Iya kan, mbak?”
“Sekar ngga pernah bilang gitu, Ma.”
“Pensil warna Faber Castell isi 24” tawar mama agar Sekar mau untuk mengikuti kemauan adiknya.
“Nggih mpun,” jawab Sekar mengiyakan sambil berlalu pulang ke rumah.
“Iyeaay! ke Dufaan!” teriak Mahesa dengan girang yang kemudian perlahan menuruni pohon keramat milik Pak Bejo.
Berakhirlah drama pohon salam setelah Sekar dengan terpaksa mengiyakan keinginan adiknya itu. Walau sebenarnya tidak senang, Sekar diam diam menikmati liburannya kala itu. Mengunjungi istana boneka dan rumah hantu yang menjadi favoritnya.
Meski sudah beberapa tahun silam, memori kejadian itu masih ia ingat. Dimana ia harus lebih sering menyampingkan egonya. Tidak, dia tidak membenci Mahesa. Hanya kadang kesal saja. Sekar tetap menyayangi adiknya. Bahkan sangat. Apapun ia lakukan untuk memenuhi keinginan adiknya. Seperti yang sekarang ini, meski pandemi ia tetap harus bekerja walau dari rumah. Kemarin ia mendengar rengekan Mahesa laptopnya sudah minta diganti.
Penulis, Eli Rohmaningsih. Perempuan pengabdi telor gulung ini merupakan kelahiran Ciamis 31 Desember 1998. Menyukai dunia tulis, tapi lebih suka dunia tarik suara.