Oleh: Agung Wibawanto
Ide dasar gagasan ini adalah memanfaatkan chanel YouTube sebagai media pendidikan berdasar pada kaedah jurnalistik. YouTube dikenal sebagai alternatif media sosial bagi kalangan netizen. YouTube menawarkan template berupa tayangan gambar diam (foto) maupun bergerak (video). Sebenarnya format ini juga sudah ada di jenis medsos lainnya seperti: Facebook, Instagram, WhatsApp, Twitter, Tiktok dll.
Yang membedakan, YouTube semata berisikan konten gambar dan video. Meski begitu, dapat pula dikombinasi dengan narasi yang dibacakan ataupun narasi utuh dengan latar belakang backsound (lagu). Sangat mirip dengan penayangan slide proyektor (LCD). YouTube juga bisa menayangkan konten video dengan durasi panjang (bandingkan dengan jenis medsos lainnya spt: instagram dan twitter).
Hal ini tentu menjadi suatu alternatif yang bisa dipilih bagi mereka yang lebih menyukai berbicara ketimbang menulis dalam menyampaikan konten. Pengunjung atau penonton, para netizen, sekarang ini memang memiliki kecenderungan lebih suka melihat gambar ataupun video ketimbang membaca narasi panjang. Untuk itu, YouTube begitu diminati oleh mereka yang membutuhkan informasi ataupun sekedar untuk mendapatkan hiburan berupa tontonan yang kontennya disukai.
Beberapa youtuber memang memilih satu konten khusus yang itu menandakan ciri khas chanel miliknya, misal: konten musik, kuliner, misteri, destinasi wisata, dll. Namun ada pula yang campur aduk kemudian nanti bisa dipilah dan disimpan dalam.”playlist” sesuai topiknya (semacam rubrik). Lain halnya dengan artis, yang meski meng-upload apapun di chanelnya, tetaplah banyak warga net yang melihatnya (misal: ria ricis, ata halilintar dll).
Beberapa program pun kemudian muncul akibat kreatifitas para youtuber. Dulu orang hanya sering melakukan vlog lalu di-upload ke YouTube, namun kini sudah lebih banyak cara kreatif yang ditampilkan. Ada podcast (semacam talkshow), video reaksi (menayangkan video musik/lagu lalu dikomentari), berita (informasi berita dengan menayangkan gambar ataupun potongan video), tutorial (trik atau cara membuat sesuatu), pelatihan, cerita (menampilkan narasi, ataupun dibacakan), live streaming, dll.
Ada pula host atau pemilik akun/chanel yang menutupkan wajah atau tidak menampilkan wajahnya, hanya suara saja. Semua kemudian berkembang serba mungkin (kreatifitas). Kritikan untuk beberapa konten, banyak pula yang menggunakan “trik” Photoshop (foto editan), video editan, hingga menyebarkan berita hoax tanpa perlu menyertakan sumbernya. Aturan ataupun regulasi pemerintah untuk medsos YouTube memang tidaklah terlalu ketat, sama dengan medsos lainnya.
Selama ini hanya diatur dalam UU ITE. Sementara itu adapula yang disebut admin sebagai operator jenis medsos. Lebih bersikap pasif, artinya menunggu adanya laporan dari netizen, apakah tayangan atau konten tersebut “layak” atau tidak menurut standar pemirsa. Jadi, jika ada konren yang memang dianggap tidak kita sukai, maka bisa di-unlike, dikritik melalui kolom komen, atau bahkan melaporkan kepada admin.
Jika kemudian admin menganggap konten yang dilaporkan memang berbahaya atau tidak pantas, maka admin bisa men-drop konten tersebut (menghapus), atau bahkan chanel/akun bisa kena sanksi suspend. Sebagaimana prinsip youtuber, bagaimana caranya agar banyak viewer (penonton/membuka video), like, komen dan subscribe, maka dilakukan apapun segala cara, bahkan tidak mengindahkan kaedah jurnalistik dan tidak memberi edukasi apapun sebagai sebuah tontonan.
Semakin banyak subscriber yang dimiliki sebuah Chanel, maka makin membuka peluang masuknya iklan, dan dengan demikian akan menambah pundi-pundi penghasilan yang ia dapatkan dari google. Sebagai contoh, Chanel Alip Ba Ta yang memiliki 3,5 jt subscriber bisa meraup 60-90 jt perbulannya. Teknik atau triknya, tinggal bagaimana bisa menarik penonton sebanyak-banyaknya untuk subscribe ataupun berlangganan chanel kita.
Jalan ‘manipulasi’ konten banyak menjadi pilihan, atau pula membuat konten yang kontroversi. Kadang memang semakin ‘aneh’ konten maka akan semakin banyak dilihat, sementara yang bergaya normatif justru dianggap kaku dan sudah biasa. Hal ini menjadi perdebatan di kalangan youtuber, apakah tujuannya sekadar cari rating (pragmatis) atau memberi edukasi ke pemirsa (idealis)?
Kami menawarkan konten yang dapat dikombinasikan antara keduanya. Dengan strategi ataupun konsep, membuat konten edukatif namun dengan gaya yang dipandang menarik bagi penonton. Fokus atau tema besar chanel baru nanti terkait dengan jurnalistik. Satu program baru (diantara program-program konten yang sudah ada terlebih dahulu), ditawarkan kepada netizen untuk terlibat dalam konten yang ditayangkan.
Misal, dengan mengirim tulisan (opini, berita, fiksi) yang kemudian ditayangkan dalam konten. Atau pula dengan mengirim video yang dianggap menarik. Untuk itu, akan disiapkan tim redaksi guna menyeleksi konten hingga produksinya. Berikut langkah kerja rutinnya: (1) Rapat Redaksi berdurasi seberapa sering terserah, yang tujuannya guna membahas tema atau topik yang akan dihunting sebagai bahan pengisian konten;
(2) Pilih dan cari topik-topik yang tengah panas dibahas di kalangan netizen (apapun), jangan ragu karena tujuannya memang mencari perhatian pemirsa sebanyak-banyaknya; (3) Pastikan sumber-sumber berita yang bisa dipertanggung-jawabkan; tidak membangun hoax dan fitnah. Misal, kumpulkan beberapa klipingan berita lalu diolah kembali menjadi konten;
(4) Edit beberapa kompilasi klipingan tadi menjadi satu naskah utuh untuk ditayangkan. Proses pengeditan dibutuhkan keterampilan agar hasil dapat dinikmati dengan baik;
(5) Buatlah dummy sebelum ditayangkan (baik yang narasi ataupun video), lalukan pemeriksaan akhir jika ada kesalahan dll; (6) Tayangkan ke publik, jangan lupa share link ke medsos lainnya spt: Instagram, tiktok, Twitter, Facebook dll; (7) Sebagai awal, tayangkan konten dua atau tiga hari sekali. Selanjutnya bisa lebih diseringkan
Agung Wibawanto, Penulis adalah Jurnalis dan Pengamat Sosial