PILKADA serentak pada 9 Desember 2020, bertepatan dengan hari Antikorupsi Internasional. Pilkada serentak merupakan momentum yang tak bisa dijauhkan dari perbincangan antikorupsi di Indonesia. Perilku korupsi di Indonesia tidak akan mengalami signifikasi penurunan angka, apabila sistem politik dan upaya penyadaran terkait paradigma antikorupsi tidak mengalami perkembangan.

Korupsi yang terjadi di masyarakat berkenaan dengan pilkada serentak umumnya kerap terjadi dalam beberapa hal, yaitu :

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Institute Anti Korupsi: Melihat Potensi Korupsi di Pilkada Serentak 2020

Pertama. Perdagangan Pengaruh, calon kepala daerah (cakada) merangkul tokoh masyarakat yang memliki pengaruh disuatu daerah sehingga tokoh tersebut dapat mempengaruhi pilihan politik masyarakat kepada salah-satu paslon.

Kedua. Politik Uang, politik uang seringkali dilakukan oleh cakada pada H-1 menuju hari pemilihan (serangan fajar) atau pada waktu kampannye.

Ketiga. Suap-Menyuap, praktek penyuapan dilakukan oleh cakada kepada petugas KPU, BAWASLU, atupun TPS untuk merubah atau mempermainkan hasil pemilihan umum. Hal ini sering dilakukan dan merupakan cara yang paling efektif dalam memonopoli hasil pilkada.

Imbas dari perilaku korupsi di pemilu, dapat kita rasakan langsung dalam dikehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Pilkada menjadi lahan baru bagi sejumlah masyarakat untuk mendapatkan keuntungan secara perbadi. Pilkada yang awalnya menjadi alat perbaikan nasib berubah menjadi ladang bisnis. Yang hanya menguntungkan sebagian pihak saja.

Dalam kehidupan politik mutakhir, perilkau korupsi pada pilkada serentak menjadi ruang bagi para pengusaha untuk mengamankan perusahannya dari jeratan hukum dengan cara memberikan modal kepada cakada. Dan pada akhirnya, ruang politik kita berubah menjadi ruang transaksi keuntungan antara pengusaha dan politikus (nir-kemanusiaan).

Salah satu kegiatan yang tidak luput dari perhatian setiap perhelatan pilkada serentak adalah kampanye. Sudah mafhum bahwa kampanye membutuhkan biaya yang cukup besar. Sistem kampanye pilkada kita terkonsep seperti mekanisme pasar bebas.

Konsep inilah yang mendorong seluruh cakada berlomba-lomba dalam menggelontorkan biaya yang tak murah. Dari dana kampaye tersebut dapat kita bandingankan antara harta kekayaan cakada dengan biaya kampanyenya. Bila terjadi ketidakseimbangan, maka cakada tersebut berpotensi untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Pasangan petahana sangat rentan melakukan penyalahgunaan wewenang dalam memenangkan dirinya. Fenomena tersebut dapat ditemui disejumlah daerah dimana kepala daerah menggunakan fasilitas negara dalam melaksanakan kampanye maupun melaksanakan agenda-agenda politik untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Sudah barang tentu, fenomena ini merupakan kelemahan pengawasan sistem pemerintah kita. Dalam UU Administrasi Pemerintahan telah diatur tentang Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Namun hal tersebut tidaklah cukup bila tidak diseimbangkan dengan praktek dan aturan yang spesifik terkait dengan batasan wewenang pejabat dalam bertindak. Dan seringkali kita temui pejabat/petahana berkampanye menggunakan mobil dinas.

Fenomena ini terjadi disebabkan oleh tiga aspek, yaitu : Pertaman, Struktur hukum, struktur hukum kita tidak mengakomodir kepastian hukum yang detail terkait dengan pengawasan dan penindakan tindak pidana korupsi. Contohnya seperti tindak pidana mati bagi para koruptor. Terkait dengan ini hanya disebutkan dalam UU Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (2). Pasal ai quo juga tidak bersifat mendetail dan sering kali dijadikan celah oleh koruptor untuk lolos dari jeratan tindak pidana mati.

Kedua. Subtansi hukum, sistem aturan yang tidak menekankan pada pecegahan korupsi dan cenderung memberikan celah. Hal ini menjadi bahaya laten terhdap dunia pemberantasan korupsi di Indonesia.

Ketiga. Budaya hukum, hukum tidak menjadi gaya hidup bagi masyarakat. Seringkali aturan hanya menjadi sebatas atauran dan tidak diteruskan dalam bentuk tindakan. Pembentukan budaya hukum adalah tugas semua elemen masyarakat dalam membangun paradigma demokrasi dan politik yang dialogis di Indonesia.

Penulis, Rizki Maulana Hakim | Yusril Asadudin Mukav (INSTITUTE ANTI KORUPSI, Divisi Riset dan Kajian IAK)

 

 

Reporter: KilatNews