Tidak Ada Tempat bagi Gerombolan Anti Pancasilan Di Negeri Ini.

Oleh: Agung Wibawanto dan Nanang Rendi Ahmad

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Tidak Ada Tempat bagi Gerombolan Anti Pancasilan Di Negeri Ini

Kilatnews.co – Setiap tanggal 1 Oktober bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Namun setiap itu pula bangsa ini seperti terbelah dalam melihat, bahkan menilai sosok Proklamator yang satu ini, Bung Karno (Soekarno). Sebagian mencapnya sebagai seorang komunis. Benarkan Bung Karno komunis? Tidak! Bung Karno berkata sendiri bahwa dirinya bukan komunis dan tidak akan pernah menjadi komunis.

Ia adalah seorang Kiri. Seorang yang Kiri tidak harus komunis. Fakta ucapan ini yang menjadikan dirinya di akhir masa jabatan dan di masa tuanya, menjadi seorang pesakitan yang ditawan di negerinya sendiri dan oleh bangsanya sendiri. Hidup terisolir seorang Proklamator bangsanya, bahkan dengan keluarganya sendiri (pertemuan dengan anak istri dan saudara dibatasi serta diawasi ketat).

Bukan tuduhan bahwa dirinya seorang komunis yang membuatnya bersedih, namun dijauhkan dari rakyat yang ia cintai sepanjang hidupnya yang membuatnya rindu hingga sakit. Rakyat yang selalu diperjuangkan hingga dimerdekakan yang membuatnya hidup. Tuduhan itu pula yang membuatnya benar-benar sendiri hingga akhir hayatnya menjemput. Mari kita ulas sedikit pemikiran Bung Karno yang Kiri tersebut.

Maksud dan tujuan gerakan dan pemikiran kiri Soekarno sebenarnya tertuang dalam Marhaenisme yang dicetuskan Soekarno. Di dalam Marhaenisme Soekarno membedakan dengan tegas antara konsep marhaen dengan konsep proletar di kaum sosialis Barat, terutama komunis. Marhaen bukan hanya kaum buruh seperti proletar di Barat.

Tapi Marhaen adalah petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, pelayar kecil, dan semua kaum-kaum kecil (wong cilik) yang hidup di seluruh negeri Indonesia. Mereka bukan proletar, karena mereka adalah majikan atas dirinya sendiri, mereka bahkan mempunyai alat produksi sendiri, mereka tidak mempunyai tenaga kerja lain, jadi mereka jelas bukan kaum proletar seperti yang ada di Barat.

Namun meskipun mereka mempunyai alat produksi sendiri, dan bekerja untuk dirinya dan keluarganya sendiri, tetapi mereka tetap saja melarat karena dimiskinkan oleh sistem Kapitalisme-Imperialisme Belanda dan Feodalisme bangsanya sendiri. Mengingat kaum marhaen adalah bagian terbesar dari rakyat Indonesia, maka mereka adalah kekuatan yang harus dibangkitkan.

Dalam perkembangan berikutnya, marhaenisme diharapkan menjadi sosialisme Indonesia dalam praktik. Sosialisme Indonesia menurut Soekarno adalah cara untuk mengangkat nasib kaum marhaen, yakni dengan melawan imperialisme dan kapitalisme yang semakin memiskinkan kaum marhaen. Dari sini terlihat wujud pemikiran kirinya Soekarno dengan bungkus sosialisme Indonesia yang didengungkannya.

Dia benar-benar mengutuk imperialisme dan kapitalisme. Dia mencoba menjauhkan negeri ini dari segala bentuk penindasan dan penghisapan kaum bawah—marhaen. Sosialisme Indonesia, kata Soekarno, adalah sosialisme yang tidak memasukkan konsep materialisme yang ekstrim, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang takut kepada Tuhan dan mencintai Tuhan.

Sosialisme Indonesia adalah campuran (persamaan politik Declaration of Independence dari Amerika, persamaan spiritual dari Islam dan Kristen, dan persamaan ilmiah dari Marx), dan dalam campuran itu ditambahkan marhaenisme. Kemudian dibumbui dengan gotong-royong, yakni semangat, hakekat dari bekerja bersama, hidup bersama dan saling bantu-membantu—suatu karakter khas orang Indonesia.

Semangat tersebut telah ada, lahir tumbuh dan berkembang jauh sebelum negeri ini ada. jika semua itu dicampurkan, maka hasilnya adalah sosialisme Indonesia. Jadi jelas, bahwa arah dari pemikiran kirinya Soekarno adalah terwujudnya masyarakat yang anti kapitalisme dan imperialisme. Revolusi harus dilalui demi terwujudnya masyarakat tanpa kapitalisme dan imperialisme itu.

Setelah kemerdekaan tercapai dengan revolusi nasional itu, maka kata Soekarno, harus disusul dengan revolusi sosial. Tujuannya adalah agar negara yang tercipta diperintah oleh kaum marhaen, bukannya jatuh ke tangan kaum borjuis atau kaum ningrat Indonesia. Karena jika kaum borjuis dan ningrat memegang kekuasaan, hal semacam ini hanya akan memberi ruang gerak kepitalisme.

Sosialisme Indonesia bercita-cita mewujudkan dunia baru yang tanpa penindasan seorang manusia terhadap manusia lainnya, dan tanpa penindasan suatu negara terhadap negara lainnya. Itulah konsep “kiri” yang coba digagaskan Soekarno. Bagi orang cerdas, nyata sudah bahwa Bung Karno bukan seorang komunis karena dia juga insan yang taat akan ajaran agamanya, Islam.

Dia pula yang pada akhirnya menggagas lima prinsip atau lima dasar (principle of five) sebagai landasan berbangsa dan bernegara kita, yakni Pancasila (Pidato BK, 1 Juni 1945). Bagaimana mungkin seorang yang taat beragama serta menggagas Pancasila bisa disebut seorang komunis? Namun di atas itu, Bung Karno itu seorang yang humanis mencintai rakyatnya lebih dari apapun.

Ia tidak ingin menumpahkan darah rakyatnya setetespun hanya untuk membelanya (meski itu pun bisa dilakukan jika ia mau). Sehingga ia lebih memilih untuk dijauhkan dari rakyatnya daripada terjadi pertumpahan darah sebangsa (meski demikian sudah terjadi pembunuhan massal di Jakarta dan daerah terutama Jawa Tengah, dalam langkah Jenderal Soeharto membasmi orang-orang yang dianggap anggota/berafiliasi dengan PKI akibat peristiwa G30S/PKI 1965).

Bagi saya, ada atau tidak peristiwa G30S/PKI, Pancasila akan tetap dan selalu sakti. Karena tidak hanya kali itu saja NKRI dengan dasar negara Pancasila diuji. Tahun 1948 PKI melakukan pemberontakan di Madiun; Tahun 1953 DI/TII menuntut pendirian Negara Islam di Aceh; Tahun 1958 PRRI Permesta menuntut perluasan otonomi daerah, dan; Tahun 1965 terjadi G30S/PKI.

Kini di era 2019 kembali NKRI dan Pancasila diuji oleh segolongan orang yang ingin menegakkan Negara Islam dengan sistem Khilafah. NKRI dan Pancasila adalah sebuah kompromi yang sudah menjadi komitmen bersama ketika itu oleh para pendiri bangsa. Bahwa Indonesia terdiri dari golongan-golongan, aneka suku bangsa, adat dan budayanya. Indonesia adalah plural, namun demikian berada dalam satu kesatuan NKRI (Bhinneka Tunggal Ika).

Nb: Tidak ada satu golongan ataupun suku yang boleh mengklaim sebagai pemilik sah Indonesia. Tidak PKI, tidak Khilafah atau apapun selain Pancasila, Tidak ada tempat!!

Reporter: KilatNews