Makhluk Penunggu Nisan Kiai Syarqawi
Oleh : Haikal F
Kilatnews.co- Waktu sudah ashar. Kiai Fikri baru saja turun dari masjid usai mengimami salat dan mendoakan para santrinya sebelum para santri ikut berhamburan keluar masjid, saling dorong, saling teriak, saling memberi ketiak, berebut sandal masing-masing, sementara sebagian yang lain tolah-toleh kebingungan mencari sandalnya yang sembarang dicomot.
Ini saat yang tepat untuk menyelinap ke kompleks pondok.
Kulihat seantero kompleks masih banyak santri-santri yang tidak salat Asar berjamaah bersama Kiai. Ya, kelalaian seperti ini sudah galib aku temui saban hari. Penjagaan pengurus juga tak terlalu ketat, kalau bukan tak terlalu niat.
Sampai di kamar temanku yang sering dihukum plontos ini langsung menyambutku, “ke mana saja seharian ini?”
“Mantengin komputer rental di selatan,” kujawab malas pertanyaannya itu sambil kuambil alat mandi dan handuk, pergi menyegarkan tubuh ke jeding.
Di hadapan kran air yang dirusak dan berkerak, gigitan semut itu masih terngiang sakitnya dan aku berusaha untuk tidak termenung. Sepanjang langkah ke pondok tadi aku juga berusaha untuk lepas tak memikirkannya, memikirkan apapun.
Baca Juga:
Aku berusaha untuk mengabaikan langit yang retak, dan badai yang tetiba datang. Aku tak mengerti mengapa aku merasa terlantar. Aku seperti tak berharga. Sebegitu besarnya permasalahan sehingga aku menjadi tidak ada.
Ini sungguh menjengkelkanku, suara seng pintu kamar mandi yang ditonjok keras dari luar, kampret itu menganggap mandiku terlalu lama. Kutendang balas dari dalam seraya menyerapah, “kuhabiskan dulu airnya, persetan! Kau tak akan bisa mandi!” sepersekian detik setelahnya suara seng pintu terdengar memekakkan lagi, kali ini dilempar dengan batu. Kubalas gelak tawa sekeras lemparannya.
“Sialan, sayyi’1!” setelah keluar aku disambut kata-kata begitu.
***
“Ini rokok,” kutawarkan pada teman-temanku. Satu persatu dari mereka mulai merogoh, lalu menyulut. Malam ini di selasar pondok cukup nyaman untuk berbincang tentang apapun.
“Hei, game di rental seru amat, aku main sekitar dua jam sebelum pergi hatamin video kocak di yutub.”
“Apa nama gamenya?” itu yang bertanya adalah si Riki.
“Lupa, bahasa inggris soalnya. Perang, tembak-tembakan dan semacamnya.” “Habis berapa tadi?”
“Lima belas ribu.”
“Aku juga liat vlog-nya artis-artis. Parah banget, bajunya, rumahnya, halaman rumahnya, mobil, sepeda motor, sepeda gunung apalah itu… keren banget emang. Aku pengen juga jadi artis. Kan kerjaannya cuma ngisi acara di tivi atau nge-vlog di yutub. Media sosialnya banjir followers. Enak banget. Hidup di ibukota, hidupnya mewah, laif-stail-nya itu lo..” aku bicara asal keluar.
“Kalo ngeliat orang lain harus seimbang. Jangan hanya putihnya saja. Jadi artis ada gak enaknya juga. Aku saja membayangkan bagaimana setiap hari mereka selalu apdet di yutub. Seakan-akan hidup adalah konten. Kalo seperti kamu, apa yang akan kamu suguhkan tiap hari kepada orang-orang. Paling tidak ngelawak, lagian hidupmu sengsara-sengsara saja, kulihat. Tiga hari saja kamu akan kehabisan akal.
Baca Juga:
Kamu sendiri tahu kan betapa unfaedahnya konten-konten itu. Apa saja, kadang pamer mobil mewah, pergi liburan ke luar negeri, anaknya hidupnya enak, sekolahnya di sekolah internasional, disayang banget, kadang sok terkejut gitu kalo istrinya beli sepotong pakaian gak sampe lutut lalu harganya dikasi tau keras-keras di depan kamera, harga yang cukup buat hidup pemulung nganggur dalam dua tahun. Pergi ke mall, ke hotel, tempat wisata. Seperti bingung saja mau habisin duit. Sebenarnya, apa yang kamu lihat manfaatnya, hah? Keren? Mewah? Hedon? Sensasional doang!
Apalagi sebagai santri, ke mana saja santrimu selama ini, hah?! Itu kah panutanmu? Man yazdad ‘ilman walam yazdad minad dun-ya zuhdan, lam yazdad minallahi ta’ala illa bu’dan,” si Sa’ed mulai ceramah panjang lagi. Ia sering kali hujan dan aku sabana yang gersang.
“Apa artinya?”
“Ya Allah, parah banget. Sesiapa yang bertambah ilmunya sedang tidak bertambah darinya sifat zuhud pada dunia. Tidak ada yang bertambah darinya kecuali bertambah jauh ia dari Allah ta’ala.”
“Hm. Kau ceramah karena iri, ngalor-ngidul pula. Itu dari kacamatamu. Kata orang, hanya cowok kere yang bilang cewek matre!” kataku sok tak terima.
“Ya sudah, sana pergi. Simpan ceramahmu untuk dikau sendiri.” Riki mulai berulah. Si Sa’ed menatapnya sebelum pergi dan mengatakan, “Setan sudah lama nganggur sambil minum bir, omongan Al-Ghazali sudah nggak relevan sekarang. Katanya dalam Minhajul ‘Abidin asuhan Kiai Fikri, kita terlalu berleha-leha sedang setan untuk membelotkanmu selalu mengawasi kamu sambil was-was, penuh kuatir. Sekarang gak lagi. Sosok yang masyhur justru adalah yang paling tak patut ditiru, kamu tidak sadar itu, hah!? Kumpulmu gak guna, bicaranya ke mana-mana!” ia mencampakkan rokoknya ke tanah.
“Karena kita memang gak ke mana-mana…” Riki masih ngoceh.“Hei, ulama! ulama! besok aku males masuk, bilang ke ustaz aku lagi sakit. Awas gak dibilangin, kutonjok kau lusanya.” Suaranya keras sekali melihat si Habibi lewat. Ia panggil Habibi ulama karena orang satu itu memang pandai di kelas.
“Ngapain mau bolos besok. Mau tidur lagi kamu?”
“Iyalah, besok pelajaran matematika, lalu nahwu-sharraf, lalu apa lagi, males banget pokoknya.”
“Apa? Ushul fiqh, arudl, sama balaghah?”
“Ya, itulah.”
“Iya juga Rik, aku males bener kalo hari selasa. Hah, kapan ya kita bisa keluar dari pesantren ini. Hidup di dunia yang lebih bebas, sekolah bareng cewek, pegang hp, mau makan tinggal bilang ke ibu, baju tinggal ambil rapi di ujung ranjang, mandi tinggal mandi, gak ada antri. Surga yang hilang, malang..”
“Kalo aku kangen balapan motor, bawa pacar ya kan, manjain dia. Gagah dilihat orang. Kalo nggak gitu, ngumpul di pinggir jalan atau di kafe sama temen-temen. Main game bareng sampai malam. Kalau dimarahi paling hanya ditegur ibu, gak seperti di sini, plontos mulu, ngaji empat jam sambil berdiri di depan kantor pesantren, masih kena salat jamaah 40 hari di belakang pak Kiai. Jengkelnya lagi si pengurus sok jadi penceramah. Katanya aku tidak menghargai usaha orang tuaku membiayai aku dari rumah.” Ia memurnai sesapan rokoknya yang tinggal dua senti.
“Tapi sepertinya itu benar, Rik.” “Ya, makanya aku kutip bagian itu.”
“Assalamualaikum, Bang,” si Nurul dada ringkih tetiba menyela. “Waalaikum salam. Apa?!”
“Ini bang Rik. E.. aku boleh pinjem uang? Uangku gak sampai hari jumat. Hehe, mau makan aku, bang.”
“Ya Allah, kasihan sekali kau Nurul Jahannam.” Dia berulah lagi, aku menahan tawa, ”berapa yang kaubutuh?”
“Lima puluh ribu saja bang.” “Tunggu kuambil dulu.”
Selang beberapa menit Riki keluar lagi dari kamar. “Ini duitnya, kembalikan kalo sudah punya, kalo minggu depan masih belum cukup lagi uangmu, tahan dulu. Aku banyak uang.”
“Alhamdulillah, makasih, bang.”
“Eh. Ngomong-ngomong, kau mau ke mana rapi-rapi malem-malem begini? Kau tak ikut salat isya tadi? Kau tak berjamaah lagi? masyaAllah, eh Rul dengerin, salat berjamaah itu 27 derajat lebih tinggi dari pada salat sendiri. Hukumnya sunnah yang dikukuhkan, hampir wajib. Gimana kau ini.”
“Alah, subuh tadi kamu salat sendiri jam lima,” aku menyela. Riki gelagapan, matanya mendelik ke arahku, “hei! Kamu sama saja.” Si Nurul nyengir.
“Ya, bang, maaf. Aku tidur sejak sore, baru bangun tadi dan salat. Ini aku mau pergi ke Maqbarah2 Sawo, mau minta maaf. ”
“Oh, masih musim ya begituan. Ya sudah sana pergi. Semoga kau ketemu sama kata’ mikol bhebeng, semoga kau tahan sama godaan makhluk halus di sana, dan, heh, kalau ada suara kayak pohon sawo yang rimbun itu dilahap api yang membara jangan kau toleh ke belakang. Khusyuk saja tetap mendoakan kiai-kiai pendahulu. Berhasil bertemu dengan kodok pemikul bawang berarti kau adalah orang terpilih, kau orang alim, tapamu berhasil, dikehendaki oleh para almarhum. Setelahnya kau akan punya suatu kelebihan yang tak dimiliki oleh yang lain dan kau akan jadi orang hebat kelak.”
“Iya bang, soal itu aku juga tau. Tapi aku hanya luruskan niat saja bang, lillahi ta’ala. Semoga aku mau diakui sebagai santrinya.”
“Alah, santri dulu bertemu sama kodok pemikul bawang sudah biasa, karena santri dulu memang benar-benar santri, ngaji, rajin tirakat juga. Disiplin semua orangnya, mengerjakan semua perintah agama dan menjauhi semua larangannya. Itu adalah disiplin sejati. Nah, sekarang ada apa? Orang yang ketemu kodok pemikul bawang kok sudah dibilang ‘orang terpilih’,” ujarku.
“Ya sudah, aku titip doa.”
“Kapan kamu akan pergi sendiri, cuk, titip-titip terus,” kataku. Aku jadi ingat lagi akan gigitan semut di sela jari kaki.
***
Aku bangun pagi, seperti halnya halaman pondok mataku sembap karena sejak semalam embun berjatuhan tak henti. Aku jengkel, kesal, frustrasi setelah bapakku bilang bahwa ia sudah menceraikan ibu lepas pertengkaran yang tak boleh kutahu apa duduk perkaranya. Kata-katanya bukan ‘berpisah’ tapi ‘bercerai’. Bapakku pulang ke rumahnya dan dalam beberapa hari ke depan bapak akan mengurus semuanya ke kantor Pengadilan Agama. Aku seperti seketika langsung membencinya. Di warung telepon pesantren aku menahan air mata jatuh, malu kepada santri lain takut dikira cengeng seperti santri yang baru sehari dimondokkan.
Baca Juga:
Kumatikan sekenanya sambungan telepon sebelum bapak menuntaskan benar penjelasannya. Aku lebih memilih menelepon ibu. Tapi sial. Ibu tak menjawabnya kendati aku telah menelepon berkali-kali. Aku butuh ibu, aku butuh dipeluk. Aku ingin… aku tak tahu apa yang kuingin sebenarnya.
Jamaah subuh bolong. Aku salat sendiri di kamar. Selepasnya aku gontai berjalan diam-diam pergi ke Maqbarah Sawo, menghiraukan waktu ngaji kitab kuning. Mengadu kepada para almarhum. Baca istigfar mencoba memahami keadaan, menerimanya dengan lapang dada. Kulanjutkan dengan membaca surat Yasin dan fatihah 21 kali sambil sesekali menyeka air mata yang bergulir di sekitar pipi, belepotan. Ke haribaan nisan berumur seabad lebih itu bunga kemboja turun landai, mataku mengedip. Aku ingin pelarian. Aku ingin tidak sekolah hari ini. Aku pamit mau melanggar aturan kepada para almarhum.
“Aww,” di depan maqbarah Kiai Syarqawi yang bersahaja dan amat magis dengan harum melati bercampur pandan yang diiris aku meringis, di sela jari kaki semut kecil menggigit kuat-kuat. Rupanya aku menghalangi jalan yang dilaluinya bersama kelompoknya.
Mataku membuntuti jalan semut-semut yang mengular. Di ujung, aku terperangah. Di sana terbujur kodok pemikul bawang yang dikerubungi semut-semut. Dia mati dengan bawang tergeletak di sampingnya.
Hah. Siapa aku ini? Mengapa aku bisa melihat legenda kodok pemikul bawang dengan nyata?
Lalu mengapa saat kutemui, ia sudah mati?
Seluruh ingatan tentang bapak dan ibu sekonyong-konyong bisa kuabaikan sepenuhnya.[*]
Haikal F. Belajar menulis dan membaca di lingkungan PP. Annuqayah daerah Lubangsa dalam rentang tahun 2015-2021, kini melanjutkan studi sebagai mahasiswa Sastra Indonesia FIB Unej. Untuk menggurui saya dalam blantika literasi bisa menghubungi surel haikalshin27@gmail.com.