Tulisan ini akan saya mulai dengan sebuah pertanyaan yang acap kali dianggap simple, namun sulit untuk dijawab secara tepat kalau hanya beridiri diatas literature tunggal. Bahkan ‘mungkin’ juga ada beberapa orang menggap pertanyaan semacam ini tidak perlu diajukan.

Sebelum menjawab dan membahas pertanyaan diatas, perlu kiranya saya sampaikan lebih dulu bahwa pertanyaan ini  muncul saat saya membaca beberapa buku tentang sejarah filsafat politik barat.

Namun, ada keganjalan yang muncul ketika dianalisis secara serius. Bahwa sejarah filsafat politik barat selalu menampilkan para tokoh yang bangunan teorinya berdiri diatas fakta konflik. Dan mereka berasal dari kelas sosial Aristokrat dan borjuasi. Tentu ini sangat berkaitan dengan pertanyaan pada judul tulisan.

Di hampir kebanyakan buku tentang filsafat maupun teori politik barat, akar sejarahnya pasti berangkat dari Yunani sebagai peletak dasar pemikiran modern. Walaupun mengalami perubahan dan memiliki perbedaan fundamental antara era yunani dan modern, dapat dipahami bahwa itu tidak kemudian terlepas dari akarnya.

Hanya saja, karena tulisan ini berkaitan dengan filsafat politik, maka uraiannya pun dibatasi hanya pada persoalan filsafat politik.

Berangkat dari sebuah diskusi bersama dua sahabat menjelang subuh, tentang buku yang ditulis oleh profesor ilmu politik Universitas Wisconsin-Milwaukee: Henry J. Schmandt berjudul “A History of Political Philosophy” (Indonesia; Filsafat Politik, kajian historis dari zaman Yunani kuno sampai zaman modern).

Dari kondisi negara-kota yunani, tiba-tiba profesor Henry melakukan lompatan ke Socrates, Plato dan Aristoteles untuk menguraikan filsafat politik di zaman yunani. Dikatakan tiba-tiba karena tidak ada penjelasan tentang “siapa penggagas konsep negara-kota Yunani”, seakan-akan dimasa itu hanya Plato dan Aristoteles yang berpikir dan menulis soal politik.

Profesor Henry hanya menyinggung bahwa Raja Pericles juga menulis buku “Funeral Oration” yang menjelaskan mengapa Athena disebut negara-kota paling demokratis, tanpa penjelasan bagaimana bangunan pemikiran Raja Pericles.

Sistem pemerintahan Athena, dalam penjelasan buku profesor ilmu politik tersebut terbagi atas tiga, saat ini akrab disebut dengan “Trias Politica”, yaitu Assembly, Konsul, Mahkamah. Ditambah dua lembaga pembantu Generals dan Ostracisme.

Berdasarkan uraian diatas nampak jelas bahwa sistem pemerintahan itu tidak jatuh dari langit, tapi ada yang menggagasnya. Muncul pertanyaan Siapa Penggagas Konsep Negara-Kota Yunani?

Masa iya, digagas oleh “Dewa Zeus” sebagai perwujudan sabda suci.

Pertanyaan ini penting karena Plato dan Aristoles menulis karya besarnya tentang politik pasca kejatuhan negara-kota yunani ke tangan Macedonia dibawah pimpinan Raja Philip II dan Alexander Agung (382-336 SM), cikal-bakal Romawi.

Kejatuhan yang disebabkan oleh perang peloponnesia selama 27 tahun (431-405 SM) antara Athena dan Sparta, perang terjadi saat Athena melakukan hegemoni terhadap liga negara-negara (Konfederasi Delos). Hegemoni Athena bertujuan untuk ekspansi komersial dan industri, juga ingin mendominasi laut Aegea. Ekspansi yang menghegemoni wilayah negara sekutu sparta, membuat negara dengan militer terkuat itu turun tangan berhadapan dengan Athena.

Dari kejatuhan negara-kota yunani ke tangan Macedonia, kemudia kedua pemikir ini, Plato dan Aristoteles menulis karya bersar tentang politik. Keduanya mengecam demokrasi, walaupun pada akhirnya Aristoteles bersikap toleran terhadap demokrasi.

Teori politik dari kedua tokoh yunani itu masing-masing membicarakan bagaimana membangun negara yang kuat dengan pemerintahan yang baik, bangunan teori mereka pun disamping berdasar pada fakta di yunani masa kejayaan juga kejatuhannya.

Pola penyajian sejarah demikian sangat menggajal dipikiran kami saat itu. Karena hampir semua pemikir dari setiap fase, mereka pasti adalah tokoh yang lahir saat terjadi kekacauan, semuanya dikarenakan hegemonik, dan mereka dari kalangan kelas aristokrat/borjuis. Misalnya di yunani yang sudah dijelaskan diatas, pemikir di abad pertengahan juga merupakan para tokoh yang muncul akibat benturan Agama dan Negara, salah satunya ST. Thomas Aquinas.

Hal itu juga berlaku untuk Noccollo Machiavelli, dimana Machiavelli menulis karyanya karena italia pada saat itu terancam hancur lebur oleh konflik politik internal dan eksternal. Thomas Hobbes juga demikian, sampai ke pemikir kondang prancis yanitu Baron de Montesqueu.

Artinya bahwa filsafat politik barat dibangun atas fakta konflik dan teoritisinya juga orang kelas menengah atas, yang dalam perkembangannya hingga saat ini melahirkan sistem demokrasi perwakilan.

Konsep demokrasi perwakilan bukan tiba-tiba, tapi karena didominasi oleh para pemikir kelas aristokrat dan borjuis, sehingga konsep demikian menunjukakan bahwa rakyat adalah orang bodoh yang harus diwakili.

Alasan paling halus  karena tidak mungkin semua orang dilibatkan dalam pengambilan kebijakan, gagasan perwakilan pun diterima secara cuma-cuma.

Munculnya “Nation State” (negara bangsa) juga melalui skema kolonialisasi, semua bangsa yang di kolonisasi akan dimerdekakan dengan cara tertentu. Yang menurut Anthony Giddens hanya merupakan penciptaan post-post kekuasaan kapitalis, agar pengontrolan ekonomi-politik semakin mudan dan efektif. Apabila suatu negara tidak mampu mengbendung hegemoni negara kolonial, akan selalu menjadi mangsa untuk dihisap darahnya secara terus-menerus.

Sejarah filsafat politik barat seakan di-setting sedemikian rupa hingga mampu mengakomodir kepentingan kelompok tertentu, sampai saat ini semua negara menjadikan percikan awal untuk berpikir tentang negara. Setiap fase menunjukan konflik dan pemikiran politik cenderung menjadi juru selamat atas konflik tersebut, lalu muncul konsep baru bernegara.

Filsafat politik yang berakar pada manusia, membentuk negara dan tujuan negara, dikejutkan dengan konflik kekuasaan. Jika bukan imperialis-kolonialis, sudah pasti raja dan kelompok aristokrat/borjuis, para tokohnya pun dari kalangan tersebut. Dengan begitu, tidak heran dan bukan mustahil ketika muncul kecurigaan berupa pertanyaan-pertanyaan tentang apa sebenarnya dibalik semua ini.

Di Indonesia sendiri sangat terlihat, negara sibuk dengan urusan kemajuan ekonomi, ketahanan politik, moral politik warga negara. dan lupa bahwa rakyat kecil yang tanahnya dirampas oleh korporasi atas persetujuan negara, limbah pambrik merusakn lingkungan atas tanda tangan pejabat negara, dan pelanggaran HAM atas perintah negara. Sangat disayangkan bahwa negara yang konon dibangun dengan tujuan kebaikan bersama, berubah menjadi seperti camp-camp konsentrasi masa Hitler.

Realitas demikian ketika ditarika lurus pada akar pemikiran kedua tokoh, Plato dan Aristoteles, akan menimbulkan keganjalan tersendiri apabila dianalisis secara serius. Plato dengan negara idealnya yang tidak pernah terwujud, sedangkan Aristoteles dengan metode penyelidikan dari kasus-kasus individual untuk memperbaiki citra politik.

Formasi berpikir demikian dapat kita temukan pada konteks saat ini, dimana dalil kapitalisme menjanjikan kemajuan dengan biaya yang besar. Negara hanya boleh mereformasi diri, bukan revolusi atau transformasi.

Indonesia salah satuny: antara pembanguanisme Orde Baru dan reformasi 98. Yang pada substansi dari keduanya adalah cengkraman/hegemoni negara kolonial terhadap negara pasca-kolonial (negara dunia ketiga). Selama 32 tahun pembangunanisme orba telah menciptakan kantong-kantong kemiskinan dimana-mana, kemudian kita hanya disuruh dan diperbolehkan reformasi bukan transformasi apalagi revolusi.

Dari kasus itu penulis percaya bahwa, kita tidak akan menemukan solusi dari pemikiran dua filsuf yunani dan beberapa pemikir teori politik barat yang dipertontonkan dalam buku profesor Henry.

Dengan demikian penulis lebih sepakat dengan pernyataan Ali Syari’ati bahwa “sudah saatnya kita berhenti meniru eropa”. Kita harus mampu menemukan hidup dan kehidupan dari diri dan bangsa kita sendiri, eropa harus mengakui tidak boleh menyangkal kemerdekaan sejati setiap umat manusia.

Ada kemungkinan lain bahwa, jika dan hanya jika kita tahu “siapa penggagas konsep negara-kota yunani”, mungkin ada solusi untuk menyelesaikan problem bernegara saat ini. Namun karena disajikan hanya dua pemikir (Plato dan Aristoteles), kita tidak bisa berharap banyak pada pemikiran mereka.

Kita harus mampu menemukan alur sejarah filsafat politik baru yang tidak didominasi dan dihegemoni oleh kelompok pemikir aristokrat/borjuasi, pusat perhatian harus diarahkan pada isu-isu kerakyatan bukan kekuasaan, untuk menemukan dan merumuskan formasi sosio-politik yang lebih manusiawi dalam kontek kehidupan bersama.

Penulis, Abdul Haris Nepe

Mahasiswa Fakultas Hukum Janabadra

Direktur Constitutional Law Study (CLS)

Reporter: KilatNews