Ketika Di Luar Hujan
Ketika di luar hujan
Aku berteduh di dalam kamar
Duduk memandang kenyataan
Tentang dunia yang tercemar
Setiap benda berbagi gigil
Setiap jiwa berdzikir
Selain rintik hujan
Yang kekal dalam ingatan
Adalah lantunan adzan.
Yang Tampak dari Kursi
Kutatap engkau saat pengunjung sepi
Di tubuhmu malam sepenuhnya tenggelam
Setiap jejak menanggalkan kenangan
Di mejamu
Asbak menampung segala Kesunyian
Aku menatapmu berkali-kali
Dan sepi selalu tampak pertama kali.
Seusai Hujan
Seusai hujan
Pohon kehilangan angin
Malam kehilangan bulan
Dan aku kehilangan segenap ingatan kepadamu
Sedang di jalan
Bunyi kendaraan adalah satu kebisingan
Yang tersisa, tak ada pejalan kaki seorangpun
Begitupun di sampingku
Hanya sebuah kursi dan meja yang menyendiri
Aku terus mencarimu
Jauh di dalam ingatan
Hingga akhirnya
Ladang kehampaan terhampar
Di dalam alam pikirku.
Aku Duduk Bersama Bulan
Aku duduk bersama bulan
Keberadaanku ditandai dengan cahayanya
Memancar dari langit, mengaliri air sepanjang sungai
Jatuh di pohon-pohon, merayap di tanah.
Kemudian sepasang kekasih mengabadikan
Dengan ciuman paling nikmat
Bersama malam kutampung segala sunyi
Bersama detak jam kubiarkan waktu menjejak bumi
Langkahnya tak kuhitung, ia melesat jauh
Bayangannya berkelebat di tengah cahaya bulan
Barangkali ia merindukan langit
Atau tempat asing di luar alam semesta
Aku masih duduk
Dengan mata mengantuk
Kepala menunduk
Tiba-tiba angin berbagi gigil
Menyuruhku tidur
Menggapai mimpi-mimpi
Menggapai yang abadi.
Sebuah Malam
Seperti buih
Malam mengapung di udara
Gelapnya menghalau pandangan mata
Setitik cahaya memancar
Di langit malam
Aku berkata, pancaran cahayamu
Jauh lebih terang
Malam mengapung di udara
Dingin-dinginnya jatuh di jalanan
Sebuah rencana berbagi gigil
Sebuah usaha menerka takdir.
Aku Ingin
Seperti bulir embun
Malam menempel di kaca jendela
Detak jam mengusir sunyi dari kamar
Di halaman cahaya remang oleh hujan
Seperti cecak gigil merayap di dinding-dinding
Sedang ingatan tak kuasa membendung
Kenangan yang bergejolak di alam pikirku.
Ketika Pemusik Mabuk
Gitar dipetiknya
Dengan petikan pertama
Kepala-kepala tertunduk meresapi nasib
Irama mengalun ke setiap telinga
Yang dipenuhi kekosongan hidup.
Sedang dari arah berlainan
Bunyi piano dengan nada melankolis
Menenteramkan hati setiap pencinta.
Ketika pemusik mabuk
Maka, meleburlah setiap musik
Ke dalam jiwanya yang kosong.
Lagu pecinta
Telah kubiarkan sisa-sisa
Kemurungan yang melanda jiwaku
Terbang seperti angin
Aku bebaskan diriku dari kerumitan dunia
Yang tak pernah ada ujungnya.
Hanya musik dengan lagu melankolis
Yang mampu menenteramkan alam pikirku.
Sebab, Tuhan selalu paham
Setiap upaya mencapai diri Nya.
Hendri Krisdiyanto, Penulis, Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa. Karyanya pernah dimuat di: Minggu Pagi, Kabar Madura, Koran Dinamikanews, Nusantaranews, Radar Cirebon, Radar Banyuwangi, Tanjungpinang Pos, Bangka Pos, Rakyat Sumbar, Medan Pos, Koran Lampung News, Koran BMR FOX, Buletin Jejak, Tuban Jogja, Flores Sastra, Apajake.id, Iqra.id, Buletin kompak, beritabaru.co, labrak.co, Jejak publisher, Majalah Simalaba, Antologi bersamanya: Suatu Hari Mereka Membunuh Musim(Persi, 2016), Kelulus (Persi, 2017), The First Drop Of Rain, (Banjarbaru, 2017), Bulu Waktu(Antologipuisi Sastra Reboan) dan Suluk Santri, 100 Penyair Islam Nusantara (Hari Santri Nasional, Yogyakarta, 2018) Sekarang aktif di Garawiksa Institute, Yogyakarta. No ponsel 083116480879