Menyelamatkan Rektor UI
Oleh: Kholiq Hadi Rohman., S.H
Pada dasarnya hukum dikuasai oleh mereka yang memegang otoritas suatu kekuasaan. Karena yang menciptakan hukum adalah mereka yang berada didalam struktur kekuasaan, kemudian tidak mengherankan lagi kalau hukum itu cenderung memihak pada orang-orang yang berada didalam lingkaran pemegang otoritas atas kekuasaan tersebut.
Pernyataan diatas dipertegas oleh seorang ahli hukum Austin, mengatakan bahwa hukum adalah perintah dari pihak yang berdaulat. Pemegang kekuasaan itu lah yang dapat memberikan perintah-perintah, dan kemudian ada orang-orang yang mentaati perintah-perintah. Akan tetapi orang-orang mentaati perintah itu, karena ada rasa takut terkena sanksi jika melanggar, atau karena rasa hormat, bahkan terpaksa sekalipun.
Berangkat dari paradigma diatas, baru-baru ini pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 Tentang Statuta Universitas Indonesia yang kemudian menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2003 Tentang Statuta Universitas Indonesia yang sebelumnya berlaku. Perubahan Peraturan Pemerintah terkait dengan Statuta UI ini, dinilai hanya untuk menyelematkan orang-orang terdekat Presiden Jokowi yang saat ini berkuasa dari jabatan-jabatan yang diberikan.
Perubahan Statuta UI, ditetapkan oleh Presiden Jokowi pada 2 Juli 2021 lalu, tentunya bukan tanpa suatu alasan politis. Pasalnya didalam perubahan Statuta UI tersebut, telah memberikan kelonggaran pada seseorang yang sudah memiliki suatu jabatan di satuan pendidikan, kemudian dapat merangkap jabatan pada posisi yang lain.
Merujuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahu 2013 Tentang Statuta Universitas Indonsia, sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 Tentang Statuta Universitas Indonesia. Di dalam Pasal 35 memuat lima point penting yang harus diperhatikan, bagi seseorang yang telah mengemban jabatan rektor, dan wakil rektor universitas.
Bahwa kelima point-point penting dari Pasal 35 Statuta Universitas Indonesia tersebut adalah sebagai berikut:
- Rektor dan wakil Rektor dilarang merangkap sebagai pejabat pada satuan pendidikan lain, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat.
- Dilarang merangkap jabatan pada instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.
- Dilarang merangkap jabatan pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta.
- Dilarang merangkap jabatan sebagai anggota partai politik atau organisasi yang berafiliasi dengan partai politik.
- Dilarang merangkap sebagai pejabat pada jabatan lain yang memiliki pertentangan kepentingan dengan Universitas Indonesia.
Sementara itu, jika merujuk pada Statuta Universitas Indonesia terbaru pada Pasal 39 huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 Tentang Universitas Indonesia dikatakan bahwa Rektor dan wakil Rektor, sekertaris universitas, dan kepala badan dilarang merangkap jabatan sebagai direksi pada badan usaha miliki negara/daerah maupun swasta. Hal ini tentunya menimbulkan implikasi hukum tersendiri.
Kasus perubahan Statuta UI ini, ramai dibincangkan di jagad media sosial usai Rektor UI, bernama Ari Kuncoro diduga melanggar aturan terkait rangkap jabatan berdasarkan yang telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Statuta Universitas Indoenesia.
Bahwa dapat diketahui, berdasarkan catatan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPTS), Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada Tanggal, 18 Febuari Tahun 2020 lalu, Ari Kuncoro pada saat yang bersamaan sedang menjabat sebagai Rektor di UI dengan masa jabatan Tahun 2019 hingga Tahun 2024. Kemudian ia ditetapkan sebagai Wakil Komisaris Utama/Komisaris Independen PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. yang sebelumnya menjabat pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. pada Tahun 2017 hingga 2020.
Upaya yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam merubah Statuta UI, seolah-olah menjadi cara untuk menyelamatkan Rektor UI dari posisinya yang sedang merangkap jabatan sebagai Rektor UI, dan sekaligus menjadi Komisaris PT. Bank Rakyat Indonesia (BBRI).
Legalisasi Hukum
Naluri manusia setiap seseorang berbuat sesuatu, pasti untuk mengejar suatu tujuan. Hasil dari pada tujuan tersebut lah yang kemudian dapat menentukan suatu tindakan yang dihasilkan. Tindakan Presiden Jokowi dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021, tentu tidak serta merta tanpa arah dan tujuan yang diharapkan. Suatu tujuan itu dapat diraih dengan menggunakan cara-cara politis, sosiologis, mauupun yuridis.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, dikatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3) tersebut mengharuskan segala tindakan yang dihasilkan oleh pemerintah (Presiden Jokowi), harus berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Statuta UI adalah bentuk implementasi dari suatu tindakan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, untuk mencapai suatu tujuan tertentu secara yuridis atau konstitusional.
Hukum pada dasarnya dan seharusnya dapat mengemban nilai-nilai keadilan bagi kehidupan manusia yang memiliki sifat konkret. Hal yang demikian kemudian dapat menjadi indikator penilaian adil dan tidaknya suatu hukum tersebut. Nilai-nilai keadilan tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar dari pembentukan hukum sehingga memiliki tujuan dapat memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Cara pandang demikianlah, hukum selain memberikan keadilan yang bersifat normatif, pun juga menciptakan keadilan yang bersifat konstitutif. Sehingga hukum yang diciptakan memiliki martabat dan diakui oleh masyarakat. Karena pada dasarnya tanpa adanya keadilan sebuah aturan, maka ia tak pantas dikatakan sebagai hukum.
Hukum Terkesan Melegalkan Kehendak Penguasa
Normativitas suatu aturan hukum adalah terletak pada mutu dari pada isi suatu aturan tersebut, tentunya aturan harus tersirat juga keutamaan. Sehingga suatu aturan tidak hanya berpatokan sah dan tidaknya suatu aturan. Sekalipun tindakan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi merubah Statuta UI dilakukan dengan cara yang konstituional, akan tetapi tindakan menimbulkan persangkaan, bahwa hukum dapat dipermainkan tergantung siapa yang memiliki otoritas jabatan tertinggi di negeri ini.
Petapkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 Tentang Statuta UI ini, jelas sangat menciderai martabat dan tujuan dari pada hukum itu sendiri. Karena selain dinilai produk hukum yang dihasilkan tidak bermartabat, PP Nomor 75 Tahun 2021 juga tidak dapat memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Sehingga dalam penilaian masyarakat, pemerintah dalam menjalankan ketatanegaraan terkesan main-main. Dan seolah-olah hukum dapat dipermainkan sesuai selera masing-masing untuk menguntungkan, dan sekaligus untuk mengamankan kepentingan pribadi dan/atau kelompok sesuai apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Hukum yang seperti ini, tidak layak dikatakan sebagai hukum. Dengan kata lain, dapat dikatakan hukum yang demikian, hanyalah sebuah aturan yang dipaksakan oleh penguasa, untuk melegalkan apa yang dikehendaki penguasa.
Efektivitas Kerja
Memberikan jabatan ganda pada seseorang selain dapat menghambat efektivitas kerja-kerja para pemangku jabatan juga akan memberikan hasil yang tidak maksimal. Untuk menjamin keberhasilan kerja-kerja yang maksimal maka dibutuhkan sinergitas anatara kuantitas, kualitas, pemanfaatan waktu, dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Sehingga dari sinergitas tersebut dapat menghasilkan keuntungan yang sempurna.
Ketidaksempurnaan efektivitas akan berdampak fatal terhadap suatu perusahaan atau instansi tertentu. Sehingga dapat disayangkan jika kemudain hari suatu negara atau perusahaan akan mengalami kerugian sebagai akibat tidak maksimalnya kerja seseorang yang tidak dapat fokus terhadap amanah yang diberikan kepadanya.
Bahwa amanah yang diberikan kepada Ari Kuncoro sebagai salah satu Komisaris BUMN dan sekaligus mengemban jabatan sebagai rektor Universitas Indonesia adalah bentuk amanat dari seluruh rakyat Indonesia. Dan Jika amanah yang diberikan tidak dijalankan dengan maksimal maka akan berdampak mensengsarakan seluruh rakyat Indonesia khususnya dalam sektor Ekonomi Indonesia dan Sektor Pendidikan Bangsa Indonesi.
Kholiq Hadi Rohman., S.H. Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia Yogyakarta