Menelisik Terminologi ‘Bos-Bos T*ik!’
Oleh: Mahadir Mohammed
Kilatnews.co – Setibanya istirahat siang, saya beberapa pekerja lainnya merapat ke camp untuk istirahat siang meredakan dahaga. Tiba-tiba ada salah seorang rekan kerja bertutur.
“Ngk semangat kali kerja hari ini, panas hati liat kelakuan Bos-bos t*iiik, itu!” Perkataan itu membuat saya tepelongo, ternyata ada juga terminologi ‘Bos-Bos T*ik!’. Dalam hati terbesit pertanyaan “Siapakah yang dia maksud?”
Usut punya usut dari sepenggal kisah yang beliau utarakan selama jam istirahat siang berlangsung, saya mendapatkan jawabannya. Lontaran kalimat ‘Bos-Bos T*ik’ itu sebenarnya ditujukan untuk atasannya sendiri. Yang pasti itu bukan atasan saya, karena beda bidang dan ranah pekerjaan.
Rekan kerja saya ini teramat kesal dan marah bukan tanpa sebab, cerita itu bermula ketika ada salah seorang rekan kerja yang merupakan sahabat terbaiknya terkena musibah (kecelakaan lalulintas).
Dia merupakan saksi, bahwa satupun atasannya tidak berada ditempat atau datang ke lokasi ketika proses evakuasi, dan parahnya lagi tiba di rumah sakit. Para atasan ini datang paling terlambat, seperti acuh tak acuh atas kejadian itu.
Menurut rekan kerja saya ini, para atasan itu seolah-olah lepas tanggungjawab dan jiwa empatinya telah hilang sebab hanya memikirkan soal produksi. Ketika sehat sering berkomunikasi, mempertanyakan prihal pekerjaan, tapi ketika sakit mereka nihil walaupun hanya sekedar sapa dan basa-basi.
Jujur saya termenung mendengar peristiwa itu. Sekaligus mengingatkan saya kembali pada pernyataan Jurgen Habermes; pengetahuan hanya dipakai untuk menunjang proses produksi semata.” Singkatnya kekuatan modal telah menghilangkan sikap sosial. Obsesi akan pencapaian target produksi telah melenyapkan sifat empati.
Jika memang begitu yang terjadi, siapakah yang pantas kita maki? Diri sendiri atau para petinggi-petinggi koorporasi itu? Uh, saya menjadi terseret dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang mustahil bagi saya temukan jawabannya, karena saya juga berada diposisi lingkaran semacam itu.
Saya membayangkan, apakah seterusnya ada lagi para atasan seperti itu. Jika memang ada bagaimana cara brainwash otaknya? Apa semua orang yang terlibat di dalam dunia koorporasi pada akhirnya menjadi gila semacam itu? Tentu tidak menutup kemungkinan bagi saya dan rekan-rekan kerja lainnya.
Dunia koorporasi memang menjanjikan kekuatan finansial, tapi dilain sisi kita menjadi deretan manusia yang duduk rapi tanpa bantahan. Para Bos menjatuhkan pandangan dan arahan pada bawahan seperti sebuah titah yang tidak boleh dikritisi. ‘Menjawab’ instruksi dianggap sebuah pembangkangan dan siap-siap kita diasingkan diruang yang sunyi.
Yang manut dan senantiasa mengungkapkan kalimat “Siap, Bos!” Atau “Baik, Pak.” Dianggap lebih responsif dan dianggap lebih aktif. Dari pada orang-orang yang menganalisa instruksi dengan tanda tanya. Tentu jika kita hidup di zaman Soetomo ( Pendiri Indonesische Studie Club), saya tidak tahu apa kalimat apa yang ingin beliau ucapkan melihat realitas ini. Mungkin Soetomo, Tjipto dan kawan-kawannya menangis melihat ini. Sebab dulu gerakan mereka mengakomodir kepentingan buruh dengan sebaik-baiknya.
Saya yakin, istilah ‘Bos-bos, t*ik’ yang rekan saya ucapkan itu tidaklah kemarahan tanpa sebab. Bukan pula ungkapan tanpa adab. Justru sebenarnya dia sedang menunjukkan kepada kita semua. Betapa lunturnya jiwa kemanusiaan kita hari-hari ini, telah terkikis dan menjadi kelakuan yang amat sadis.
Setidaknya, ketika saya dan para pembaca semua berada pada posisi yang disebut ‘Bos’, maka hendaknya kita tidak mengulangi sikap yang sama. Apalagi status pendidikan kita sebagai seorang sarjana, jika sikap itu juga yang terulangi, maka siap-siap dan kita sepakati bersama, itulah ‘Bos-bos t*ik!’. Dan agak fulgar saya tambahkan, taiknya bukan diperut melainkan diisi kepala. Sebab doyan mengulangi kesalahan fatal yang sama.
Jika tidak mau pandangan dengan status Bos-bos t*ik. Maka “Responsif itu bukan hanya tentang kerjaan, tapi juga tentang nilai-nilai kemanusiaan.” Itu caranya dan cara itu kalimat terakhir yang diutarakan rekan kerja saya sebelum saya beranjak untuk melanjutkan kerja. Tentu hal semacam ini tidak juga bisa terjadi di dunia koorporasi, di dunia dimana pun kita bekerja tidak salah juga saya katakan mungkin ini sudah lumrah terjadi.
Dan yang bisa kita lakukan bukan pergi meninggalkan lingkaran itu, tapi menawarkan kehendak untuk berubah. Perubahan itu dimulai dari kita sebagai generasi baru. Siapapun bisa menjadi Bos-bos t*ik. Tapi kita tidak bisa berdiam saja, melihat generasi semacam itu. Lontarkan sikap perlawanan, walaupun hanya sebaris do’a-do’a baik agar kita tidak diam akan kesalahan. Sebab do’a adalah senjata terkahir yang dimiliki oleh orang-orang yang tertindas. Maka bersuaralah dan jangan sampai kandas!