Setelah menyelesaikan buku “Kisah Perdagangan Paling Gemilang” karya Ben Sohib. Ada satu bagian yang paling berkesan dan mungkin saja mewakili perasaan atau saya sendiri lebih suka menyebutnya kritik atas pola bermasyarakat sebagian kita. Begini ceritanya.
Namanya Nasrul Marhaban, sosok pendiam yang berkerja di bengkel motor tinggal di sekitaran sungai kali Ciliwung tepatnya di Kampung Melayu Pulo. Sebagaimana diketahui, kawasan kali Ciliwung merupakan tempat yang rawan terkena banjir. Ketika banjir datang, masyarakat akan berbondong-bondong menuju tempat pengungsian salah satunya masjid. Ia betul, “Masjid”.
Menggeluti bidang permontiran, yang menghabiskan banyak waktu membuat Nasrul Marhaban jarang sekali ke masjid untuk beribadah. Bahkan, saking jarangnya ada olok-olok yang entah siapa pertama sekali mengatakan. “Si Nasrul itu cuma mengunjungi masjid dalam tiga kesempatan. Hari Raya Idhul Fitri, Hari Raya Kurban, dan Ketika banjir datang”.
14 Juni 2025 banjir menghampiri Kampung Malayu Pulo, banjir kali ini tak seperti banjir di hari-hari kemaren. Arus deras dan di tambah curah hujan yang tampa ampun menghujam dengan kekuatan maksimal, memaksa seluruh warga harus di evakuasi menggunakan perahu milik kantor kelurahan.
Satu persatu warga termasuk istri Nasrul Marhaban melompat ke perahu. Namun, nahas berbeda dengan Nasrul Marhaban. Jika saja, Alquran yang dibungkus plastik bening tidak merosot dari dekapannya dan tercebur ke air saat ia bersiap melompat ke perahu. Sudah barang tentu Nasrul Marhaban bisa menikmati kopi memandangi senja bersama sang istri tercinta ke esokan harinya.
Namun, apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, semesta tak merestui, dan takdir sudah berkata. Nasrul Marhaban, lebih memilih Alquran dan ikut terseret arus deras nan menukik. Saksi mata melihat Nasrul Marhaban mendapatkan bungkusan Alquran tersebut. Sayangnya, mengayu dengan tangan tunggal untuk melewati arus deras seperti itu bukan ide yang bagus. Ndilala, Nasrul Marhaban ikut terseret arus sembari meneriakkan nama Tuhan.
Ke esokan harinya setelah ia dimakamkan di tempat pemakaman umum, nama Nasrul Marhaban sontak menjadi buah bibir di tengah masyarakat, dari warung kopi ke warung kopi dan mimbar bebas ke mimbar masjid semuanya membicarakan bahwa Nasrul Marhaban meninggal husnul khatimah karena menyelamatkan Alquran.
Seminggu setelah kepergian Nasrul Marhaban, istrinya Emmah mengunjungi makam untuk berdoa memohon ampun. Karena, hanya Emmah yang tau bahwa sehari sebelum kejadian Nasrul Marhaban menerima gaji dan hanya Emmah pula yang tau jika Nasrul Marhaban biasnya menyimpan uang di dalam Alquran yang dibungkus plastik bening itu.
Penulis, Ronot Rigen