Akhirnya gadis itu berhasil memasuki toilet yang terletak di ujung koridor. Daun pintu dari kayu mahoni yang dilewatinya barusan masih tetap bergerak saat mulutnya mulai memuntahkan sumpah serapah, “Sialan! Siapa sih yang punya ide membuat pintu masuk ke toilet rumah sakit mirip seperti pintu masuk ke bar tua di film-film cowboy begini?”
“Siapapun dia, aku berjanji akan melumat otak orang dungu itu jika aku bertemu dengannya. Akan kujadikan kornet busuk lalu kuberikan kepada anjing gila yang bokongnya dipenuhi kudis dan borok,” lanjutnya.
Tangan gadis itu terus bergerak dan membuat kursi roda yang digunakannya terus melaju. Selusin kejengkelan yang menyelimuti batinnya terus meletup dan siap dimuntahkan kepada siapa saja, tak peduli apakah itu adalah mahluk tak bernyawa seperti pintu toilet tadi atau mahluk bernyawa seperti orang yang punya ide untuk memasang pintu sialan itu. Percakapan Dokter Salim dan Mamahnya terus terngiang-ngiang di telinganya, persis seperti suara segerombolan nyamuk yang datang menyerbu saat ia lupa mengoleskan lotion beraroma kulit jeruk.
“Dua ruas tulang belakang anak Ibu sudah rusak. Pemasangan pen harus segera dilakukan atau kondisi anak Ibu akan lebih buruk lagi dari ini.” Gadis itu menirukan ucapan Dokter Salim kepada Mamahnya saat mereka mendatangi ruang periksa. Ia tak jengkel pada dokter tua yang seluruh rambutnya mulai memutih itu. Ia juga tak jengkel pada Mamahnya yang hanya bisa mengangguk dan mengatakan, “Iya, dok. Apapun itu, yang terbaik untuk anak saya.”
“Apa kau takut?” tanyaku saat melihat raut wajahnya di cermin lebar yang terpasang di dinding. Air masih mengalir dari kran yang ada di westafel berwarna putih bersih di hadapannya.
Gadis itu menggeleng. Ia lalu menekan tuas kran air setelah selesai membasuh wajah. Sebungkus tissue ia keluarkan dari tas jinjingnya yang berwarna merah bata .
“Tak perlu berbohong, Bestari. Katakan saja kau takut pada operasi bedah yang menyeramkan itu. Tak ada gunanya kau terus membohongi dirimu sendiri,” kataku sambil mengelap tetesan air yang masih tersisa di pelipis dan daguku.
Sesungging senyum yang lebih mewakili sebuah ejekan yang merendahkan ketimbang sebuah keramahan menghiasi bibirnya. “Takut? Yang benar saja! Aku adalah Bestari dan aku tidak dilahirkan untuk mengabdi kepada ketakutan.” Gadis itu menudingkan telunjuk di depan hidungnya.
Aku tertawa geli melihat kepongahan yang ia reka untuk menutupi ketakutannya. “Hahaha. Kalau memang kau tak takut, kenapa kau harus melarikan diri ke tempat sialan ini? Kenapa tak kau hadapi saja Dokter Salim dan vonisnya itu?”
Gadis itu diam sejenak. Kedua tangannya memainkan ujung kardigan berwarna abu-abu yang ia kenakan. Kepalanya sempat menunduk sebelum akhirnya kembali menatapku. “Aku hanya khawatir pen sialan itu akan merubah penampilanku,” katanya kemudian.
“Tak apa. Paling itu hanya akan berlangsung sebentar. Pen itu akan menyembuhkanmu dan menjadikanmu gadis normal kembali.” Aku sadar betul penghiburan ini mungkin tak akan mempan dan hanya akan berakhir sebagai sebuah kesia-siaan belaka. Tapi sesuatu yang dinamai harapan itu boleh tetap kupelihara, bukan?
Gadis itu malah menggelengkan kepalanya lagi. Ia menatapku dengan tatapan yang lebih tajam dari sebelumnya. Bibirnya yang mulai pucat karena lipstick yang ia gunakan mulai luntur terus merepet dan mencecarkan pertanyaan demi pertanyaan. Bagaimana kalau ternyata pen yang dipasang di dua ruas tulang belakangnya yang disebut Dokter Salim telah koyak itu harus terus bersemayam disana? Bahkan lebih parah dari itu- bagaimana jika operasi pemasangan pen itu justru gagal dan mengantarkannya ke ambang kematian? Bagimana jika bentuk tubuhnya akan berubah? Bagaimana jika pada akhirnya ia harus terus berkarib dengan kursi roda yang sangat dibencinya itu sepanjang sisa hidupnya?
“Gadis bodoh! Ketakutanmu sangat aneh, Bestari” cibirku setengah berteriak. Untung saja tak ada orang lain di toilet yang pintu masuknya mirip pintu masuk ke bar tua di film-film cowboy ini.
Gadis itu berkilah, “Aku tidak aneh dan sudah kubilang aku tidak takut. Dokter Salim sendiri yang bilang resiko itu ada dan sangat mungkin untuk terjadi.” Aku sungguh tak habis pikir pada gadis bodoh ini. Ia sendiri yang bilang bahwa ia adalah Bestari yang tidak dilahirkan untuk mengabdi kepada ketakutan tapi ia sendiri merapalkan begitu banyak kekhawatiran.
Aku menghela nafas. Suasana toilet ini cukup hening sehingga membuatku bisa mendengar debar jantungku sendiri. Aku menatap gadis itu dengan perasaan yang tak karuan. Memelihara kekhawatiran atas apa yang akan terjadi di masa depan memang menyakitkan. Seringkali hal itu juga menciptakan debaran aneh dan tak jarang mendenyutkan nyeri tak tartahankan, melebihi rasa sakit yang datang saat kita telat menelan pil pereda nyeri di malam hari.
“Bagaimanapun juga, kau telah dipilih Tuhan untuk mengahadapi pertempuran ini, Bestari.”
“Ya, kau betul. Memang tak ada yang tahu bagaimana pertempuran ini akan berakhir. Tapi meskipun begitu, bahkan jika memang pertempuran ini harus berakhir dengan kekalahan, aku akan kalah sebagai martir yang melawan.” Kali ini ia menampilkan sesungging senyum yang berbeda. Bukan lagi senyum yang mewakili ejekan yang merendahkan seperti sebelumnya.
“Ya. Kau adalah Bestari dan kau tidak dilahirkan untuk mengabdi kepada ketakutan,” pungkasku sambil terus mempertahankan senyum itu.
Suara derit pintu toilet yang didorong oleh seseorang mengagetkanku. Cermin lebar di hadapanku memantulkan bayangan seorang wanita dengan gamis hijau yang dihiasi motif bunga mawar berwarna merah muda. Aku masih mempertahankan sesungging senyum di bibirku yang mulai pucat karena lipstick yang kugunakan mulai terkikis setelah membasuh wajah tadi ketika Mamahku bertanya, “Kau disini daritadi, Bestari? Ayo pergi sekarang! Dokter Salim sudah menunggu.”
Mamah mendorong kursi rodaku perlahan melewati pintu yang terbuat dari kayu mahoni, yang lebih cocok menjadi pintu bar tua seperti di film-film cowboy. Tentu saja kali ini aku tak perlu susah payah melewati pintu ini. Aku juga tak perlu mengumpat apalagi merapalkan selusin sumpah serapah untuk orang aneh yang memasang pintu semacam itu di toilet rumah sakit.
Cilempuyang, 5 Juni 2021
Penulis, Diniar N. Fadilah lahir di Cilacap pada tanggal 4 Mei 1998. Kecintaannya pada dunia kepenulisan mulai tumbuh saat ia duduk di bangku sekolah dasar dan terus diasah sampai sekarang. Cerpen-cerpennya yang banyak mengambil setting kehidupan masyarakat pedesaan dimuat di beberapa media baik cetak maupun elektronik seperti mingguan Joglosemar, metamorfosa.co, dan serikatnews.com. Selain menulis cerpen, Diniar juga gemar menulis esai. Salah satu esainya yang berjudul Menjadi Ken Arok Di Era Global menyabet juara 1 dalam lomba menulis esai yang diadakan oleh Nalar Politik dan IPMAJU tahun 2017. Diniar dapat disapa melalui akun facebook Diniar N. Fadhilah serta instagram dan twitter di akun @dhianufha.