PAIDEIA: Hikayat Perdebatan tentang Sosok Negarawan

Oleh : Anas Kurniawan

Scroll Untuk Lanjut Membaca
PAIDEIA: Hikayat Perdebatan tentang Sosok Negarawan

“…dan bahwa sebuah kehidupan yang tidak dikaji adalah kehidupan yang tidak layak untuk dihidupi manusia.” (Socrates) dalam Haryanto Cahyadi, “Paideia; Mendidik Negarawan Menurut Platon”, hlm. 148.

Kilatnews.co- Siapa yang tak mengenal Socrates? Menurut riwayat, perawakannya pendek, wajahnya tak begitu tampan dan punya istri yang galak. Tetapi dalam perkara debat, berdiskusi, menganalogi ia sangat jago. Bagi beberapa pemikir, tokoh atau mungkin mahasiswa filsafat semester akhir, Socrates telah menggali, merumuskan salah satu bidang yang paling diperhitungkan dalam dunia filsafat, yaitu Etika.

Kutipan di atas merupakan kata-kata Socrates saat dia diadili karena dituduh menyebarkan paham sesat tentang polis, negara, pada anak-anak muda. Barangjadi bagi beberapa orang hanya dijadikan sebagai quote status WA, story instagram, dan cuitan twitter agar terlihat bijak tanpa embel-embel mengajak membaca bukunya lebih lanjut, atau minimal berdiskusi tentang derita anak jalanan yang disebabkan sistem pendidikan yang hanya mau menerima kalangan berduit. Bagi saya, kutipan tersebut merupakan cara Socrates menyindir sekaligus mendidik warga polis yang saat itu telah bertindak keji terhadap dirinya.

Polis Athena atau umumnya Yunani, merupakan gelanggang bagi pemikir, saintis, penyair, negarawan dan juga filsuf. Disanalah pertarungan ilmu pengetahuan pernah terjadi oleh sebab kemajuan pendidikan atau paideia-nya. Paideia sendiri berarti pendidikan untuk pembudayaan dalam menggapai keutamaan manusianya.

Paideia menurut yang tertulis dalam buku ini, awalnya merupakan pendidikan untuk anak-anak, namun mengalami perkembangan setelah Yunani menyadari begitu dalam bahwa pendidikan umunya harus menjadi tonggak dari peradaban, sehingga saat Yunani memasuki perdagangan Internasional (ditandai ketika pasukan Xerxes menyerang Yunani), mereka menetapkan satu keputusan penting bahwa anak-anak sampai orang dewasa harus mendapatkan pendidikan, yang bertolak dari puisi, orasi, sampai pada pengetahuan-pengetahuan tentang kebijaksanaan (filsafat).

Mereka tak boleh bodoh. Bahkan dalam paideia kaum Sofis, mereka yang tidak mau belajar, berdiskusi, bersyair akan dicabut hak kewarganegaraannya dari polis. Keren!

Baca Juga:

Rekonstruksi Nalar dan Pencarian Identitas Baru

Abad V-SM masyarakat Yunani menyadari arti penting dari Paideia sebagai sebuah pembudayaan atau dalam bahasa yang lebih nyaring barangkali berbunyi “melek pengetahuan”, baik itu pengetahuan tentang “ada” maupun pengetahuan tentang “yang mungkin ada” untuk mencapai keunggulan, mencapai yang terbaik, sejauh tubuh dan pikiran berfungsi optimal hingga mencapai tujuan tertingginya secara seimbang.

Corak masyarakat yang demikian tak dapat dilepaskan dari pengaruh Homeros, atapun Hesiodos “sang penyair” yang merupakan peletak batu pertama dalam proyek yang saya sebut sebagai “humanisasi” itu, meski kemudian mendapat kritik dari kaum Sofis maupun Platon. Hal ini tentu saja karena kelemahan-kelemahan dari karakter Paideia Homer lebih menekankan peran Dewa-Dewi sebagai dalang. Dan Manusia sebagai wayang dalam pembudayannya.

Pertanyaannya adalah mengapa proyek tersebut begitu menarik dan mempengaruhi hampir seluruh peradaban di dunia?

Dalam karya-karya penyair dan filsuf-antik khususnya, kita senantiasa menjumpai keanggunan ungkapan puitis, maupun kelenturan serangkaian permenungan filosofis yang hendak menyatakan bahwa tidak ada perkara paling rumit sekaligus menakjubkan daripada mengenai teka-teki elusif tentang siapa gerangan makhluk fana bernama manusia. Ya, pijakan soalnya adalah pada manusia. Lemah-lembut sekaligus agresif, penyanyang sekaligus penakluk, pembuat hukum sekaligus yang melanggar, pemikir sekaligus perasa dst.

Kompleksitas tersebutlah yang membuat manusia unik sekaligus menyebalkan. Namun yang paling mendasar dibahas disini adalah bagaimanakah sosok negarawan sebenarnya? Apakah ia boneka yang dikontrol oleh sistem partai? Apakah ia pemimpin sederhana tetapi merupakan kaki tangan oligark? Ataukah negarawan itu adalah seorang pemimpin yang terjun langsung ke lapangan guna mendapat hasil foto dari sudut kamera yang pas? Anda mungkin akan mulai berpikir dari sini.

Homeros, sang penyair, mengidentifikasi sosok negarawan terdiri dari; mereka yang bersyair (penyair) dan sosok lelaki yang mampu menunjukkan kelelakiannya di medan perang. Tak gentar jika ditantang, tak mundur jika diancam. Medan perang merupakan satu-satunya tempat mencari kehormatan (aidos), baik jika ia pulang dengan selamat maupun jika kepalanya harus dipenggal oleh lawan. Hidup mendapat pujian, mati, setidaknya disambut hangat oleh Dewa-Dewi Olimpus.

Baca Juga:

Oposisi itu Bernama Rocky Gerung

Karakter yang demikian bagi Homer, haruslah dididik oleh Penyair, mereka yang dipercayakan para Dewa untuk menceritakan suasana dan keinginan penghuni Olimpus. Syair-syair diperdengarkan agar mereka berani, agar mereka melakukan apa yang dikehendaki para Dewa.

Cerita-cerita tentang perang dan cek-cok para Dewa merupakan bagian penting yang harus diceritakan sebagai dongeng sebelum tidur. Contoh: dalam perang Troya, sebagaimana cerita Homer dalam ILIAD, Zeus berpihak pada bangsa Troya dibawah kekuasaan Priamos, bangsa yang loyal terhadap Zeus. Berbeda dengan istrinya Hera yang lebih condong ke bangsa Yunani yang dipimpin Agamemmnon dan Menelaus. Apapun yang dilakukan para Dewa, manusia harus tau, karena dalam Paideia Homerik, manusia merupakan makhluk gembala para Dewa.

Keberpihakan para Dewa dalam perang dan perilaku manusia bukan hal yang asing dalam Paideia Homerik. Paideia tersebut bertahan cukup lama, sebelum akhirnya muncul kaum Sofis sebagai pendakwah pengetahuan dari polis ke polis merevisi, dan menghidupkan Paideia baru dengan slogan “gerakan Pedagogis”.

Protagoras, bagi Platon merupakan bapak kaum Sofis, mengatakan bahwa “Manusia merupakan ukuran segala sesuatu”. Bentuk kritik ini disampaikan dalam rangka dan upayanya untuk meremajakan kembali ide Homer tentang Paideia. Manusia bertindak tak berdasarkan wayang atau bonekanya Zeus dkk. Manusia merdeka karena pengetahuannya, berargumen karena pikirannya.

Kemunculan kaum sofis dalam upaya-upaya pembudayaan setidaknya membuahkan hasil yang patut kita apresiasi hingga abad ini. Meski mereka yang aktif dalam mazhab “Sofis” tak dapat dikatakan sebagai negarawan, juga filsuf. Namun kualitas pengetahuan mereka menjadi ukuran, tonggak kemajuan Yunani-Kuno pada kurun kepemimpinan Pericles. Bahkan metode pengajaran “Pedagogis” ala Sofis masih tetap dipakai setelah jatuhnya polis Athena ke tangan orang-orang Sparta pada perang Peloponnesus, oleh peradaban Alexandria dan Roma.

Baca Juga:

Solidaritas Sosial Durkheimian pada Masyarakat Perkotaan

Cetakan negarawan dalam Paideia Sofis adalah seorang orator. Saya sendiri mengagumi Soekarno sebagai orator, atau Quintus Lentulus Batiatus, pemilik gladiator-gladiator unggul dari Capua, Roma, dalam film Spartacus. Mereka yang ingin menjadi negarawan tak lagi harus menguasai syair seperti yang disarankan Homer, tetapi mereka yang dapat menyampaikan pidato-pidato politiknya di hadapan publik untuk mendapatkan jabatan-jabatan tertentu dalam hirarki politik polis. Hal inilah yang kemudian ditentang oleh Socrates maupun Platon.

Negarawan dalam pengertian kaum Sofis bagi Platon, tak lain merupakan pelukis ranjang, urutan terendah dalam alegorinya tentang ranjang, yang sifatnya hanya perseptual indrawi. Kaum Sofis melupakan satu hal yang menurut Platon dan Socrates sangat penting yaitu Idea Yang Baik. Dan cara meraihnya juga tak seperti mata manusia menangkap cahaya, atau menyaksikan keindahan alam. Ia harus dilatih dari pertama manusia itu lahir ke bumi.

Socrates dan Adeimantos, misalnya, melarang dongeng tentang pertikaian para Dewa di Olimpus pada anak-anak sebelum tidur. Socrates sendiri tak sependapat dengan Homer dalam urusan cerita dan syair-syair sebelum tidur. Socrates, dalam percakapannya dengan Adeimantos lebih sepakat para Dewa digambarkan sebagai pengadil yang baik sehingga hal tersebut menjadi bekal jiwa anak-anak untuk dapat bersikap bijak kelak hingga dewasa.

Namun dakwah kebijaksanaan yang dilakukan oleh Socrates pada akhirnya diklaim merusak generasi oleh elit-elit polis dan negarawan hasil didikan kaum Sofis dan akibatnya Socrates harus dihukum mati dengan cara menenggak racun.

Negarawan semata-mata harus selesai terlebih dahulu tentang Yang Baik, tak hanya dengan melatih indra agar peka terhadap realitas politik dan sebagainya, namun yang utama adalah latihan jiwa, latihan yang mengantarkan seseorang pada pengetahuan yang Paripurna guna menjadi manusia yang elok dan baik (Kalos Kaghatos).

Baiklah, saya akan tetap kembali pada pernyataan Socrates: “…dan bahwa sebuah kehidupan yang tidak dikaji adalah kehidupan yang tidak layak untuk dihidupi manusia.”

Reporter: KilatNews