Solidaritas Sosial Durkheimian pada Masyarakat Perkotaan
Oleh: Inggriana Sahara Bintang
Selama krisis pandemi COVID-19, tingkat solidaritas adalah dasar dari ketahanan masyarakat. Langkah-langkah dan himbauan yang dilakukan pemerintah dapat dipraktikkan secara efektif, apabila jarak sosial yang ada di masyarakat bisa mencapai tingkat minimum.
Solidaritas sosial sendiri merupakan penguat untuk membantu mengurangi jarak sosial yang meningkat selama pandemi. Eksplorasi teori solidaritas sosial Emile Durkheim dalam krisis COVID-19, menunjukkan adanya transisi sosial yang diciptakan oleh pandemi.
Durkheim pada awalnya berpandangan bahwa dalam perjalanan evolusi sosial, solidaritas mekanis pada masyarakat tradisional akan membuka jalan menuju solidaritas organik masyarakat modern. Sedangkan solidaritas mekanis dibutuhkan dalam menangani pandemi COVID-19, terlepas dari posisinya pada masyarakat tradisional ataupun pada masyarakat modern.
Tindakan kolektif atau mekanis dapat merangsang solidaritas sosial, sedangkan ketidaksetaraan atau tanpa adanya tindakan kolektif, akan berdampak pada rusaknya solidaritas. Dengan demikian, solidaritas sosial mempunyai peran penting dalam mengurangi risiko kesehatan masyarakat dengan mengembangkan kesadaran kolektif di masyarakat selama pandemi.
Solidaritas Sosial Masyarakat Perkotaan
Dengan wacana pemberlakuan solidaritas mekanis dalam seluruh elemen masyarakat, akan menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat modern atau perkotaan. Sekitar setengah populasi di dunia saat ini tinggal di daerah perkotaan.
Banyak sekali ilmuwan sosial yang mengkaji proses interaksi sosial daerah perkotaan karena memiliki kapasitas unik untuk menyatukan banyak untaian budaya. Perkotaan adalah tempat masalah ekonomi dan dinamika kekuasaan diintensifkan di wilayah spasial kecil yang mana sumber daya menjadi langka, karena padatnya populasi.
Selanjutnya, kota berfungsi sebagai zona bertemunya hubungan ekonomi dan jenis keragaman lain karena ide, barang, dan manusia terus mengalir di wilayah perkotaan. Akibatnya, masyarakat kota harus merespons pengaruh-pengaruh baru, seringkali memunculkan aliran-aliran budaya yang dominan, sehingga menciptakan adanya perbedaan.
Georg Simmel, seorang sosiolog Jerman dari pergantian abad kedua puluh, terkenal mempertimbangkan dampak sosial dari lingkungan perkotaan di dalam bukunya yang berjudul, “The Metropolis and Mental Life”. Karyanya ini awal mulanya diberikan sebagai materi dalam rangkaian kuliahnya tentang aspek kehidupan kota.
Simmel awalnya diminta memberi kuliah tentang peran kehidupan intelektual di Berlin, tetapi dia secara efektif membalikkan topik untuk menganalisis efek urbanitas pada pikiran individu. Simmel berpendapat bahwa kehidupan perkotaan mengubah pikiran seseorang secara ireversibel. Simmel menulis, kekuatan struktural pada pola sosialisasi di lingkungan perkotaan sangatlah kuat.
Kekuatan struktural inilah yang oleh Durkheim disebut sebagai solidaritas organik. Masyarakat perkotaan cenderung membangun rasa komunitas mereka dengan membuat orang bergantung satu sama lain, karena pembagian kerja yang sudah terspesialisasi.
Hal tersebut tentu sangat terhindar dari adanya difusi atas tanggung-jawab masing-masing individu. Dengan berkembangnya pembagian kerja, kesadaran kolektif mulai menurun. Setiap individu memiliki serangkaian tugas terpisah yang akan dia lakukan. Situasi yang berbeda ini mengarah pada serangkaian pengalaman yang berbeda untuk setiap individu. Masyarakat tidak lagi memiliki kesadaran yang sama, jarak nyata antar individu telah berkurang.
Pentingnya Masyarakat memiliki Kesadaran Mekanis
Realitas kemajemukan Indonesia yang telah dijelaskan dalam bagian awal tersebut menunjukkan adanya kesadaran organik yang seringkali menimbulkan konflik. Adanya solidaritas organik dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini kadangkala merugikan masyarakat, karena masih banyak yang berperilaku tidak berperikemanusiaan. Seperti contoh, ditolaknya pasien COVID-19 untuk dimakamkan di kampung halamannya karena dianggap akan menularkan virus tersebut. Dalam kamus Durkheimian, tindakan ini disebut sebagai perilaku individualis.
Maka dibutuhkanlah kesadaran mekanis agar saling tolong-menolong sesama masyarakat, dan yang paling terpenting adalah kesadaran kolektif untuk bersama-sama memberantas pandemi COVID-19.
Tanpa adanya kesadaran kolektif, pandemi akan semakin panjang. Jangan sampai karena adanya pandemi COVID-19, menghilangkan rasa kemanusiaan dan empati kita.
Inggriana Sahara Bintang. Penulis lahir di Cirebon, Jawa Barat. Tercatat sebagai mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, prodi Sosiologi Agama angkatan tahun 2019. Jejak bisa ditemukan di akun Instagram @inggriaaasb_ dan akun twitter dengan username yang sama. Aktif di beberapa organisasi intra maupun ekstra kampus. “Wasn’t born to be an average” adalah motto hidup favorit.