Presiden Jokowi Jangan Termakan Agenda Konyol Buk Mega!

Oleh : A. Fahrur Rozi

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Presiden Jokowi Jangan Termakan Agenda Konyol Buk Mega!

“Pemimpin itu harus memimpin rakyat. Artinya bertemu dengan rakyat, istilahnya supaya rakyat itu tahu, hidungmu lho”.-Megawati Soekarno Putri-

Ungkapan diatas adalah ungkapan Ketua Umum Partai PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri. Media ramai-ramai meliput ungkapan konyol itu. Iya, ungkapan disertai dengan embel-embel “blusukan” untuk memberi catatan kepada presiden kita, Joko Widodo. Dengan percaya diri sekali sebagai mantan presiden, dia berbicara negara tidak cukup dipimpin dengan teori-teori tata kelola saja, perlu turun ke bawah, menyapa rakyat, unjuk batang hidung sambil bilang, “Saya Jokowi, pemimpin kalian, pemimpin negeri ini”.

Jangan sampai Pak Jokowi termakan dengan “blusukan” itu, jangan sampai. Harus bijakasana. Kritik boleh-boleh saja untuk mendewasakan demokrasi pemerintahan. Tapi lihat, secara subjektif dan kepentingannya, murni untuk kebajikan atau hanya cari elektabilitas saja? Secara objektif, pantaskah sekarang ini, di tengah jeratan pandemi, Pak Jokowi Blusukan? Harus dikupas secara tuntas.

Baca Juga:

Apa Untungnya Pasang Baliho?

Yang jelas dengan agenda Pak Jokowi akan blusukan yang kesekian kalinya. Lagi dan lagi dia memposisikan diri secara suka rela menjadi sasaran empuk amukan massa atas pelanggaran hukum “kerumunan”. Dia, Pak Jokowi, sebagai presiden, orang nomor satu di negeri ini, keberadaannya dalam suatu agenda blusukan akan memancing antusiasme masyarakat yang melihat langsung sambil salaman dengan pemimpinnya sendiri, ternyata begini-begitu pemimpin mereka, yang selama ini mereka lihat hanya di TV, HP, radio. Secara virtual saja, tidak nyata. Tapi keberadaannya mengikat rakyat dengan kebijakan yang dibuat dan hukum yang diberlakukan.

Belakangan ini kasus kerumunan Pak Jokowi menjadi tranding topik. Persatuan Alumni 212 (PA 212) semakin merangsek meminta proses hukum mendarat di hadapan Pak Jokowi. Pemicunya juga blusukan itu. Pak Jokowi turun menyambangi Terminal Grogol Jakarta Barat untuk bagi-bagi sembako kepada rakyat setempat. Kerumunan pun terjadi, tak bisa dihindari. Rakyat dengan penuh energik menemui Pak Jokowi, antusias. Terlepas rakyat ingin menemui pemimpin mereka, atau menyambut sembakonya, itu hak rakyat.

Baca Juga:

Gibran Ikut Pasang Baliho Puan Maharani, Sinyal Arah Politik Jokowi kah?

Kasus blusukan tersebut menyeret Pak Jokowi pada posisi “serba-salah”. PA 212 menuntut proses dan kesamaan dihadapan hukum. Meminta Pak Jokowi ditangkap. Dituntut berdasarkan perundangan-undangan yang berlaku, layaknya kasus kerumunan Petamburan Habib Rieziq Shihab (HRS), menurut isu yang beredar kerumunan di Petamburan terjadi tanpa direncanakan, bahkan HRS melarang sebelumnya. Katanya, murni antusias massa, mau “nyapri” barokah dari dzurriyah Nabi itu.

Di samping itu, keberadaan Pak Jokowi yang masih memimpin pemerintahan untuk 3 tahun ke depan. Mengingat jabatan presiden, untuk sementara waktu, Pak Jokowi berlindung atas statusnya itu. Ada proses istimewa nantinya.

Maka agenda pemerintahan yang memicu kerumunan dijauhi dulu untuk sementara. Presiden Jokowi jangan termakan dengan agenda konyol Buk Mega. Boleh jadi itu sebagai bentuk pembuktian terhadap keberadaan partainya di jajaran kabinet Jokowi. Terimplikasi oleh hasil survei pengamat politik Jerry Massie bahwa  partai banteng moncong putih Buk Mega sudah mengalamai alienasi peran dalam pemerintahan. Saat ini selalu dinomorduakan.

Secara tegas pengamat politik asal Political and Public Policy Studies (P3S) itu menyarankan agar Buk Mega menarik kader partainya, mundur dari jajaran mentri kabinet dan mendeklarasikan oposisi dari pemerintahan. Dia membeberkan Jokowi lebih mendengarkan Luhut Binsar Pandjaitan dari pada Buk Mega dalam mengambil kebijakan. Jajaran kadernya di kementerian sama sekali tidak diberikan kewenangan, utamanya dalam penanganan Covid-19.

Baca Juga:

Hak Politik dan Nasib Demokrasi

Faktanya, Jokowi bergerak sana-sini menggandeng luhut di sampingnya, termasuk kebijakan TKA China yang sama sekali bukan bagian dari otoritas kementerian Luhut. Takutnya, Buk Mega terprovokasi oleh Pak Jerry, sehingga pakai “blusukan” semua itu untuk mengklarifikasi marwah perannya dalam pemerintahan Pak Jokowi. Didengar masih tidak ya?

Agenda konyol itu lebih parah dari “pemerintahan di atas baliho”. Lebih baik Puan Maharani, jika sampai Pak Jokowi mengagendakan blusukan. Setidaknya gambar dengan nuansa politik Puan yang tersebar di jalan-jalan, meski dinilai tidak etis karena masa kontestasi politik elektoral yang masih lama, dan dianggap tidak simpati dengan pandemi yang sedang menjerat, setidaknya baliho-baliho itu, menurut Sujiwo Tejo bisa sedikit dimanfaatkan oleh warga. Baliho diturunkan, diberikan kepada warga untuk membuka lapangan kerja baru, dijadikan tenda atau aling-aling tempat usaha kaki lima, tukang cat, jual nasi, tukang jahit, dll. Setidaknya pula pemimpin di atas baleho sedikit mengembalikan fitrah kepemimpinan yang bermanfaat setelah dikontaminasi dengan kepentingan personal pemerintah di negeri ini. Ketimbang harus blusukan?

Baca Juga:

Meneladani Kepatriotan Puan Maharani

Itulah sekadar pengantar kondisi dan dinamika politik pemerintahan dan kepartaian yang sedang renyah diperbincangkan. Fenomena dialektis yang dapat menggambarkan konsep perpolitikan sektoral para elit yang dimonopoli untuk kepentingan. Idealis perpolitikan, mengatur serangkaian agenda kebijakan publik dengan orientasi kesejahateraan bersama melalui wewenang yang sah dan memperoleh legitimasi rakyat, hanya omong belaka, no sense.

Politik kekuasaan semakin hari tidak terbendung, menjerat para elite manapun, berteleportasi dimana-mana, bertendeng dalam situasi-kondisi apapun. Tujuannya hanya satu, kuasa. Dengan kondisi jeratan pandemi yang mati-matian ditanggulangi, politik acap kali masih nongol dengan wajah kepentingannya. Melalui wacana pemimpin yang “blusukan” dengan kedok humanis kerakyatan, atau pemerintahan di atas baleho yang menyuarakan kebangsaan dengan tujuan politik elektoral, perang elite penguasa dengan rentang 5 tahunan. Semoga baik-baik saja politik kita.

Tanggalkan keduanya, fokus Covid-19. Ada-ada saja!

A. Fahrur Rozi. Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Annuqayah dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah konsentrasi Hukum Tata Negara. Aktif di Distrik HTN)

Reporter: KilatNews

Tag