Memaknai Puisi “Tangan Waktu” Karya Sapardi Djoko Damono

Oleh: Awan Aditya

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Memaknai Puisi "Tangan Waktu" Karya Sapardi Djoko Damono

KilatNews.Co- Prof. DR. Sapardi Djoko Damono, lahir di Solo, 20 Maret 1940. Beliau adalah seorang Sastrawan yang dikenal melalui banyak karya sastra puisi. Puisinya dirangkai menggunakan kata-kata yang sederhana sehingga beberapa diantaranya sangat popular, seperti aku ingin, perahu kertas, pada suatu hari nanti, hatiku selembar daun, hanya, tangan waktu, yang fana adalah waktu, dan yang paling terkenal ialah hujan bulan juni serta masih banyak lagi puisi lainnya.

Penulis akan mengulas salah satu puisinya yang berjudul tangan waktu dengan isi sebagai berikut:

selalu terulur ia lewat jendela

yang panjang dan menakutkan

selagi engkau bekerja, atau mimpi pun

tanpa berkata suatu apa

bila saja kau tanya: mau apa

berarti terlalu jauh kau sudah terbawa

sebelum sungguh menjadi sadar

bahwa sudah terlanjur terlantar

belum pernah ia minta izin

memutar jarum-jarum jam tua

yang segera tergesa-gesa saja berdetak

tanpa menoleh walau kauseru

selalu terulur ia lewat jendela

yang makin keras dalam pengalaman

mengarah padamu tambah tak tahu

memegang leher bajumu.

Pada bait-bait tersebut sang penulis ingin mengingatkan kepada “engkau” yang menjadi sudut pandang pada puisi “Tangan Waktu”, bahwa “waktu” selalu mengintai saat bekerja, berjuang, dan bermimpi, sehingga jika “engkau” melalaikan “waktu”, maka “waktu” akan terbuang. Sebagaimana terdapat pada kalimat-kalimat pada bait 1:

“selalu terulur ia lewat jendela,

yang panjang dan menakutkan,

selagi engkau bekerja, atau mimpi pun, tanpa berkata suatu apa”.

Dalam puisi ini, terdapat pesan bahwa “waktu” adalah kesempatan yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa satu kali saja, dan “waktu” tidak akan meminta izin jika ia berlalu pergi. “Waktu” terus berjalan dan mengintai.

Jika si “engkau” saat ini lalai dan “waktu” itu berlalu, maka “engkau” tidak dapat mengulang kembali “waktu” tersebut kembali ke masa lalu.

Sebagai mana terdapat pada kalimat-kalimat bait 2-4:

“bila saja kau tanya: mau apa,

berarti terlalu jauh kau sudah terbawa,

sebelum sungguh menjadi sadar,

bahwa sudah terlanjur terlantar,

belum pernah ia minta izin,

memutar jarum-jarum jam tua,

yang segera tergesa-gesa saja berdetak,

tanpa menoleh walau kauseru,

selalu terulur ia lewat jendela,

yang makin keras dalam pengalaman,

mengarah padamu tambah tak tahu,

memegang leher bajumu.”

Pesan yang ingin disampaikan melalui puisi ini, sang penulis (Sapardi Djoko Damono) ingin si “engkau” dalam sudut pandang puisi “Tangan Waktu” untuk memanfaatkan “waktu” dengan sebaik-baiknya untuk hal-hal yang bermanfaat.

Jangan pernah menyianyiakan waktumu untuk hal-hal yang tidak berguna. Sebagaimana pribahasa “waktu adalah pedang.” Jika engkau tidak menebasnya maka engkaulah yang akan ditebasnya.”

Jika engkau lalai terhadap waktu, yang kamu dapatkan hanyalah penyesalan belaka.

Dapat disimpulkan puisi ini diciptakan oleh Sapardi untuk memberi pesan pada pribadi yang kurang memanfaatkan waktunya untuk hal-hal yang berguna dan bermanfaat. Waktu tidak fana, dan Waktu hanya bersifat sementara.

Jika kita lalai terhadap waktu seperti apa masa depan kita kelak?

Dengan memanfaatkan waktu  sebaik-baiknua dan memanfaatkannya untuk hal hal yang bermanfaa,  baik itu untuk belajar atau bekerja, maka jalan untuk meraih masa depan menjadi lebih mudah.

Ingat! jam dinding selalu berputar maju dan takkan bisa kembali berpulang ke masa lalu.

Reporter: KilatNews