Semenjak bangsa kita menyempurnakan konstitusionalisme, bangunan konsep negara hukum Indonesia selalu bertransformasi. Meski perlu dicatat bahwa bertransformasinya konsep belum tentu seiring dengan transformasi pada aspekaktualisasinya, namun setidaknya telah terbangun konsep bernegara hukum yang lebih bernafas jati diri hukum bangsa Indonesia.
Konstruksi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum” sejatinya merupakan rumusan baru yang diangkat dari Penjelasan UUD NRI 1945 sebelum perubahan. Dalam penjelasan UUD NRI 1945 sebelum perubahan terkandung substansi bahwa kiblat negara hukum kita pada waktu itu lebih condong mengarah pada konsep “Rechtsstaat” sebagaimana yang dipraktikkan di negeri-negeri Eropa Kontinental, seperti Belanda, Perancis.
Negara hukum yang berkarakter legalistik, positivistik, maupun administratif itu berimbas ke dalam tata kelola negara-negara penganutnya, sebagaimana dapat kita saksikan betapa legal formalnya sistem peradilan, pelayanan pemerintahan, dan penyelenggaraan negara yang sangat teknis administratif.
Kosmologi Negara Hukum
Dalam literatur hukum dikenal varian konsep negara hukum selain rechtsstaat, yang sering kita dengar yaitu “the rule of law”, berkembang di negeri-negeri Anglo Saxon, seperti Inggris, Amerika Serikat. Sedikit bahkan hampir nihil praktik berhukum “the rule of law” dilaksanakan dengan pendekatan legal formal dan administratif sebagaimana terjadi dalam konsep negara hukum “rechtsstaat”.
Salah satunya ditunjukkan dengan tiadanya peradilan khusus tata usaha negara atau peradilan administrasi negara (Administrative rechtsspraak) yang menangani sengketa administrasi antara perseorangan atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, sebagaimana dipraktikkan di negara-negara penganut konsep “the rule of law”. Alasannya, karena dalam konsep rule of law, setiap orang dianggap sama dihadapan hukum (equality before the law), sehingga perkara cukup diselesaikan di peradilan umum saja.
Terinspirasi goresan pena intelektual mendiang Prof. Satjipto Rahardjo, bahwa tidak semua bangsa dan negara di dunia ini memiliki kosmologi yang sama seperti diyakini dan digunakan oleh bangsa-bangsa dari mana hukum modern itu berasal (Rahardjo,2010). Hakikatnya, kini bangsa Indonesia telah memiliki prinsip bernegara hukum yang sesuai dengan jati diri bangsa kita sendiri.
Pilihan frasa “…negara hukum” dalam rumusan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 diyakini menyerap substansi rechtsstaat dan the rule of law sekaligus nilai-nilai berhukum yang sudah sekian lama dianut oleh bangsa ini (hukum adat). Konsep “negara hukum Indonesia” dicita-citakan untuk mewujudkan negara yang menegakkan supremasi hukum guna mengakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.
Meski demikian, sudahkah bernegara hukum kita seirama dengan cita-cita rumusan Pasal tersebut?
Kultur Berhukum
Untuk menjawabnya sejenak mari merefleksikan kultur berhukum bangsa kita. Hamilton dan Sanders sempat menyatakan bahwa perbedaan dalam cara bangsa-bangsa berhukum dimulai dari pebedaan kulturalnya, “but culture and individual differ in the grounds for seeking justice” (Hamilton & Sanders, 1992). Maka untuk pertama kalinya mari menengok bagaimana bangsa kita menyikapi suatu sengketa, konflik, perkara, atau masalah-masalah hukum.
Bangsa-bangsa Barat yang berkosmologi individualistis lebih gemar berperkara dengan pendekatan hukum, bahkan dengan bangga mereka menyatakan “I want to see my lawyer first”. Lain halnya bangsa-bangsa Timur dengan basic “kekeluargaan” yang telah melekat dalam sanubari masyarakatnya, mestinya lebih gemar menjaga keharmonisan daripada berlarut-larut dalam perkara, bahkan akan menangis dalam hati apabila harus berhubungan dengan para penegak hukum (Rahardjo, 2010).
Dalam hukum adat/norma sosial misalnya, ketika ada seorang pencuri, ia kemudian dibawa/dipanggil kepala desa/kepala adat. Apabila terbukti benar mencuri maka ia harus mengembalikan “curiannya” disertai menanggung beban kerugian korban selama kurun waktu tertentu. Kultur berhukum tersebut tanpa melibatkan aparat penegak hukum formal dan dinilai lebih efektif menyelesaikan masalah sekaligus lebih menimbulkan efek jera secara sosial, bahkan lebih mendekati keadilan dan kebenaran menurut persepsi masyarakat.
Selanjutnya, kita mencoba melihat praktik bernegara hukum pada level penyelenggara negara. Ketika cita-cita negara hukum Indonesia menghendaki “tiada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban”, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana pertanggungjawaban kekuasaan eksekutif (Presiden), legislatif (DPR,DPD,MPR), dan yudikatif (MA, MK), serta kekuasaan lembaga-lembaga negara pendukung (state auxiliary organ) dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya?
Sejauh ini pertanggungjawaban sebatas tanggungjawab moral atau dengan mekanisme pengawasan dari kekuasaan lembaga negara lain (check and balances), serta advokasi masyarakat madani (civil society). Kekuasaan eksekutif oleh presiden, dulu sempat ada mekanisme pertanggungjawaban setiap tahun kepada MPR, yang berkonsekuensi pada eksistensi pemerintahan Presiden pada tahun berikutnya. Namun mekanisme tersebut kini sudah tidak berlaku lagi.
Ketaatan/kepatuhan terhadap putusan pengadilan turut menyertai potret kultur berhukum bangsa kita.. Bisa ditengok pengabaian putusan pengadilan jamak terjadi pada level kekuasaan, biasanya putusan yang menghukum atau membatalkan kebijakan pemerintah yang sering diabaikan. Pada level masyarakat, pengabaian terhadap hukum masih relatif terjadi terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
Masih banyak aspek bernegara hukum yang harus di refleksikan, sehingga menunjukkan potret yang komprehensif. Namun setidaknya, refleksi kultur berhukum bangsa sebagaimana diuraikan di atas memberi gambaran terhadap situasi praktik negara hukum di Indonesia.
Negara hukum Indonesia adalah konsep bernegara hukum yang “selalu berproses untuk menjadi”, namun demikian tak elok apabila prosesnya hanya berkiblat pada konsep hukum modern bangsa lain yang kosmologinya berbeda, sementara absen terhadap konsep negara hukum asli bangsa Indonesia.
Penulis, Yuniar Riza Hakiki
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (UII)