Kilatnews.co – Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro resmi mengundurkan diri dari kursi jabatannya sebagai Wakil Komisaris Utama/Komisaris Independen PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Rangkap jabatan rektor UI ini memang telah dilegalkan oleh Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia (UI) (PP 75/2021). Dalam PP tersebut, telah melegalkan kedudukan hukum rektor untuk memiliki jabatan ganda sebagai komisaris BUMN. Walaupun rektor tersebut telah menyatakan mundur dari jabatannya, namun masih terbuka celah lebar “otak-atik” pengaturan rangkap jabatan rektor di perguruan tinggi. Terhadap kondisi ini, Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, memberikan catatan sebagai berikut:

Scroll Untuk Lanjut Membaca
PSHK UII Angkat Bicara Terkait Rangkap Jabatan Rektor UI Ari Kuncoro

A. Masih terbuka celah lebar “Otak-Atik” Pengaturan rangkap jabatan rektor perguruan tinggi.

  1. Bahwa ruang pengaturan larangan terhadap rangkap jabatan rektor perguruan tinggi diletakkan dalam statuta perguruan tinggi yang ditetapkan dengan peraturan Menteri atau peraturan pemerintah (PP). Hal ini didasarkan oleh ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mendelegasikan pengaturan Statuta Perguruan Tinggi ditetapkan dengan peraturan Menteri dan Statuta Perguruan Tinggi berbadan hukum ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
  2. Bahwa peraturan Menteri dan peraturan pemerintah merupakan produk hukum yang dibentuk secara tunggal oleh pemerintah.
  3. Berdasarkan uraian tersebut, diletakkannya pengaturan statuta perguruan tinggi lewat peraturan menteri atau peraturan pemerintah membuka celah lebar bagi pemerintah untuk melakukan “otak-atik” terhadap pengaturan rangkap jabatan rektor perguruan tinggi.
  4. Kondisi ini setidaknya terlihat dari praktik pengesahan PP 75/2021. Bahwa PP 75/2021 menggantikan aturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI (PP 68/2013). Diketahui secara umum, bahwa Rektor Perguruan Tinggi yang bersangkutan saat masih berlakunya PP 68/2013, ternyata telah menjadi Komisaris di salah satu perusahaan milik negara. Fakta tersebut sejatinya telah melanggar Pasal 35 huruf c PP 68/2013 yang menyatakan bahwa rektor dilarang menjabat pada BUMN/BUMD/ataupun swasta. Namun, akhirnya pada PP 75/2021 yang mengganti PP 68/2013 telah mempersempit larangan tersebut yang hanya melarang jabatan “direksi” pada BUMN/BUMD/Swasta. Praktik yang dilakukan rektor dengan melakukan rangkap jabatan seakan telah dilegalkan. Padahal, pengesahan PP 75/2021 oleh Presiden tidak bisa dilepaskan dengan isu rangkap jabatan yang sebelumnya dilarang.

B. Menimbulkan Ketidakpastian Hukum

  1. Bahwa terbukanya ruang lebar bagi pemerintah untuk melakukan “otak-atik” terhadap pengaturan rangkap jabatan rektor perguruan tinggi dalam praktiknya telah menimbulkan ketidakpastian hukum terkait pengaturan rangkap jabatan rektor di pendidikan tinggi.
  2. Bahwa ketidakpastian hukum ini dapat terlihat dari tidak seragamnya pengaturan rangkap jabatan rektor di perguruan tinggi. Sebagai contoh:
    a. Larangan rangkap jabatan rektor diberlakukan hanya terhadap jabatan direksi di badan usaha. Hal ini antara lain diberlakukan di UGM (PP 67/2013) dan UI (PP 75/2021).
    b. Larangan rangkap jabatan rektor diberlakukan baik di jabatan komisaris dan direksi pada perusahaan. Hal ini antara lain diberlakukan di UNS (PP 56/2020), Undip (PP 52/2015), dan Unand (Permendikbud 47/2013).
  3. Adanya ketidakseragaman tersebut, menimbulkan ketidakpastian hukum terkait jabatan apa saja yang sebenarnya tidak boleh di rangkap oleh rektor pada perguruan tinggi di Indonesia.

C. Tidak Sejalan dengan Semangat Otonomi Pendidikan Tinggi

  1. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan kepada pemerintah Negara Indonesia untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
  2. Bahwa untuk menjalankan amanat ini, serta menjalankan kewajiban pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem Pendidikan nasional (sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945), maka pemerintah telah membentuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (Hal ini pun ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 021/PUU-IV/2006)
  3. Bahwa salah satu semangat yang diberikan dalam pengaturan sistem Pendidikan nasional lewat UU 20/2003 adalah diberikannya otonomi terhadap perguruan tinggi, baik terhadap penyelenggaraan Pendidikan maupun terhadap institusi Pendidikan tinggi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 24 UU 20/2003 yakni:
    (1) penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan;
    (2) perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
  4. Bahwa rektor perguruan tinggi memiliki posisi strategis dalam menentukan penyelenggaraan dan pengelolaan suatu perguruan tinggi yang salah satunya diwujudkan lewat kewenangan mengeluarkan kebijakan maupun peraturan di perguruan tinggi.
  5. Bahwa otonomi Pendidikan tinggi ini dapat diintervensi melalui ruang pengaturan rangkap jabatan rektor di perguruan tinggi lewat peraturan menteri atau peraturan pemerintah yang membuka celah lebar bagi pemerintah untuk dapat “mengotak-atik” ketentuan rangkap jabatan rektor di perguruan tinggi.
  6. Ruang ini dalam praktiknya terlihat lewat pengaturan PP 75/2021 yang kemudian melegalkan praktik rangkap jabatan rektor sebagai komisaris, padahal dalam PP 68/2013 ketentuan tersebut telah secara tegas dilarang.
  7. Bahwa ketentuan ini secara tidak langsung membuka ruang lebar intervensi terhadap rektor dengan diberikannya jabatan ganda sehingga berpotensi mempengaruhi rektor dalam melaksanakan penyelenggaraan dan pengelolaan di Pendidikan tinggi secara otonom.

D. Bahwa ketentuan PP 75/2021 tidak bisa diberlakukan secara surut

  1. Bahwa pemberlakuan PP 75/2021 yang melegalkan rektor perguruan tinggi merangkap jabatan komisaris tidak berlaku surut. Artinya, PP 75/2021 tidak bisa dijadikan alasan pembenar terhadap praktek rangkap jabatan yang telah dilakukan rektor sebelum PP 75/2021 ini dibentuk, karena sejatinya yang berlaku adalah PP 68/2013 yang di dalamnya melarang rektor untuk melakukan rangkap jabatan.

Terhadap beberapa catatan tersebut, Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia merekomendasikan:

Pertama, pengaturan larangan rangkap jabatan rektor di perguruan tinggi perlu diatur dalam produk hukum setingkat undang-undang.

Kedua, agar Presiden tetap menegakkan aturan yang telah dilanggar oleh rektor yang bersangkutan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 35 huruf c PP 68/2013 serta ke depan, Presiden harus melihat konteks pembentukan peraturan yang diajukan kepada Presiden, sehingga anggapan bahwa Presiden melakukan upaya legitimasi terhadap pelanggaran yang telah dilakukan oknum tertentu dengan cara merubah peraturan perundang-undangan tidak terjadi lagi.

Ketiga, perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang membuka ruang pengaturan rangkap jabatan rektor di perguran tinggi lewat peraturan Menteri atau peraturan pemerintah.

Reporter: KilatNews