MENGGUGAT REVISI UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Disahkannya perubahan ketiga Undang-Undang Mahkamah Konstitusi secara tergesa-gesa membuktikan bahwa ada persoalan serius berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang. Selain itu, materi muatan perubahan UU MK terindikasi bertentangan dengan Konstitusi. Dengan ini, Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut:

Scroll Untuk Lanjut Membaca
PSHK UII Menggugat Revisi Undang-Undang MK

1. Proses revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi cacat prosedur, karena hanya disusun dan dibahas secara tertutup dalam waktu 7 hari sehingga tidak ada kesempatan bagi publik untuk menyampaikan saran serta masukan. Proses pembentukan UU MK tidak sesuai dengan semangat Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mengatur bahwa RUU harus mendapatkan masukan dari masyarakat.

2. Cacatnya prosedur dalam revisi ini semakin nyata ketika Pemerintah dan DPR RI kebingungan dalam mengatur materi muatan dalam revisi UU MK. Substansi revisi UU MK tidak komprehensif karena hanya mengatur pola seleksi hakim konstitusi; penghapusan periodisasi masa jabatan hakim; dan naiknya usia minimal menjadi hakim konstitusi yang sebenarnya tidak memiliki basis kajian akademik sehingga berpotensi tidak berdampak signifikan terhadap penyempurnaan kelembagaan MK.

a. Pola Seleksi Hakim

Pengaturan pola seleksi hakim MK dalam revisi UU MK belum dapat menjawab serta memastikan bahwa proses rekrutmen hakim benar-benar objektif, transparan, dan akuntabel. Hal ini nampak dalam Pasal 20 ayat (2) yang masih mengembalikan kewenangan seleksi pada masing-masing lembaga negara. Revisi UU MK seharusnya lebih rinci mengatur seleksi melalui Jalur Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Hal ini dimaksudkan agar seleksi di 3 lembaga negara tersebut tidak berbeda-beda sehingga prinsip objektif, transparan, dan akuntabel dapat diwujudkan dalam seleksi.

b. Naiknya Usia Minimal menjadi hakim

Pengaturan naiknya usia minimal hakim MK dari 47 tahun menjadi 55 Tahun dalam revisi UU MK yang tidak disertai kajian akademik, kami nilai tidak memiliki legitimasi sosiologis dan urgensi yang nyata. Naiknya usia minimal hakim ini juga berpotensi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa, “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Seseorang yang cakap dan berintegritas sebelum berusia 55 tahun berpotensi terhalangi haknya untuk menjadi hakim konstitusi.

c. Penghapusan periodisasi masa jabatan hakim

Masa jabatan hakim konstitusi yang tadinya 5 tahun dan dapat diperjanjang satu kali justru dihapus kemudian diganti menggunakan ukuran masa pensiun.

Pengaturan masa jabatan hakim yang di ukur dengan menggunakan usia 70 atau maksimum menjabat 15 tahun, kami nilai tidak sesuai dengan prinsip pembatasan kekuasaan (konstitusionalisme). Dengan dihapuskanya masa jabatan hakim konstitusi telah meghilangkan ruang evaluasi kepada hakim konstitusi yang dimiliki publik untuk menilai pelaksanaan tugas dan wewenang hakim selama menjabat pada periode sebelumnya disamping lembaga pengawas eksternal untuk MK pun tidak ada.

3. PSHK FH UII yang selama ini concern terhadap isu konstitusi dan ketatanegaraan mengambil sikap untuk melakukan Uji Materi (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas revisi UU MK dan memohon kepada MK untuk membatalkan materi muatan yang berkaitan dengan pengaturan syarat minimal usia hakim dan masa jabatan hakim.

Yogyakarta, 23 September 2020

Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H, M.H (Direktur PSHK FH UII)
Dian Kus Pratiwi S.H, M.H (Peneliti PSHK FH UII)

Baca Naskah aslinya disini MENGGUGAT REVISI UU MK

Reporter: KilatNews