Kilatnews.co – Berdasarkan data asesmen nasional tahun 2021 terdapat 24,4% siswa berpotensi mengalami insiden perundungan di sekolah dalam setahun terakhir.
Bagaimana mengatasinya? Sebelum menawarkan tindak nyata mengatasi Perundungan di sekolah, perlu pula diketahui, bahwa insiden perundingan bisa dan kerap pula terjadi di luar jam dan di luar lingkungan sekolah.
Jadi, seperti yang kerap saya sampaikan (Lihat artikel: Strategi Tiga Kaki), permasalahan anak (siswa) tidak mungkin hanya dilepas begitu saja kepada pihak sekolah (guru). Karena anak hanya 7-8 jam maksimal berada di sekolah.
Sedangkan 16 jam lainnya, anak berada di lingkungan masyarakat dan di rumah. Semakin bertambah usia, biasanya anak semakin sedikit waktunya berada di rumah (di luar jam tidur).
Zona aman mereka memang di rumah, tapi zona nyaman nya berada di lingkungan teman-teman sepermainannya. Jika 8 jam digunakan untuk istirahat (tidur malam), maka masih ada 8 jam yang digunakan anak bermain atau stay di rumah.
Anak usia dini, mungkin masih bisa 80-90% dari 8 jam tadi berada di rumah. Hanya sedikit waktu mereka diajak orangtua atau saudaranya keluar rumah.
Memasuki usia SD, anak mulai bisa dan sering keluar rumah sendiri bermain bersama teman-teman lingkungannya (tidak terlalu jauh). Artinya, sekitar 60-70% berada di rumah.
Memasuki usia SMP, anak semakin sering pula minta izin berada di luar rumah. Teman mainnya adalah teman sekolahnya, yang bisa saja berjauhan rumahnya. Kontrol orangtua biasanya melalui hp.
Anak SMP mungkin 50-60% stay di rumah, jika tidak bosan. Memasuki usia SMA, anak akan semakin tinggi lagi “jam terbangnya” keluar rumah (dengan alasan apapun), kecuali memang anak yang sukanya di rumah. Anak usia SMA merupakan usia transisi mulai mencari identitas diri. Berada di rumah bisa hanya 2-3 jam atau 30-50%, karena sesungguhnya mereka merasa bosan.
Anak usia SMA kadang mulai berani izin menginap di rumah teman. Jadi, dapat kita pahami di mana zona nyaman anak setelah waktu sekolah usai? Karena lingkungan di luar rumah kerap dijadikan “tempat” berkumpul, maka masyarakat juga diharapkan bisa aktif, misal memantau atau mengingatkan anak usia sekolah, agar menjauhi pergaulan yang negatif. Orangtua juga wajib selalu kontrol menanyakan keadaan anaknya.
Selain itu, aparat keamanan diharapkan juga bisa melakukan patroli terutama di tempat-tempat yang biasanya dijadikan tempat berkumpul. Mungkin juga, perlu pembinaan dengan mreyediakan ruang ekspresi bagi mereka, misal area publik untuk olah raga, rekreasi atau melakukan aktivitas belajar. Area publik lebih mudah dikontrol, ketimbang tempat-tempat yang tidak diketahui.
Dengan begitu, hampir tidak ada tempat dan celah yang bisa digunakan oleh anak-anak melakukan perundingan kepada teman ataupun anak seusianya. Baiklah, kita kembali kepada laporan asesmen nasional di atas. Bagaimana jika perundungan terjadi di sekolah? Bagaimana upaya pencegahannya? Hal ini sebenarnya sudah kerap diseminarkan, diskusi, simposium hingga workshop.
Beberapa program dan solusi sudah ditawarkan untuk mencegah perundungan di sekolah, namun hanya beberapa sekolah yang merespon, karena pemerintah melalui Kemendikbud belum mewajibkan semua satuan pendidikan menerapkan usulan ini. Berikut beberapa poinnya:
1. Program Polisi Pelajar, menjaga keamanan dan ketertiban siswa terutama di luar jam belajar. Sekolah bekerjasama dengan Polri/TNI di lingkungannya memberi pendidikan dasar kepemimpinan, lalu melatih apa saja yang harus dilakukan sebagai Polisi Pelajar. Setiap harinya akan ada 3-4 petugas Polisi Pelajar yang turut membantu kelancaran aktivitas siswa di luar kelas.
2. Guru Jaga. Sebenarnya memang sudah ada guru piket/jaga selama ini namun dipandang masih belum efektif. Biasanya karena hanya terlihat stay saat awal dan akhir sekolah. Selebihnya guru jaga tidak tahu kemana. Guru jaga harus full day bertanggungjawab melakukan kontrol sekaligus menerima laporan serta bertugas konseling terutama untuk siswa ataupun orangtua siswa.
3. Ekskul Pendidikan Karakter. Program ekskul ini penting untuk mencetak karakter anak yang selalu bertingkah laku baik, santun, beriman serta memiliki integritas tinggi. Selama ini ada Pramuka, namun juga bisa melalui pengembangan budaya seni dan tari tradisional. Atau juga olah raga, misal bela diri, sepakbola, bulu tangkis, dsb. Dengan beragam aktivitas ini diharapkan siswa bisa berekspresi lebih kreatif dan produktif.