Kilatnews.co- Sebagai insan berpendidikan tinggi, akademisi memiliki tanggung jawab moral untuk mewujudkan salah satu poin dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Pengabdian ini dapat dilakukan lewat banyak cara, salah satunya adalah dengan membagikan pengetahuan yang telah diperoleh lewat tulisan. Ya, aktivitas menulis dan akademisi memang ibarat dua sisi mata uang yang saling berjabat erat dan tak dapat dipisahkan. Tak hanya menulis di jurnal ilmiah, para akademisi juga mulai dianjurkan untuk merambah wadah lain, yaitu media massa.
Kegiatan menulis di media massa mulai banyak dilakukan oleh akademisi untuk menyampaikan gagasannya. Kegiatan ini menghasilkan banyak tulisan bermutu dalam bentuk artikel yang dimuat di media massa seperti artikel berjudul “Beberapa Istilah yang Perlu Diperhatikan oleh Para Penulis di Media Sosial” yang dimuat di Kolom Kilatnews.co.
Sebagai seorang pembaca yang kebetulan pernah, dan sedang lekat bersinggungan dengan dunia literasi, saya sangat mengapresiasi artikel tersebut yang telah berusaha menyebarluaskan gagasan yang bemutu dan aktual. Tentunya apresiasi ini juga saya tujukan kepada seluruh akademisi yang telah bersedia berbagi informasi dan pengetahuan lewat tulisan, termasuk kepada penulis artikel Tiga Arah: Kebijakan Lockdown Dipolitisir? yang juga dimuat Kilatnews.co.
Selain itu, masih sebagai seorang pembaca juga, saya ingin menyampaikan dua hal yang mungkin tidak sengaja dilakukan oleh para penulis atau dalam kata lain kekhilafan yang membuat dua tulisan tersebut menjadi kurang nyaman dibaca dan seyogianya dihindari.
Namun, sebelum menyampaikan dua kekhilafan yang dilakukan penulis, mari bersama menganggap kalau semua orang yang menulis di media massa seperti Kilatnews.co, termasuk para akademisi sudah memahami betul tulisannya akan dibaca oleh banyak orang. Dalam hal ini, orang-orang yang dimaksud bukan hanya merujuk kepada mereka yang pernah mengenyam pendidikan tinggi dan memahami semua istilah rumit, tapi juga mereka yang berasal dari bermacam latar belakang pendidikan.
Dua Kekhilafan yang Seyogianya Dihindari
Pertama, judul yang rancu.
Semua penulis pasti paham betul kalau judul adalah bagian pertama yang akan dilihat oleh pembaca. Ibarat sebuah bangunan rumah, judul adalah beranda depan yang akan menentukan penilaian awal seorang pembaca terhadap sebuah tulisan. Itulah mengapa judul seharusnya menjadi representasi isi tulisan.
Saat membaca judul “Beberapa Istilah yang Perlu Diperhatikan oleh Para Penulis di Media Sosial”, sebagai pembaca saya mengira akan mendapatkan informasi tentang istilah-istilah di media sosial yang harus saya (kebetulan saya adalah seorang penulis lepas) perhatikan, seperti plagiarisme atau parafrase yang berkaitan dengan hak cipta tulisan. Tapi ternyata yang saya dapatkan setelah membaca artikel tersebut sampai selesai adalah informasi mengenai pelanggaran hukum yang bisa menjerat mereka yang menulis dan menyebarkan informasi-informasi tertentu di media sosial.
Dengan mempertimbangkan isi yang disampaikan di artikel tersebut, saya kira akan lebih relevan jika menggunakan judul “Beberapa Pelanggaran Hukum yang Harus Dihindari Saat Menulis di Media Sosial”, sebagaimana yang penulis sebut di beberapa paragraf terakhir sebagai ‘duduk perkara yang harus diperhatikan’. (Semoga tulisan ini tidak termasuk kategori ditulis karena sentiment pribadi belaka).
Kedua, kalimat yang kurang enak dibaca.
Saya pernah membaca sebuah artikel di laman uns.ac.id yang merupakan rilis acara Pelatihan Penulisan Artikel Populer yang dihelat oleh FEB UNS. Dalam acara yang diikuti oleh para akademisi di bidang ekonomi ini, disampaikan pembahasan mengenai 4 hal yang harus diperhatikan akademisi dalam menyampaikan gagasan yang bermutu di media massa. Keempat hal itu adalah ide yang aktual, menggunakan bahasa yang lugas dan tidak bertele-tele, orisinalitas ide, dan tulisan tidak terlalu berat.
Saya adalah seorang yang percaya kalau cara terbaik untuk memulai sebuah tulisan adalah dengan membaca. Hal ini pula yang membuat saya mafhum kalau iklim akademik di Perguruan Tinggi yang terbiasa berkutat dengan beragam jurnal ilmiah sangat mungkin menjadi penyebab tulisan seseorang di media massa sama rumitnya dengan istilah-istilah yang dia baca di jurnal ilmiah. Padahal, jelas media massa bukanlah jurnal ilmiah yang hanya diakses oleh mereka yang siap menerima kerumitan istilah.
Ada beberapa tips yang bisa digunakan agar kalimat yang ditulis lebih ‘enak dibaca’ meskipun sebenarnya standar ‘enak dibaca’ memang tak bisa ditetapkan dalam sebuah satuan yang paten.
- Usahakan agar sebuah kalimat bisa selesai dibaca dalam satu tarikan nafas alias tak terlalu panjang.
- Jika terpaksa harus menyampaikan sesuatu lewat tulisan yang tidak singkat, gunakan tanda baca yang tepat agar pembaca punya waktu untuk mencerna maksud tulisan.
- Penggunaan istilah asing memang akan membuat tulisan terlihat lebih keren. Tapi bukan berarti tulisan yang dibuat harus memuat banyak istilah asing, apalagi tanpa penjelasan dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh pembaca.
- Hindari menuliskan kata yang sama secara berulang dalam sebuah kalimat (kecuali kata yang memang berbentuk pengulangan seperti aba-aba, hati-hati, dan lainnya).
- Hindari menuliskan beberapa kata yang bermaksud sama dalam sebuah kalimat seperti pada kalimat “Case by case” korban serangan Covid-19 terus berjatuhan, berguguran, dan bertaburan karena kekurangan alat medis.” di artikel Tiga Arah : Kebijakan Lockdown Dipolitisir?
- Pastikan telah melakukan penyuntingan mandiri (self editing) sebelum menyerahkan tulisan ke media massa. Selain untuk memastikan tak ada kesalahan dalam penulisan kata ataupun istilah, penyuntingan mandiri juga dilakukan agar setiap kalimat yang telah ditulis memiliki redaksi yang ‘enak’ dibaca.
Semua penulis memang memiliki kebebasan dalam menuangkan gagasan. Namun dalam konteks menulis untuk dimuat di media massa, kepentingan pembaca harus menjadi kiblat dari tulisannya. Sebagai penutup, perlu kiranya saya kembali mengingatkan kalau dua kekhilafan yang telah saya sebut adalah hal yang seyogianya dihindari oleh akademisi saat menulis untuk media massa. Hal ini tak lain agar misi mulia pengabdian kepada masyarakat melalui penyebarluasan gagasan secara tertulis di media massa tak menjadi karya eksklusif yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Selain itu, seyogianya para akademisi yang menuliskan gagasan untuk disebarluaskan di media massa juga tidak menganggap tulisan saya ini sebagai sebuah bentuk menggugat kebebasan berekspresi lewat tulisan.
Penulis, Diniar N. Fadilah, lahir di Cilacap pada tanggal 4 Mei 1998. Kecintaannya pada dunia kepenulisan mulai tumbuh saat ia duduk di bangku sekolah dasar, dan terus diasah sampai sekarang. Cerpen-cerpennya yang banyak mengambil setting kehidupan masyarakat pedesaan dimuat di beberapa media baik cetak maupun elektronik seperti mingguan Joglosemar, metamorfosa.co, dan serikatnews.com. Selain menulis cerpen, Diniar juga gemar menulis esai. Salah satu esainya yang berjudul Menjadi Ken Arok Di Era Global menyabet juara 1 dalam lomba menulis esai yang diadakan oleh Nalar Politik dan IPMAJU tahun 2017. Diniar dapat disapa melalui akun facebook Diniar N. Fadhilah serta instagram dan twitter di akun @dhianufha.