Apa Untungnya Pasang Baliho?
Oleh : Agung Wibawanto
Ketika saya menyebut judul di atas pasti pembaca sudah mengetahui akan bercerita apa. Ya, baliho terkait tokoh publik yang merupakan orang partai. Ada yang Ketua DPR sekaligus pengurus DPP Partai, ada yang Ketua Partai merangkap menteri kabinet, ada 2 Ketua Partai lagi yang ngebet. Ya semua ngebet berkuasa di 2024. Mau “dislamur” pakai bahasa apapun, warga net sudah cerdas bahwa itu muaranya untuk 2024.
Lantas mengapa masih 3 tahun lagi tapi sudah pasang dan nampang gambar? Ya pastinya lebay, karena takut pada 2024 masyarakat Indonesia tidak akan mengenal wajah-wajah mereka. Tapi apa mereka tidak berpikir sebaliknya bahwa wajah-wajah mereka akan dikenal masyarakat sebagai politikus lebay dan ambisi kekuasaan? Lha, kan bisa juga malah begitu?
Baca Juga:
Puan: Pemerintah Kalau Ingin Menerapkan Syarat Sertifikat Vaksin Cakupan Vaksinasi Harus Diperluas
Tipikal masyarakat Indonesia itu tidak suka sesuatu yang berlebihan. Berlebih nafsu atau ambisinya, berlebih omongannya, berlebih nyinyirnya, bahkan pun berlebih prestasinya, seperti Jokowi, tetap digunjingkan hingga dibenci. Jadi, hati-hati dalam memasang foto diri di baliho secara masif. Menjadi populer belum tentu akan sesuatu yang disukai masyarakat. Banyak tokoh publik yang populer tapi juga tidak disukai.
Atau mereka digolongkan dalam tokoh antagonis, sebut saja seperti: Ahmad Dhani, Jerinx, Fadli Zon, Rizal Ramli, Rocky Gerung dll. Bukan karena mereka oposisi. Ada pula yang tidak oposisi dan populer tapi tidak disukai seperti: Ngabalin, Ade Armando, Denny Siregar dll. Dan memang like n dislike sangatlah subyektif. Intinya, mereka adalah sosok-sosok kontroversi yang membuat orang ada yang suka dan ada yang benci (termasuk penulis).
Tinggal lagi soal prosentase. Begitu pun wajah di baliho, sesungguhnya masyarakat mengkategorikan mereka sebagai antagonis atau protogonis? Contoh, saya ini lho, misalnya, kok berani-beraninya memasang foto baliho yang menyebar sak nusantara? Lha apa saya tidak bercermin? Karena saya menganggap tidak punya kontribusi apa-apa untuk membangun negeri ini. Kenapa saya kepedean?
Kalau orang politik sih memang pede-pede aja, bahkan harus pede meski tidak punya prestasi. Kan itu yang menjadi soal? Kalau memang tidak terlalu mengangkat elektabilitas ya buat apa pasang baliho? Atau malah masyarakat menjadi muak, buat apa mejeng gak jelas? Mending dana baliho dialihkan buat membantu ataupun meringankan kerja pemerintah membantu masyarakat tidak mampu yang terdampak pandemi, misalnya.
Jika saya melakukan itu, dan bukan bikin baliho, maka saya justru akan dikenal masyarakat sebagai patriot yang dermawan. Pastilah masyarakat akan muncul rasa simpatik. Bandingkan dengan baliho yang mengganggu pemandangan tadi. Mengapa mereka tidak terpikir ke situ ya? Ya karena sesungguhnya mereka sebaliknya kurang pede bahwa mereka dikenal cukup luas oleh masyarakat atau tidak, sehingga perlu banyak pasang baliho raksasa.
Coba ingat-ingat yang dikatakan Jokowi saat ditanya wartawan mengapa foto nya jarang terlihat saat kampanye pilkada DKI 2012 yang lalu? Jokowi menjawab diplomatis namun tepat dan substantif. Apa katanya? “Saya merasa sudah cukup dikenal masyarakat Jakarta. Mereka yang masang foto kan mungkin merasa kurang dikenal…,” ucap Jokowi enteng. Meski dalam teori politik ataupun teori pemilu hal itu salah, namun faktanya benar.
Orang politik atau partai menganggap baliho merupakan bagian dari kampanye publik yang terutama wajib dianggarkan. Nah itu, klo sudah soal “dianggarkan” maka apapun itu, manfaat atau tidak, pasti dilakukan. Lumayanlah buat bancaan dapat “selisih” dikit dari anggaran dengan harga riil pemesanan baliho. Berbeda dengan itu, teori Jokowi mengatakan, kampanye paling efektif ya blusukan (datangi, dekati dan dengarkan rakyat).
Tujuan kampanye kan mencari atau mendapat simpati hingga bisa merebut hati dan pikiran rakyat (pemilih). Bukan jor-joran bikin baliho. Terlebih jika memang dana kampanye terbatas. Terbukti Jokowi selalu berhasil menang pemilihan meski minim baliho dibanding kontestan lainnya. Politikus kita tidak pernah mau belajar dari cara Jokowi. Hal lainnya, saat ini masih tahun 2021 sedangkan kontestasi Pilpres akan dilakukan di tahun 2024.
Masih lama bos, meski juga harus dipersiapkan. Tapi apa perlunya baliho? Sesuatu yang dilihat berulang-ulang secara lama (3 tahun) jelas bisa membuat masyarakat ingat, tapi ingat untuk muak! Menyebalkan hingga tumbuh rasa tidak simpatik. Terlebih di masa pandemi yang serba memprihatinkan ini. Pandangan masyarakat bisa beralih menjadi benci, dianggap tidak peka akan situasi.
Jor-joran bikin baliho mahal sementara rakyat cari uang untuk makan saja susah. Sesuatu yang berulang-ulang ditampilkan akan membuat orang jenuh, setidaknya ya biasa aja, nothing special. Beda dengan orang atau tokoh yang misalnya di tiga tahun ini memperbanyak giat dan kontribusi buat rakyat secara langsung. Dia akan mengatakan hanya fokus memberi pelayanan dan pengabdian untuk rakyat.
Baca Juga:
Tak Disangka: Ini 14 Prestasi Puan Maharani yang Dilupakan Banyak Orang
Barulah di 1,5 tahun terakhir atau bahkan setahun terakhir dia muncul ke hadapan publik sebagai salah satu calon kandidat. Masyarakat melihatnya sangat lumrah dan tokoh tersebut memang terbukti sudah berbuat banyak untuk masyarakat. Simpati itu akan ada dan muncul di masyarakat. Dan yang paling dicatat, tokoh tersebut dianggap tidak terlalu ambisius menjadi pemimpin (tidak rakus kekuasaan).
Politik itu perkara persepsi. Untuk itulah persepsi ini menjadi penting karena jika semata demi kekuasaan, maka tokoh tersebut dianggap tidak amanah. Dia akan lebih memperhatikan dan mengakomodir kebutuhan partai, bukan kebutuhan rakyat. Orang politik dan partai cenderung melihat dari sisi legalitas. Yang penting nyalon dan dapat legalitas meski miskin dan kurang legitimasi dari rakyat. Jika sudah begini ya repot, rakyat cuma dikacangin dan gak berdaulat.