Setelah disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi undang-undang, muncul wacana publik untuk melakukan pembangkangan sipil (sipil disobediencei) terhadap berlakunya undang-undang ini. Dengan kata lain, publik akan didorong untuk melakukan aksi ketidakpatuhan terhadap perintah dari undang-undang Cipta Kerja. Pembangkangan sipil sebagai sebuah gerakan ketidaktaatan hukum untuk tujuan perubahan sosial yang lebih vital, memang dibenarkan dalam sistem demokrasi.
Ada yang menarik apa yang disampaikan oleh Zainal Arifin Mochtar pada saat Konferensi pers Fakultas Hukum UGM merespons Undang-undang Cipta Kerja (6/10/2020). Perlu ada tekanan dari publik untuk terus memprotes terkait pengesahan undang-undang Cipta Kerja, apalagi mengingat ada banyak sektor kehidupan yang terdampak. Lebih radikal lagi Uceng menawarkan teriakan penolakan bersama terkait undang-undang ini, pembangkangan sipil perlu dipikirkan. Protes adalah bagian dari partisipasi sipil. Wacana dan desakan pembangkangan sipil tidak hanya dilontarkan oleh Dosen UGM tersebut, ada beberapa orang dan organisasi masyarakat sipil lainnya-pun menyerukan hal yang sama.
Berbicara soal pembangkangan sipil tidak terlepas dari Henry David Thoreau, seorang filosof Amerika lulusan Harvard, pada tahun 1846 menyatakan diri tidak akan membayar pajak pada pemerintah, sebagai bentuk protes terhadap terjadinya Perang Meksiko. Akibat aksinya tersebut, Thoreau kemudian dipenjara. Dia menggambarkan peristiwa ini dalam sebuah esai populer berjudul “civil disobedience”.
Analisis mengenai pembangkangan sipil yang dibuat oleh Thoreau sesungguhnya adalah analisis hubungan individu dengan negara yang berfokus pada: mengapa seorang warganegara mematuhi hukum yang diciptakan oleh pemerintah padahal mereka percaya bahwa hukum itu tidak adil? Sebenarnya uraian ini dimensinya sangat personal dari Thoreau, yang dipenjara karena dianggap melanggar hukum. Thoreau dipenjara karena ia membenci perbudakan dan karena penerimaan pajak memberikan kontribusi untuk mendukung perbudakan itu, sehingga dia memutuskan untuk menjadi seorang pemberontak pajak. Thoreu tidak mau membayar pajak penghasilan dan pajak properti, termasuk juga pajak modal (Bedau, 1991: 28)
Sementara itu, John Rawls dalam bukunya yang berjudul A theory of justice (1971) menjelaskan pembangkangan sipil sebagai tindakan publik yang dilakukan tanpa kekerasan, namun secara politik bertentangan dengan hukum, biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mendorong perubahan undang-undang atau kebijakan pemerintah. Gerakan ini mencoba menyuarakan rasa keadilan sebagian besar masyarakat, akibat tidak dihormatinya suatu pendapat yang sifatnya prinsipil dalam kerangka kerja sama sosial dan kesetaraan.
Secara teoritik pembangkangan sipil hanya terjadi pada suatu tatanan masyarakat yang adil dalam suatu rezim yang demokratis, namun di dalamnya terjadi suatu tindakan ketidakadilan yang serius. Tegasnya, pembangkangan sipil secara teoritik dan peranannya sah dilakukan terhadap otoritas demokrasi. Pembangkangan sipil dilakukan oleh warga negara yang mengakui dan menerima legitimasi konstitusi.
Tindakan ini biasanya terjadi karena tiadanya titik temu antara kewajiban mematuhi hukum sebagai produk legislatif yang didukung eksekutif, dengan hak untuk membela kebebasan seseorang dan tugas untuk menentang ketidakadilan.
Sebuah Keharusan
Dalam sejarah dunia, pembangkangan sipil juga sudah sering dilakukan, dan terjadi hampir sepanjang tahun. Martin Luther King di Amerika Serikat, saat memperjuangkan anti-rasialisme diinspirasi oleh ajaran dari Thoreau. King menggunakan kampanye non-kekerasan sebagai sebuah bentuk pembangkangan sipil, ada empat langkah dasar yang harus dilakukan menurutnya: (1) Pengumpulan fakta untuk menentukan apakah ada ketidakadilan; (2) Negoisasi; (3) Pemurnian gerakan; dan (4) Aksi secara langsung (Bedau, 1991).
Mahatma Gandhi melakukan pembangkangan sipil melalui gerakan “Salt March” yang menolak kebijakan pajak garam di India. Pada bulan Maret 1930, Mahatma Gandhi dan puluhan pengikutnya berjalan sejauh 386 kilometer, menyuarakan pendapat tentang ketidakadilan pajak garam di setiap kota yang mereka lewati. Hukum kolonial Inggris melarang orang India menjual gara secara mandiri dan mengharuskan orang India membayar mahal untuk garam yang bahkan bukan dari India.
Pawai garam atau Satyagraha berlangsung berbulan-bulan dan mendapatkan banyak pengikut sehingga 60.000 orang berakhir di penjara karena partisipasi mereka pada akhir tahun. Pada awal tahun 1931, Gandhi mencapai kesepakatan dengan para pemimpin Inggris, yang disebut Pakta gandhi-Irwin, yang membebaskan semua tahanan tersebut dan mengizinkan orang India membuat garam untuk keperluan rumah tangga.
Di kawasan Asia Tenggara, praktik pembangkangan sipil juga marak dilakukan, misalnya terjadi di Myanmar tahun 2007, pembangkangan sipil dilakukan dengan melakukan pemogokan aktivitas. Kemudian di Thailand, tahun 2010, Sondhi Limthongkul, pemimpin Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) mengampanyekan gerakan pembangkangan sipil terhadap pemerintah, pembangkangan sipil juga sering kali dilakukan oleh organisasi non pemerintah terhadap organisasi internasional seperti (WTO) dan G8.
Di Indonesia sendiri, dalam konteks perlawanan yang dilakukan secara diam, cenderung personal atau hanya terikat komunitas kecil, apa yang dipraktikkan Thoreau pernah dilakukan oleh Samin Surosentiko. Gerakan ini muncul sekitar tahun 1905, pertama-tama sebagai perlawanan kultural terhadap dominasi pemuka agama dan komunitas Islam di Blora. Samin dan para pengikutnya secara kolektif memisahkan diri dari komunitas muslim yang lebih besar dengan menolak mengumpulkan beras ke lumbung desa dan memelihara hewan ternak mereka secara eksklusif, untuk menentang pungutan para pemuka agama setempat dalam ritual pernikahan dan kematian. Perlawanan ini kemudian berkembang menjadi perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda seiring dengan makin tingginya pajak yang ditetapkan Pemerintah Kolonial Belanda (Benda dan Castles, 1969).
Pembangkangan sipil juga terjadi saat masa reformasi, yaitu saat pengesahan UU Unjuk Rasa tahun 1998, yang disahkan pada 26 Oktober 1998 (UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum). Regulasi ini mewajibkan setiap kelompok yang hendak melakukan unjuk rasa untuk terlebih dahulu melapor ke kepolisian dan memberitahukan jumlah massa yang akan terlibat unjuk rasa.
Meski kepolisian telah memasang iklan besar-besar di sejumlah media massa nasional mengenai undang-undang, praktiknya masyarakat cuek dengan pengumuman tersebut. Tanggal 28 Oktober 1998 terjadi unjuk rasa besar di enam kota di Indonesia, tanpa sedikit pun mengindahkan aturan yang ada di dalam UU Unjuk Rasa. Pembangkangan sipil dilakukan saat itu.
Sejak pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja oleh Pemerintah dan DPR, masyarakat sipil, ormas, buruh, aktivis dan Akademisi sudah mengkritik Omnibus Law Cipta Kerja tersebut, tetapi masukan dan kritikan dari masyarakat tidak pernah didengar oleh DPR maupun pemerintah. Bahkan Surpres Jokowi ke DPR terkait pengajuan pembahasan Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta.
Rencana pembangkangan sipil yang dipelopori oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil terhadap berlakunya undang-undang Cipta Kerja, tentu menjadi tantangan tersendiri dalam situasi sulit saat ini. Namun, agar tetap tegaknya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, pembangkangan sipil adalah sebuah keharusan.
Penulis, Anggi Alwik Juli Siregar
Kader PMII Rayon Ashram Bangsa, Founder Partner The Jurisprudence Partner (TJP) Law Firm, Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Kabupaten Tangerang.