Tentang Sudut Pandang (Angel)
Agung Wibawanto
KilatNews.Co – Tidak semua orang bisa seragam dalam memilih ataupun menentukan sudut pandang (angle) untuk sebuah obyek berita. Tidak hanya saat membaca dan menulis, di kala mendengar dan berbicara langsung pun demikian. Yang membedakan hanya soal waktu. Dalam komunikasi lisan, kecepatan berpikir lalu mengucapkan adalah hal yang lazim, karena momen tersebut akan cepat hilang atau sulit dikembalikan.
Berbeda dengan komunikasi tulisan yang tidak perlu cepat namun lebih diuntungkan dengan “mendalami” isi dan maksud sebuah info/berita. Hal yang ingin dibahas bukan soal perbedaannya, namun soal kesamaannya dalam hal memilih dan menentukan sudut pandang untuk merespon balik sebuah info/berita.
Memilih dan menentukan sebuah sudut pandang adalah hak setiap siapa saja, bahkan terkadang ada info ataupun berita yang tidak perlu direspon (sehingga tidak repot memilih sudut padang). Atau juga karena keterbatasan wawasan yang dimiliki, menyebabkan sebagian orang bingung mau merespon apa dan dari sudut pandang apa? Pilihannya kemudian adalah diam. Diam akan lebih baik daripada sok tahu.
Pembahasannya adalah, faktor apa yang mempengaruhi setiap orang dalam memilih sudut pandang untuk merespon berita? Contoh sederhana saja dan mudah dilakukan, lihat atau baca sebuah judul di berita portal, kemudian perhatikan komentar dibawahnya untuk merespon atau menanggapi berita itu. Sangat beragam bukan? Itu juga sebuah sudut pandang.
Sekali lagi, sebuah sudut pandang adalah sah. Tidak ada hal yang perlu diributkan. Akan menjadi masalah jika, pemilihan sudut pandang itu memicu “kegaduhan”. Akan bermasalah jika, sudut pandang itu diyakini sebagai sebuah kebenaran yang hakiki (jika benar ya tidak masalah, namun jika sepenuhnya berupa asumsi, dugaan apalagi tuduhan?).
Dalam ilmu jurnalistik, sebuah berita ataupun peristiwa dapat direspon dalam dua kategori umum, positif dan negatif (sesuai kepentingannya). Di tangan jurnalis (penulis) kemudian sebuah berita bisa menjadi positif ataupun negatif—sesungguhnya tidak hanya jurnalis melainkan si penyampai pesan, siapapun itu. Bila kita setuju dengan pemilihan angle-nya maka kita akan senang, sebaliknya demikian.
Sesuatu yang sangat tajam perbedaan cara pandang yang ditentukan oleh sudut pandangnya, maka akan berpotensi menimbulkan konflik. Sangat rawan, apalagi bersentuhan dengan soal-soal yang sensitif, seperti SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Itu pula yang menyebabkan kemudian “pertikaian” masyarakat (terutama netizen) tidak pernah kelar. Menyesalkan, mungkin iya. Memahami, yang belum bisa.
Ketahuilah bahwa setiap orang itu dalam menggunakan pikiran sadarnya hanya sekitar 12%, dan selebihnya (88%) dipengaruhi oleh pikiran bawah sadar. Kadang kita merespon sesuatu dan baru sadar setelah beberapa saat kemudian. Namun itupun tetap diakui sebagai pembenaran subyektifnya karena sudah terucapkan ataupun tertuliskan (berat untuk meminta maaf).
Pikiran sadar dikenal sebagai pikiran dengan menggunakan akal (logika), sementara pikiran bawah sadar lebih kepada apa yang dirasakan (rasa). Pemupukan terhadap “rasa” ini sangat bermacam-macam, bisa karena pengalaman, keyakinan, lingkungan, dan sebagainya. Jika kita bisa mengerti bagaimana latar belakang seseorang sehingga ia melontarkan atau memilih sudut pandang tersebut, maka kita akan memahaminya.
Kecuali apa yang diucapkan/dituliskan merupakan hal buruk yang cenderung kriminal (tidak cukup memahami, tap juga perlu mengingatkan) karena dikhawatirkan bisa membuat hal yang lebih buruk lagi. Untuk itu, berhati-hatilah di dalam setiap pemilihan sudut pandang dengan cara: kuasai materi dan pahami betul siapa teman bicara ataupun pembaca kita. Kita ingin membuat orang lain senang atau menjadi sadar, itu hal yang lain lagi. Tabik.