Tamansari Indonesia: Mana Dadamu Pemuda!
Oleh: Agung Wibawanto


KilatNews.Co – Pemuda di manapun dan kapanpun akan selalu menjadi pionir bagi perubahan. Mengapa, karena mereka selalu berpikir terbuka, anti kemapanan, serta tidak memiliki batas-batas dalam bertindak. Mereka memiliki suara dan hati nurani untuk berteriak lantang tanpa ragu terhadap segala kebobrokan yang mereka lihat.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Tamansari Indonesia: Mana Dadamu Pemuda!

Mereka tidak surut menghadapi segala apapun ancaman yang mungkin dapat menghabisi nyawa mereka. Mereka tidak cengeng dengan kondisi buruk yang harus mereka rasakan. Mereka hanya takluk keharibaan bumi pertiwi. Demi rakyat, bangsa dan negara, maju dan bersatulah kaum muda.

Jangan tunjukkan kebodohanmu yang terpancing provokasi murahan dengan tujuan memecah belah (tawuran, demo anarkhis, bullying, serta tindak kekerasan lainnya). Kasus kekerasan di masyarakat yang belakangan kerap muncul menjadi alat efektif untuk mengalihkan issue-issue penting yang belum terkuak utuh. Sekali lagi, jangan terprovokasi.

Baca Juga: 

Masyarakat dan Kesadaran Hukum

28 Oktober 1928, bukan sekadar pelajaran sejarah anak dan adik-adik kita di tingkat SD. Mereka telah secara nyata berjuang melawan angkuhnya kolonialisme (sungguh sesuatu yang pada saat itu dipandang sebelah mata). Namun tekad kaum muda dari segala penjuru daerah menjadi satu padu dan secara bulat menyatakan: satu tanah air, satu bangsa dan satunya bahasa.

Perangi musuh-musuh utama: kemiskinan, pengangguran, korupsi, eksploitasi kekayaan alam, perdagangan manusia, narkoba, dan sebagainya yang menyengsarakan rakyat. Mana dada mu pemuda Indonesia? Bahkan seorang Bung Karno berkata, “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan ku guncang dunia!!!”

Memperingati Peristiwa Sejarah 28 Oktober 1928

Besok bangsa Indonesia memperingati peristiwa sejarah yang dikenal dengan “Sumpah Pemuda“. 28 Oktober 1928, saat itu kaum muda dari berbagai latar suku berkomitmen dan meneriakkan bertanah air, berbangsa dan berbahasa Indonesia. Akan sulit dilaksanakan kaum muda kekinian jika masih ada istilah pribumi dan non-pribumi.

Baca Juga:

“Revolusi” Media Di Era Disrupsi

Jika yang dipertontonkan adalah intoleransi, jika yang didorong-dorong adalah politik identitas, politisasi agama dan yang lebih parah jika mendukung itu semua. Tanah air kita, ya di sini, setiap jengkal tanah, air dan udara di wilayah Indonesia. Bukan di Myanmar, Palestina, Korea, Amerika atau di manapun. Untuk itu bela, dukung dan jayakan tanah air Indonesia.

Bangsa kita (ya kita, termasuk kamu) adalah bangsa Indonesia yang terdiri dari suku-suku bangsa seperti Asmat, Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Minang, Melayu, Arab, Tionghoa, India dan sebagainya. Bangsa Indonesia yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Istilah pribumi hanya ada di masa penjajahan untuk membedakan dengan warga negara penjajah.

Bahasa kita sudah sangat jelas lagi bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi nasional. Tidak ada satu bahasa yang lebih luhur dibanding satu bahasa lainnya, bukan bahasa Inggris, bukan China, bukan Korea, terlebih bukan pula bahasa Arab. Bahasaku, bahasamu, bahasa kita sama, bahasa Indonesia.

Maka dari itu, politik Identitas justru set back yang mengingatkan bangsa ini dengan ide dan cara-cara kaum penjajah untuk mengadu domba (ingatkan dengan istilah devide et impera?). Kekuatan bangsa ini adalah jika bersatu dari berbagai latar belakang perbedaan. Sebaliknya kelemahan bangsa jika terpecah-pecah kedalam pemikiran “identitas” yang sempit.

Ego sentris kesukuan yang dibalut dalam politik identitas, menganggap identitas tertentu lebih hebat dibanding identitas lainnya, inilah yang menjadi bibit-bibit perpecahan. Ormas silahkan tumbuh dan berkembang di tamansari, menghiasi bersama dengan bunga-bunga lain yang berasal dari seluruh pelosok Nusantara.

Baca Juga:

Kaum Oposan Harus Belajar Kepada Gadis Cilik Ini Untuk Membuat Jokowi Bertekuk Lutut

Namun tetap ingat bahwa kita tumbuh di tamansari nan indah, bukan di taman firdaus. Artinya satu bunga tidak lebih unggul dibanding bunga lainnya. Justru indah jika ia tumbuh bersama, dan tampak buruk jika sendiri. Tamansari tidak dibangun dengan landasan dan nilai-nilai. liberal, sehingga perlu ditata agar terlihat apik, tidak tumbuh liar dan saling mematikan.

Kaun muda milenial diharap tetap bergandengan tangan dimanapun, meski memiliki perbedaan. Itulah Pancasila, bukan Liberal, Komunis ataupun Khilafah. Mungkin perlu juga kaum muda mendengar dan menyanyikan lagu rancak “Black or White“-nya mendiang Michael Jackson… be my brother is dont matter if you black or white

Salam Sumpah.

Reporter: KilatNews