Esai  

Pembelajaran Dari Kasus Pulomas (2017)

Pembelajaran Dari Kasus Pulomas (2017)
Ilustrasi:(HannahJoe7/Pixabay)

Pembelajaran Dari Kasus Pulomas (2017)
Oleh: Agung Wibawanto

Kejadian pembunuhan di sebuah rumah mewah di Pulomas (2017) tentu mengagetkan masyarakat. Kategori mengagetkan ini lebih disebabkan modusnya yang bisa dibilang sadis atau tidak berperikemanusiaan (tapi mana ada pembunuhan yang santun?), dengan memasukkan 11 orang penghuni rumah ke dalam kamar mandi berukuran kecil tanpa ventilasi.

“Kaget” yang lainnya adalah awan misteri yang masih meliputi kejadian tersebut. Banyak keanehan yang terjadi. Perhatikan saja, mulai dari waktu kejadian yang bukan malam larut, dini hari ataupun subuh, melainkan sore sekitar pukul 15.00, di mana masih banyak orang lalu lalang di sekitar rumah. Selanjutnya, begitu mudah pelaku memasuki rumah. Mengingat tipikal rumah mewah biasanya selalu terkunci dan ada penjaganya.

Selanjutnya lagi, (meski bermodal senjata tajam dan senjata api) pelaku tidak bersusah payah mengumpulkan dan menggiring penghuni rumah dikurung di kamar mandi. Dari rekaman CCTV tidak ada perlawanan sedikitpun dari korban. Pada umumnya saat korban tertekan (apalagi tidak sendirian), pastilah bersikap protes, atau meronta, untuk menyatakan penolakan. Namun sama sekali tidak demikian.

Baca Juga:

Dari Uang 5 Milyar sampai Es Kopi Gratis Seumur Hidup, Inilah Deretan Bonus Apresiasi untuk Greysia dan Apriyani

Patut kemudian dipertanyakan apakah niat pelaku memasukkan 11 korban ke kamar mandi berukuran kecil itu untuk membunuh atau sekadar “mengamankan” agar gerak pelaku bisa lebih leluasa? Hal terakhir, apa yang diperoleh pelaku, atau barang berharga apa yang diambil, jika dikatakan merampok? Mengapa pelaku tidak mencari barang berharga di dalam kamar, misalnya? Dan mengapa waktunya hanya sebentar?

Kejadian ini bak film misteri yang siap disajikan kepada masyarakat sebagai penonton. Seperti juga kasus “kopi sianida”, semakin banyak peristiwa kriminal yang aneh dan penuh misteri. Masyarakat bisa menjadikannya sebuah tontonan dan bahan pembicaraan, namun juga bisa menjadi sebuah case yang patut dipelajari, utamanya bagi mahasiswa hukum pidana. Hal yang pasti, kasus ini semacam pertaruhan bagi reputasi aparat keamanan dalam memberi rasa aman kepada masyarakat.

Apresiasi yang tinggi patut diberikan kepada aparat kepolisian yang dengan cepat berhasil meringkus pelaku. Berdasar pengakuan polisi, pelaku adalah residivis kambuhan yang sudah beberapa kali melakukan perampokan. Dalam melakukan aksinya, pelaku dikabarkan mencari korban secara acak, hampir tanpa perencanaan. Jika dikatakan penjahat kambuhan dan tidak dilakukan sendiri, semestinya mereka sudah bergelar profesional. Namun dari kejadian ini, mereka tidak lebih terlihat seperti maling kampung yang sangat “polos”.

Baca Juga: 

Makjleb, Begini Jawaban Greysia Atas Hinaan MBC Korea

Tampang boleh sangar dan sadis, sering orang bilang mirip Rambo, tapi ternyata hatinya Rinto. Salah seorang pelaku berkata tidak menyangka ada korban yang mati. Sangat menyesalnya si pelaku sehingga ia minta ditembak mati saja. Ini drama apaan? 5 korban mati harga yang harus dibayar untuk mendapatkan, apa? Pelaku hanya merogoh kantong celana korban (Dody), lalu mencari barang berharga di mobil Honda Jazz milik korban.

Ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang harusnya cukup berat bagi kepolisian dalam melacak motif pelaku. Kepolisian sendiri mengaku masih mendalami setiap kesaksian pelaku, apa motif sesungguhnya, adakah pihak lain yang terlibat, dan sebagainya. Dalam ilmu hukum, kepastian hukum adalah penting, si pelaku harus dihukum. Namun keadilan juga harus terjaga atas nama hukum. Mungkinkah ada orang lain yang menyuruh mereka menghabisi korban Dody? Atau mereka hanya bermaksud memberi “peringatan” kepada Dody?

Dalam setiap peristiwa kriminal, biasanya pelaku adalah orang-orang yang tidak jauh hubungannya dengan si korban. Entah pelaku langsung ataupun orang suruhan. Namun bukan hal yang tidak mungkin pula dilakukan oleh pelaku yang benar-benar orang yang tidak dikenal korban. Melihat kedudukan korban sebagai orang yang memiliki kemewahan di atas rata-rata, punya proyek-proyek besar dan dekat dengan pejabat-pejabat penting. Tentu patut didalami lebih lanjut.

Baca Juga:

Solidaritas Sosial Durkheimian pada Masyarakat Perkotaan

Bagaimana proyek-proyeknya, siapa saja pesaing-pesaingnya, bagaimana kehidupan di dalam keluarganya, bagaimana kehidupan di lingkungannya, dan sebagainya. Kepolisian patut memiliki analisa kasus yang jika perlu dilihat dari sisi politis dan sosiologis. Hal ini agar diperoleh kesimpulan dakwaan yang benar-benar adil, tidak sekadar berkepastian hukum. Hal lain, penting menjadi pembelajaran kepada masyarakat.

Bahwa kesenjangan di indonesia masih cukup tinggi, antara yang tidak mampu dengan yang mampu. Sehingga perlu dijaga bagaimana kesenjangan tersebut tidak membuat orang justru saling tidak peduli, dan bahkan menjadi sirik. Tidak perlu mengumbar kemewahan, meski memiliki kemampuan, sementara yang tidak mampu tidak perlu iri, cukup sampaikan saja agar rang-orang mampu itu jangan sombong, serta bersikaplah baik kepada semua orang.

Lihatlah beberapa artis yang kebetulan diberi rezeki lebih, membangun rumah hingga milyaran biayanya. Dan semua itu ditunjukkan kepada publik dengan bangganya. Hal ini akan memancing kecemburuan sosial yang berlebih di kalangan masyarakat tidak mampu. Tidak heran bila tindak keriminal mensasar orang-orang tersebut. Belum lagi jika terjadi konflik, orang-orang the have merasa mampu membayar orang bahkan membeli hukum.

Sementara masyarakat yang karena keterdesakan ekonomi bersedia melakukan apapun asal ada bayarannya. Dengan kejadian pembunuhan atau perampokan di Pulomas, semoga bisa menjadi pelajaran bagi siapapun. Sekarang tinggal menunggu hasil kerja pihak kepolisian untuk membongkar kasus ini dengan sesungguh-sungguhnya dan seadil-adilnya. Saya percaya polisi mampu mengungkap, karena tidak ada kejahatan yang sempurna.