Magang dan Daya Saing SDM Indonesia
Oleh : Hazwan Iskandar Jaya
Kilatnews.co- Persoalan korupsi, birokrasi pemerintahan yang tidak efisien, dan akses ke lembaga keuangan menjadi masalah yang mendasar di Indonesia terkait dengan daya saing Indonesia di tingkat global. Ketiga permasalahan ini cukup mengganggu aktivitas bisnis di Indonesia. Transparency International Indonesia merilis Corruption Perceptions Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2018 di Indonesia berada pada peringkat 89 dari 180 negara atau dengan skor 38. Masih tertinggal jauh dari Singapura, Brunei dan Malaysia.
Sementara, skor daya saing Indonesia pada tahun 2018 sebesar 64,9 dan menempati posisi 45 dari 140 negara yang tercakup. Berdasarkan data daya saing menurut The Global Competitiveness Report 2018, peringkat daya saing Indonesia tahun 2018 ini meningkat dibanding tahun 2017 yang menempati posisi 47 dari 135 negara yang tercakup. Sedangkan di antara 9 negara ASEAN yang tercatat dalam GCI, daya saing Indonesia pada tahun 2018 menduduki posisi ke 4.
Betapa urusan daya saing sangat dipengaruhi oleh kualitas sumberdaya manusia (SDM), ketersediaan lapangan kerja/usaha, iklim sosial politik yang kondusif dan etos kerja yang tinggi. Kualitas SDM masih menjadi dimensi utama dalam mempengaruhi daya saing. Data dari Sakernas (Satuan Kerja Nasional) Kementerian Ketenagakerjaan RI yang dirilis Februari 2018 menunjukkan struktur ketenagakerjaan Indonesia sebagai berikut: terdapat 193,55 juta penduduk usia kerja. Terdapat 133,94 juta orang masuk dalam Angkatan Kerja, sedangkan 59,61 juta orang masuk dalam Bukan Angkatan Kerja. Dari data Angkatan Kerja terdapat 6,87 juta orang dalam posisi pengangguran.
Jika dilihat dari Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut Pendidikan, maka TPT tertinggi justeru didominasi jenjang pendidikan SMK sebesar 8,92%. Padahal SMK dipersiapkan sebagai wahana pendidikan yang siap kerja. Agak ironis memang. Justeru kalangan ini tak terserap di dunia kerja.
Tentu ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini dapat terjadi. Yakni, kesenjangan Kualifikasi lulusan Sekolah Kejuruan dengan Pengguna (dunia usaha dan dunia industri / DuDi). Kurikulum Pendidikan berbasis Kejuruan belum selaras dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri. Masih banyak Dunia Usaha dan Dunia Industri menganggap pemagangan adalah sekedar tahu pekerjaan (kualitas pemagangan rendah). Sekolah Kejuruan dan Dunia Usaha/Dunia Industri berjalan masing masing, belum ada kata sepakat untuk meningkatkan kualitas kejuruan. Sementara itu, kemampuan Balai Latihan Kerja (BLK), Badan Koordinasi Sertifikasi Profesi (BKSP) dan Pelatihan lain di luar Perusahaan belum semua mampu mengatasi kualitas SDM yang tiap tahun terus bertambah.
Solusi SDM: Magang!
Pemerintah menyediakan instrumen dalam bentuk kebijakan sistem kerja yang, tercantum dalam UU 13 2003 tentang ketenagakerjaan yaitu sistem kerja kontrak, alihdaya (outsourcing), harian lepas, borongan, rumahan, serta sistem kerja magang. Tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara lain pun mempunyai persoalan yang sama ihwal ketenagakerjaan. Masalah kualitas SDM menjadi isu utama.
Kanada misalnya, statemen dari Human Resources Development Canada menyatakan bahwa lulusan sekolah tidak memiliki skill yang dibutuhkan perusahaan, serta ada ketidaksesuaian antara pengajaran sekolah dengan kebutuhan dunia industri. Maka solusi yang ditawarkan pemerintah sama, dengan menggalakkan sistem pemagangan.
Penggalakan sistem pemagangan setidaknya ada dua dasar obyektif, pertama agar angkatan kerja mampu bersaing secara global dan menurunkan tingkat pengangguran, dan kedua untuk menjembatani antara lulusan sekolah yang belum memiliki skill yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan (lihat lebih lanjut Buechtemann, Schupp and Soloff 1994).
Berbagai upaya untuk mengatasi pengangguran dan rendahnya kompetensi tenaga kerja telah, sedang dan terus akan dilakukan melalui berbagai program yang antara lain adalah percepatan peningkatan kompetensi calon tenaga kerja melalui pemagangan dalam negeri dan percepatan sertifikasi. Kedua hal tersebut harus dilakukan dengan cara yang fokus dan masif.
Melalui pemagangan, peserta akan mendapatkan pengalaman kerja pada dunia kerja yang sesungguhnya, membentuk sikap mental, perilaku kerja serta kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, sehingga hal tersebut menjadi modal yang sangat penting bagi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan atau bekerja secara mandiri.
Pada dasarnya pemilik program pemagangan adalah perusahaan, karena perusahaan merupakan persyaratan mutlak dalam penyelenggaraan pemagangan. Oleh karena itu dalam proses pelaksanaan, perusahaan menjadi faktor penentu.
Namun demikian, pendekatan implementasi dan strateginya perlu disesuaikan, bahwa Pemagangan Terpadu menjadi titik awal dalam mewujudkan keseluruhan konsep dari akselerasi pengembangan SDM. Paling tidak ada 3 (tiga) gear yang secara bersama-sama menggerakkannya. Pertama, Mempersiapkan landasan pengembangan SDM. Mulai dari penetapan standar kompetensi, pengembangan infrastruktur, materi dan instruktur yang handal, dan kesiapan sertifikasinya.
Kedua, Memperkuat Ekosistem bagi pengembangan SDM berkelanjutan. Hal ini terkait dengan perencanaan tenaga kerja di daerah, kelembagaan yang terlibat, dan sistem informasi kerja yang selalu up to date. Ketiga, tercapainya pertumbuhan ekonomi berbasis SDM. Bahwa dengan pemagangan terpadu akan meningkatkan kualitas SDM, keuntungan yang kompetitif, dan terciptanya lapangan kerja. Hal ini sejalan dengan strategi bisnis industri.
Dengan demikian, jika ketiga gear tersebut dapat bergerak bersama-sama, maka melalui pemagangan terpadu akan tercipta SDM yang kompeten. Muaranya adalah Indonesia akan memiliki daya saing SDM unggul sesuai dengan cita-cita bangsa.
HAZWAN ISKANDAR JAYA. Penulis adalah Master Mentor Pemagangan Nasional, Anggota Komite Vokasi dan Produktivitas Daerah DIY