Pada 2 Agustus 2017 yang lalu bertepatan dengan sidang Paripurna DPRD DIY, Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekaligus menyampaikan Visi-Misi pembangunan. Ide pembangunan kedepan lebih dititikberatkan pada kawasan laut. Gagasan tersebut patut diapresiasi, mengingat DIY memiliki luas 3.185,80 Km2 dengan panjang pantai -/+ 113km yang membentang di tiga kabupaten, Gunungkidul, Bantul dan Kulonprogo.

Potensi di wilayah pesisir pantai dan laut DIY meliputi perikanan, energi dan sumberdaya mineral serta jasa lingkungan[1]. Selain itu keindahan panorama pantai juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung. Bahkan, sejauh ini ada sekitar 68 pantai[2] yang sudah masuk dalam rilis sebagai destinasi wisata bahari dan sudah banyak dipromosikan di media online.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Renaissance Yogyakarta: Pergeseran Paradigma Pembangunan Menyongsong Abad Samudera Hindia

Melihat kondisi pantai di sepanjang wilayah DIY ada dua rekomendasi bentuk pembangunan yang bisa dilakukan. Pertama, penting adanya pembekalan kemampuan menejemen yang matang dalam mengatur kawasan wisata pantai.

Mengenai hal ini, bisa dilakukan pemberdayaan melalui Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) di wilayah setempat. Dan, kedua memberi pembekalan dan ketrampilan serta bantuan fasilitas yang memungkinkan untuk nelayan di kawasan pantai penghasil ikan. Tentunya, yang terpenting juga melakukan upaya pemanfaatan potensi sumber daya energi dan mineral di wilayah pesisir pantai untuk kesejahteraan masyarakat sekitar.

Sebagaimana pernyataan yang tertulis di atas, visi–misi Gubernur DIY adalah “Menyongsong Abad  Samudera Hindia untuk Kemuliaan Martabat Manusia Jogja”. Cita-cita terwujudnya kemuliaan tersebut setidaknya melingkupi;

Pertama, terwujudnya peningkatan kualitas hidup. Kedua, terwujudnya peningkatan kualita perekonomian. Ketiga, terwujudnya peningkatan harmoni kehidupan bersama. Keempat, terwujudnya tata dan perilaku penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dan Kelima terwujudnya perilaku bermartabat dari para aparatur sipil penyelenggara pemerintahan.[3]

Dua poin terdahulu menunjukkan upaya peningkatan kesejahteraan dengan hadirnya pemerintah di tengah kehidupan masyarakat.

Adapun satu poin selanjutnya adalah bentuk perhatian DIY terhadap kekuatan keberagaman yang ada di Yogyakarta. Dua poin terakhir menunjukkan sebuah perubahan paradigma pemerintahan yang biasanya cenderung bersifat di-layani, dihargai, dan di-uwongke/dihormati (bersifat pasif) menjadi me-layani, menghargai dan nguwongke/menghormati (bersifat aktif).

Bentuk tindak lanjut dari Visi-Misi yang telah disampaikan oleh Gubernur DIY kemudian dirancang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). RPJMD tahun 2017-2022 mengusung konsep “Renaisans Yogyakarta”[4].

Sebuah konsep yang menyuguhkan harapan baru untuk masyarakat Yogyakarta dalam menentukan arah kemajuan dengan menapak tilas nilai luhur sejarah masa lalu guna mewujudkan tatanan nilai untuk kehidupan masa depan yang ber-peradaban.

Sebagai sebuah upaya untuk melakukan pencapaian, antisipasi maupun penyelesaian berbagai permasalahan yang dihadapi di wilayah DIY, “Renaisans Yogyakarta” tidak bisa dilepaskan dengan konteks tertentu yang bersifat eksternal.

Perhatian terhadap kondisi geopolitik wilayah lain, baik dalam skala regional, nasional maupun internasional tentu tidak luput dari perhatian dalam setiap penyusunan agenda pembangunan baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Melihat hal ini pengangkatan konsep “Menyongsong Abad Samudera Hindia” sangat mungkin sebagai bagian dari bentuk respon terhadap fenomena Indian Ocean Rim Association (IORA) fenomena kra-kanal atau thai-canal project, fenomena kemiskinan di kawasan Yogyakarta bagian Selatan, dan fenomena kesejahterahan.

Berpijak pada Kebudayaan

Modal yang cukup di wilayah DIY sangat mungkin menjadi latarbelakang tercapainya visi-misi. Selain itu, keberhasilan suatu pembangunan terletak pada tiga faktor kontrol, yaitu faktor politik, ekonomi, dan budaya.

Secara politik, visi-misi tersebut menjadi bentuk  tuntunan yang sudah dibuat dan ditetapkan sebagai RPJMD. Secara ekonomi, sangat layak karena pembangunan kawasan Selatan Yogyakarta sebagai salah satu pintu gerbang berbasis maritim sangat dimungkinkan bersinergis dengan visi nasional sebagai poros maritim dunia.

Di sisi lain, melalui pijakan kebudayaan DIY bisa mengarahkan pembangunan multi-sektor dalam sekaligus. Hal ini jika kebudayaan dihadirkan dalam kerangka kebijakan yang disusun dan dilaksanakan. Dalam kebudayaan ikatan psikologis-emosional antar masyarakat erat kaitannya saling terjalin, sehingga memudahkan menggali aspirasi sehingga memudahkan proses implementasi.

Dalam konteks Yogyakarta, strategi ini sangat mungkin dilakukan karena meskipun  karakter desa/kelurahan yang ada di wilayah DIY tergolong swakarya (sudah memiliki jalan, tidak terikat lagi dengan adat-istiadat dan dekat dengan pusat perekonomian) dan atau swasembada (sudah sangat maju, rasional, dan tidak terikat lagi dengan adat-istiadat)[5]. Tetapi dalam hal nilai adat kebudayaan masyarakat masih kental dengan karakter adat-istiadat Yogyakarta yang Istimewa.

Dengan tetap mengacu pada nilai-nilai luhur, Hamemayu hayuning Bawana secara makro dan Hamemayu Hayuning Ngayogyakarto Hadiningrat menjadi modal besar bagi DIY untuk melakukan pembangunan yang berperadaban. Dari potensi-potensi tersebut DIY juga menjadi kawah candra dimuka untuk mengembangkan sector pertanian dan maritim yang sekaligus untuk menghidupkan potret garis imajiner Yogyakarta yang menghubungkan Gunung Merapi, Kraton, hingga Laut Selatan.

Dimensi-diensi tersebut juga sekaligus menunjukkan bahwa Yogyakarta merupakan sebuah kota yang memiliki pintu masuk untuk membuka jalan dalam rangka mewujudkan peradaban baru yang adiluhung.

Membuka Peradaban dari Pintu Selatan

Pembangunan kawasan Selatan Yogyakarta sekaligus sebagai tanda dibukanya gerbang peradaban Abad Samudera Hindia merupakan bentuk implementasi dari konsep among tani dagang layar[6].

Among tani dagang layar merupakan sebuah pola pikir baru yang menggeser pembangunan dari kawasan pertanian ke kawasan kelautan. Pergeseran ini bukan berarti perubahan yang menghilangkan pembangunan kawasan pertanian di kawasan utara Yogyakarta, tetapi pemanfaatan potensi alam lain di wilayah selatan Yogyakarta yang belum banyak dikembangkan.

Pembangunan yang dimulai dari kawasan utara sampai selatan dari pengelolaan hasil pertanian sampai ke lautan melalui nilai-nilai kearifan lokal serta dengan daya saing global menjadi potensi yang luar biasa dan merupakan “mutiara yang istimewa”. Hal itu dikarenakan secara ekonomi dan geopolitik berpotensi sangat strategis.

Untuk itu diperlukan suatu model integrasi dari segala potensi yang ada, sehingga setiap komponen dapat menjadi maksimal pada fungsinya masing-masing dalam membangun suatu peradaban modern yang berlandaskan nilai-niail luhur yang sudah diwariskan secara turun-menurun.

Pola pembangunan Mataram yang direfleksikan secara kesejarahan oleh situs Petilasan Selo Gilang dapat dijadikan sebagai salah satu tuntunan, bahwa manusia harus berharmonisasi dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Sebab untuk mengenal Sang Pencipta, kenalilah diri sendiri, dan untuk mengenal diri sendiri, kenalilah nilai luhur budaya yang kita miliki. Dari situ lah kita akan menemukan keistimewaan, seperti istimewanya Yogyakarta.

Membangun Optimisme

Melalui kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki DI.Yogyakarta tentunya ada optimisme bahwa Pemerintah DI.Yogyakarta akan mampu melaksanakan program pembangunan yang berpijak pada nilai local dan berdaya saing global. DI.Yogyakarta mampu menjadi role model pembangunan Indonesia berbudaya dan berdaya saing global.

Di sisi lain, kesuksesan program pembangunan yang digagas oleh pemerintah tidak terlepas dari peran serta berbagai elemen yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, segenap pemangku kebijakan, para stakeholder dan masyarakat Yogyakarta secara umum harus turut serta bahu-membahu mendorong proses implementasi kebijakan untuk tercapainya harapan yang ingin diraih bersama-sama.

Semoga keistimewaan DIY dapat menjadi percontohan sekaligus tuntunan dalam membangun tatanan Indonesia berbudaya, bermartabat, berdaya saing global.

Sumber :

1.http://www.bappeda.jogjaprov.go.id/berita/detail/69-transformasi-menuju-pembangunan-kemaritiman-di-daerah-istimewa-yogyakarta, diakses pada 20 Mei 2019.

2.https://liburmulu.com/pantai-di-yogyakarta-pantai-di-jogja/, diakses pada 19 Mei 2019.

3.https://www.dprd-diy.go.id/visi-gubernur-diy-2017-2022-adalah-menyongsong-abad-samudera-hindia-untuk-kemuliaan-martabat-manusia-jogja/, diakses pada 19 Mei 2018.

4.Konsep Renaissance Yogyakarta pada dasarnya disampaikan pertama kali oleh Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada tanggal 10 Mei 2012, pada momentum sabda tama atau amanat. Visa yang disampaikan Sultan Hamengku Buwono X dalam sabda tama tersebut, adalah penggalian pengetahuan dan kebudayaan masa lalu agar menjadi bagian dari proses pembangunan di DIY. Harapan tersebut diungkapkan kembali oleh Sultan Hamengku Buwono X dalam forum Sidang Paripurna DPRD DIY pada 21 September 2012 dengan judul/tema “Yogyakarta Menyongsong Peradaban Baru”. Maksud dari peradaban baru adalah upaya untuk membangun peradaban unggul melalui strategi kebudayaan dengan membalik paradigma “among tani” menjadi “dagang layar”, dari pembangunan berbasis pertanian (daratan) menjadi berbasis  kelautan (kemaritiman), dengan bertumpu pada keunggulan lokal (local genius) dan kearifan lokal (local wisdom).

5.https://bumdes.id/2017/12/jenis-jenis-desa-berdasarkan-tingkat-perkembangannya/, diakses pada 20 Mei 2019.

6.Konsep among tani dagang layar merupakan sebuah konsep yang sudah lama digaungan di DIY, setidaknya sejak 2013 konsep pembangunan dengan melakukan pergeseran paradigm dari daratan ke laut sudah mulai disampaikan di beberapa forum pertemuan yang dihadairi oleh Gubernur DIY (dalam https://jogjaprov.go.id/berita/detail/among-tanidagang-layar-konsep-strategis-majukan-perekonomian-diy, diakses pada 20 Mei 2019). Berikut kutipan mengenai Paradigma ‘Among Tani Dagang Layar’, yaitu merupakan kesatuan kalimat yang memiliki arti kegiatan usaha pertanian dan kelautan secara simultan dan terintegrasi membentuk sinergi dalam pengembangan potensi pantai selatan DIY (dalam https://jogjadaily.com/2015/03/gubernur-diy-among-tani-dagang-layar-adalah-sinergi-pengembangan-potensi-pantai-selatan/, diakses pada 20 Mei 2019.

Penulis, Anas Shoffa’ul Jannah (Alumni Pascaserjana Sosiologi UGM)

Reporter: KilatNews