Risiko Marger Bank Syariah Menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI)
Oleh: Tsabita Az-Zahra
Di awal bulan Juli 2020, Kementerian BUMN membuat rencana marger bank syariah dan akuisisi bank milik pemerintah selaku anak perusahaan dari bank BUMN. Bank syariah yang dimaksud adalah BNI Syariah (BNIS), BRI Syariah (BRIS), dan Bank Syariah Mandiri (BSM). Setelah itu, bank-bank syariah tersebut diharapkan bisa menjadi lebih kuat, dan lebih besar serta menjadi alternatif pembiayaan.
Kementerian BUMN pun menjadikan saham BRI Syariah sebagai entitas penerima marger (surviving entity), yang dua kali menyentuh auto reject atas (ARA). Pada tanggal 20 Oktober 2020, posisi BRI Syariah sempat dikoreksi setelah pengumuman mengenai detail skema marger.
Meskipun begitu, nilai saham BRI Syariah sudah pada tingkat Rp. 1.210 sampai akhir perdagangan pada Jumat, 23 Oktober 2020, tertulis masih 264, 45 persen secara year to date (ytd), dari posisi Rp. 332 pada awal tahun.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan tentang marger bank syariah dan akuisisi bank syariah milik pemerintah. Penggabungan beberapa bank syariah ini dilakukan supaya bisa mengokohkan bank syariah di Indonesia dalam menghadapi perekonomian global di dunia, khususnyata di ASEAN.
Marger ini juga dianggap sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah. Karena sejujurnya, pangsa pasar dan eksistensi bank syariah di Indonesia masih kurang menonjol, kinerja bank syariah juga cukup lambat.
Baca Juga:
Menerapkan Manajemen Risiko Perbankan Syariah yang Efektif
Memang cukup rasional argumentasi pemerintah untuk melakukan merger bank syariah. Apalagi dalam menghadapi persaingan masyarakat ekonomi ASEAN. Bank syariah Indonesia diharapkan bisa bersaing dengan bank syariah negara tetangga, yang berskala besar seperti Maybank Syariah dan CIMB Syariah. Bank syariah yang kecil-kecil tentu saja akan menghadapai kesulitan untuk berkompetisi.
Dibentuknya marger bank syariah dan akuisisi bank syariah milik pemerintah ini, bertujuan untuk meningkatkan pangsa pasar dalam perbankan syariah, dan meningkatkan eksistensi bank syariah di Indonesia. Namun, kondisi ini menimbulkan pro-kontra dari berbagai pihak, dimana marger dan akuisisi bank syariah ini mampu memberikan modal yang lebih besar tetapi ini lebih mengarah kepada usaha, atau bisnis yang besar. Sedangkan hal ini berdampak pada kesenjangan ekonomi sosial bagi usaha, atau usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Dampak Positif Bagi Individu Bank
Program Marger bank-bank syariah ini memang memiliki dampak positif untuk individu bank, konsolidasi perbankan syariah juga berpengaruh pada skala yang lebih kecil, yaitu stabilitas sistem keuangan. Namun, menurut Chu (2015), pengaruh konsolidasi perbankan terhadap stabilitas sistem keuangan menjadi tidak jelas dan kurang meyakinkan. Karena, terdapat beberapa argumen yang bertolak belakang dan sama-sama didukung oleh bukti empiris yang kokoh.
Di sisi lain, marger bank-bank syariah ini akan mengurangi jumlah bank yang diawasi, sehingga otoritas pengawas bisa lebih efektif dan fokus. Imbal hasil yang didapat adalah resiko sistemik juga menurun. Selain itu, marger bank-bank syariah tersebut akan menguatkan daya tahan (reciliene) perbankan dalam menghadapi resiko goncangan serta ketidakpastian.
Positif & Negatif Marger Bank Syariah
Melansir finansial.bisnis.com Peneliti Ekonomi Syariah Indef Fauziah Rizki Yuniarti mengharapkan agar bank syariah hasil merger dapat mempunyai produk bertarif murah untuk nasabah. Hal tersebut juga bisa memperbesar pagu pembiayaan untuk sektor UMKM dan pengembangan Bank Wakaf Mikro (BWM). Menurutnya, bank syariah hasil merger memiliki peluang tarif pembiayaan murah karena besarnya modal yang entitas ini miliki. Modal yang besar memperluas kemungkinan bank ini berhasil menarik dana murah dari publik.
Baca Juga:
Manajamen Risiko Bank Syariah Indonesia
“Saat ini PBI No. 17/12/PBI 2015 memberikan syarat bahwa pembiayaan perbankan syariah ke UMKM minimal 20 persen dari total pembiayaan. Namun menurutnya, bank-bank syariah hanya berusaha sebatas memenuhi angka persyaratan tersebut. Peningkatan porsi pembiayaan ke UMKM wajib masuk ke Rencana Bisnis Bank Syariah BUMN sehingga tidak sekedar memenuhi persyaratan minimum Bank Indonesia di 20 persen. Ini juga akan menjawab keraguan masyarakat bahwa Bank Syariah BUMN hanya fokus ke konglomerat”. kata Fauziah Rizki Yuniarti, dikutip finansial.bisnis.com pada (27/11/2020).
Bagi pemerintah sebagai pemilik akhir dari Bank Syariah Indonesia (BSI), bisa mendapatkan keuntungan karena hanya dengan mengembangkan serta mengawasi satu bank syariah saja, tapi sangat tidak menguntungkan bagi para regulator atau badan pengawas syariah. Marger ketiga bank syariah itu juga dapat merugikan para pemegang saham minoritas BRI Syariah karena nilai sahamnya akan terdilusi.
Risiko Lainnya
Risiko lain dari marger ini berdampak pada karyawan atau tenaga kerja. Mengapa bisa berdampak pada karyawan? Marger beberapa bank syariah, ibaratkan beberapa keluarga yang kemudian digabungkan menjadi satu rumah, maka apa yang akan terjadi? Tentu yang akan terjadi kepadatan anggota.
Perumpamaan diatas bisa dianalogikan pada kasus marger ini, dimana beberapa bank digabungkan menjadi satu bank, tentu akan menimbulkan konflik baru bagi masing-masing anggota. Serta bisa mengakibatkan pengurangan anggota atau karyawan (PHK), dan otomatis ini berisiko pada menurunnya perekonomian sosial masyarakat karena meningkatnya pengangguran di Indonesia. Masalah ini bisa menimbulkan konflik baru di masyarakat dan berakibat pada krisis ekonomi masyarakat Indonesia.
Baca Juga:
Tips Bernegosiasi Dalam Jual-Beli Motor Bekas
Pada dasarnya Legal Due Diligence (LDD) adalah solusi untuk melaksanakan mitigasi resiko terhadap aktivitas bisnis yang akan dilakukan oleh perusahaan, baik itu marger, akuisisi atau pun transaksi lainnya. Dengan itu, perusahaan dapat mengoreksi dengan teliti sehingga bisa mendapatkan informasi, dan fakta visual mengenai gambaran kondisi perusahaan target atau objek transaksi.
Tsabita Az-Zahra. Penulis adalah Mahasiswi STEI SEBI, Depok