Kilatnews.co – Mungkin masyarakat utamanya netizen tidak ada yang tahu atau bahkan tidak peduli dengan berita pencopotan hakim konstitusi oleh DPR. Berita ini kalah seksis dengan berita perselingkuhan di kalangan selibritis. Saya tertarik karena pernah ikut belajar hukum konstitusi.
Seperti diketahui, bahwa DPR tak memperpanjang masa jabatan Aswanto sebagai hakim konstitusi. Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyebut pihaknya mencopot Aswanto karena menganulir undang-undang produk DPR di Mahkamah Konstitusi.
“Tentu mengecewakan dong. Ya bagaimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh,” ucap Bambang di Gedung DPR pada Jumat (30/9). Ini jelas DPR kekanak-kanakan karena keputusan hakim tidak sesuai yang diharapkannya lalu memberhentikan hakim tersebut.
Sebelumnya, dijelaskan oleh Mahfud MD, hakim konstitusi yang berjumlah 9 orang merupakan pilihan atau usulan dari tiga lembaga, yakni: Presiden (3 org), DPR (3) dan MA (3). Masing-masing lembaga memiliki mekanismenya sendiri dalam pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi yang diusulkannya.
Yang menjadi soal adalah, terkait alasan pemberhentian (seperti yang disampaikan Pacul). Jimly Asshiddiqie mengatakan, “Menurut ketentuan Undang-Undang MK Pasal 23 ayat (4), pemberhentian hakim itu suratnya bukan dari lembaga yang bersangkutan, tapi dari MK. Jadi, kalau tidak ada surat dari MK, enggak bisa diberhentikan,” kata Jimly setelah pertemuan di Gedung MK, Jakarta, Sabtu (1/10).
Jimly berkata pemberhentian hakim dilakukan hanya karena alasan-alasan, seperti meninggal dunia, habis masa jabatan, melanggar hukum, atau kode etik. Menurutnya, DPR tak berwenang memberhentikan hakim konstitusi.
Pertanyaannya, bolehkah lembaga pengusul memberhentikan hakim konstitusi karena alasan putusan? Jika memang bisa, maka ini menjadi preseden buruk bagi posisi hakim konstitusi yang tidak independen. Meskipun halim Aswanto merupakan hakim yang diusulkan DPR, namun bukan berarti dia wakil suara DPR.
Sepanjang yang saya ketahui, keputusan hakim di lembaga atau pengadilan manapun tidak dapat diganggu-gugat, bahkan tidak bisa dinilai. Putus ya sudah putus. Jika ada yang merasa tidak adil maka silahkan mengambil kesempatan banding (perlawanan hukum) yang sudah diatur mekanismenya.
Jika setiap keputusan yang diambil hakim yang dianggap merugikan lembaga pengusulnya lalu diberhentikan, maka akan sering terjadi krisis pergantian hakim. Dan pastinya para hakim sudah tidak independen lagi dalam memutuskan perkara. Alasan ini pun tidak diatur atau tidak ada dalam UU MK. Apakah Bambang Pacul, bisa memahami ini?
Jika dibiar-biarkan, maka akan terjadi kesemena-menaan dan abuse of power DPR terhadap hakim konstitusi. Hal-hal seperti ini, mengapa para pendekar hukum dari kalangan civil society tidak ada yang bersuara (baru Setara Institute yang mengkritisinya). Tidak paham atau tidak mau tahu?