Yap Thiam Hien: 100 Persen Pengacara

Oleh: Arif Budiman

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Jika saudara hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara anda, karena kita pasti akan kalah. Tapi, jika saudara cukup dan puas mengemukakan kebenaran saudara, saya mau menjadi pembela saudara.-Yap Thiam Hien-

Lahir di Peunayong, Banca Aceh, pada tanggal 23 Mei 2014. Yap Thiam Hien adalah anak sulung dari Pasangan Yap Sing Eng dan Hoan Tjing Nio. Adik lelaki Yap, bernama Yap Thiam Bong, dan adik perempuannya Yap Thiam Lian.

Yap A sin, seorang berpangkat letnan pada zaman pemerintahan belanda merupakan buyut Yap Thiam Hien. Pun  A Sin juga seorang pengusaha kaya raya. Kendati Yap lahir dari keluarga kaya dan berkecukupan. Namun ia tidak dapat menikmati kekayaan keluarganya.

Tak ayal, Yap kecil hidup ditengah keluarga bangkrut, yang membuat hidupnya menjadi nomaden (berpindah-pindah). Kehidupan nomaden Yap dikarenakan keluarganya, pengusaha opium, kebun kelapa dan kolam ikan, mengalami kebangkrutan.

Bangkrutnya keluarga A Sin, tidak terlepas dari kebijakan pemerintahan belanda yang melarang adanya monopoli opium oleh etnis cina. Akibatnya, Yap harus bersama kedua adiknya tingga bersama Sato Nakasima.

Sato Nakasima adalah wanita Jepang yang menjadi Ibu asuh Yap Thiam Hien. Sato juga merupakan perempuan yang memiliki kontribusi besar dalam membentuk karakter Yap.

Setiap menjelang tidur, Sato selalu membacakan cerita penghantar tidur untuk Yap dan kedua adiknya. Salah satunya, cerita samurai, dipenghujung cerita sato selalu berpesan kepada Yap dan adiknya-adiknya, jadilah seperti samurai yang memiliki keberanian dan kesetiaan. Jangan pernah takut jika memang benar, dan kebenaran pada akhirnya pasti akan menang (Seri Buku Tempo: Penegak Hukum, 2013, Yap Thiam Hien, Sang Pendekar Keadilan).

Pendidikan

Yap kecil, belajar di sekolah rendah Europesche Lagere School (ELS), banda aceh. Lulus dari ELS pada tahun 1926. Kemudian Yap melanjutkan Studinya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, disingkat MULO di Batavia, lulus pada tahun 1929. Dan pada tahun 1930, Yap melanjutkan studinya ke Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung.

AMS adalah Sekolah Menengah Umum (SMU) di zaman belanda. Di AMS, Yap belajar sastra barat, kemudian pindah ke AMS Yogyakarta dan lulus pada tahun 1933.

Yap Thiam Hien dapat di bilang anak yang sangat cerdas. Yap terbilang unggul apabila dibandingkan dengan anak-anak seumurannya.

Yap sendiri mampu menguasai empat bahasa asing, termasuk berbahasa belanda. Dulu di era pemerintahan belanda, terdapat sebuah peraturan terkait dengan gelijkstelling atau kesataraan hukum.

Gelijksteing hanya bisa didapatkan bagi setiap orang yang mempunyai kemampuan berbahasa belanda, Plus bersedia untuk hidup dan mempraktikan kebudayaan belanda dalam kehidupannya.

Keluarga Yap menjadi salah satu dari ribuan keturunan etnis cina yang mengajukan kesataraan hukum, dan Yap diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di eropa.

Alhasil, Yap mendapatkan kesempatan untuk belajar di Fakultas Hukum Leiden, Belanda. Seluruh biaya pendidikan didapatkan Yap secara Gratis hingga ia menyabet gelar meester in rechten, pada 26 september 1947.

Selama studi di belanda, Yap tinggal di Zendingshuis, Oegstgeest. Yang dikenal sebagai daerah pemukiman elit, ilmuan hingga budayawan. Zendingshuis dapat juga disebuti rumah pengetahuan bagi Yap.

Disana ia belajar dan mengganyang semua ilmu pengetahuan. Mulai dari Hukum, Politik, Sosial, dan Agama, Yap pelajari. Bahkan Yap, juga mempelajari Marxisme dan Kapitalsime. Jadi tidak heran kalau Yap seringkali berbicara lantang menentang pemerintah, untuk membela hak-hak kaum marginal.

Ketika ia belajar dan mengenyam pendidikan di sekolah belanda, Yap pernah merasakan secara langsung adanya diskriminasi rasial yang dilakukan oleh orang belanda terhadap etnis cina.

Sebagaimana dikatakan Yap, dalam buku karya Leo Suryadinata, bahwa ia dibesarkan ditengah lingkungan yang sangat feodalistik. Sehingga ia sangat membenci sebuah penindasan dan kesewenang-wenangan.

Pengacara 100 Persen

Todung Mulya lubis, pengacara senior sekaligus ketua Yayasan Yap Thiam Hien, pernah mengatakan kalau Yap merupakan sosok advocad yang gigih memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM).

Dikatakan Todung, Yap mencerminkan advokat berintegritas yang tidak gila uang, 100 persen advokat. Beliau bukan tipe advokat yang gemar naik Ferrari atau Lamborghini (Baca: artikel International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965) edisi 31 Januari 2017).

Yap memang sosok yang sederhana, apabila dibandingkan dengan advocad sekarang, perbedaannya ibarat langit dan bumi. Yap tidak bergelimang harta, dan Yap juga kerap tidak meminta bayaran dari kliennya.

Ada sebuah perkataan menarik dari Yap, “Jika saudara hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara anda, karena kita pasti akan kalah. Tapi, jika saudara cukup dan puas mengemukakan kebenaran saudara, saya mau menjadi pembela saudara”.

Jadi sebuah kewajaran, kalau ia masuk kedalam golongan pengacara yang tidak bergelimang harta. Karena ia gigih memperjuangkan Hak Hukum kliennya, bukan untuk meraupkan keuntungan melalui fee jasa pengacaranya. Kisah menarik dan unik tentang Yap, pernah di ungkapkan seorang advocad Albert Hasibuan.

Dalam serial buku tempo, Albert yang pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden, juga mengatakan bahwa ia pernah berkongsi dengan Yap, kendati hanya berlangsung selama setahun. Dikatakan Albert, Yap itu unik. Masak klien dimarah-marahi.

Bagi mahasiswa hukum, Yap merupakan mata air keteladanan. Kita sekarang merindukan sosok pengacara seperti Yap. Pengacara yang tulus berjuang untuk membela hak-hak kaum miskin kota yang termarginalkan. Kini masyarakat sudah mulai enggan, meminta bantuan kepada pengacara ketika berhadapan dengan masalah. Karena memori kolektif masyarakat masih dihantui oleh besaran fee jasa pengacara.

Fakta ini tidak dapat dingkari bahwa masih terdapat beberapa pengacara yang masih berjalan dijalan yang lurus, yaitu Yap Thiam Hien. 

Arif Budiman. SH. Penulis adalah Peneliti dan Pemerhati Hukum