Gelombang Arus Bawah
Oleh : Rizki Maulana Hakim
“barangsiapa yang menghendaki kemerdekaan buat umum, maka ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan diri sendiri” -Tan Malaka-

Gejolak dua kodrat antara positif dan negatif (baik-buruk), saling mendominasi karakter manusia maupun bangsa. Dominasi keduanya menciptakan arus dialektika. Dan perjuangan adalah perihal menaklukkan dua kodrat tersebut.

Ahmad Wahib, menulis dalam buku hariannya bahwa manusia bukanlah sebagai being (barang jadi), namun manusia adalah be coming (menjadi). Tidak ada yang akhir dari manusia kecuali kematian. Hidup merupakan sebuah proses untuk menjadi sosok yang ideal. Tentunya setiap manusia bebas mempunyai kebebasan untuk mengidealkan dirinya sendiri. Meskipun demikian, struktur ideal manusia tidak akan terlepas dari kondisi sosial dan budaya yang ada di sekitarnya.

Ayat-ayat suci dalam kitab umat beragama juga mengatakan demikian bahwa manusia hidup dan berdiri diatas perbedaan, untuk saling mengenal. Perbedaan paling kentara yang dapat dilihat adalah manusia dalam dua jenis kelamin yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan, kemudian menjadikannya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal satu sama lain.

Baca Juga:

Apa saja Kebijakan Jokowi yang Dianggap Kontroversi, Apa saja Iya?

Filsuf yunani, Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial ‘zoon politicon’, manusia sebagai mahluk sosial dan politik. Yang tidak bisa melepaskan diri dari manusia lainnya untuk mempertahankan kehidupannya sehingga melahirkan hubungan timbal-balik untuk manusia lainnya.

Mahluk Politik

Politik secara umum dapat diartikan sebagai cara untuk meraih dan mendapatkan sesuatu. Dalam konteks hidup bernegara, politik dapat pula diartikan sebagai cara untuk mendapatkan kekuasaan. Kenapa kekuasaan, sebab kekuasaan adalah faktor mutlak dalam teori negara untuk mentransformasikan masyarakat. Terkait dengan kekuasaan, hal ini jauh lebih banyak dibahas dalam ilmu politik.

Seiring perkembangan ilmu politik. Gerakan poltik dapat dibagi menjadi dua. Pertama, Politik Kekuasaan. Kedua Politik Kerakyatan. Politik kekuasaan memfokuskan pikiran dan gerakan untuk menggerakkan massa dengan satu tujuan, kekuasaan semata. Dengan kekuatan yang dimiliki, kekuasaan akan menghantarkan rakyat dalam kemerdekaan seluas-luasya. Sedangkan politik kerakyatan yang menihilkan kekuasaan.

Baca Juga:

Solidaritas Sosial Durkheimian pada Masyarakat Perkotaan

Politik kerakyatan memfokuskan ide dan gerakan dalam rangka menyadarkan massa seluas-lusanya akan kemerdekaan demi tercipta sebuah tatanan rakyat mandiri. Kemandirian rakyat akan dapat meminimalisir ketergantungan hidup terhadap apapun termasuk pada Negara.

Dalam konteks ini, rakyat yang mandiri tidak menunggu uluran tangan orang lain untuk berkarya secara aktif dan kreatif. Sinergitas antara politik kekuasaan dengan politik kerakyatan akan mendorong majunya peradaban bangsa. Peradaban yang baik adalah peradaban yang dapat memerdekan umat manusia dan menciptakan suatu tatanan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.

Menukil Prof. Kusuma Atmadja, megatakan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. Dalam sejarah perjalanan dunia politik, mulai dari timur hingga kebarat, tidak ada politik yang paling sempurna. Politik selalu meminta tumbal dalam perjalannanya, meskipun tumbal itu berupa nyawa dan darah sekalipun.

Gelombang Arus Bawah

Hukum dalam praktiknya, belum mampu menghalau praktik politik yang memiliki orientasi kekuasaan semata. Pantas kalau kelaliman sudah menjadi kelaziman. Sekarang setiap orang berlomba-lomba untuk duduk disinggasana kekuasaan. Ironisnya, ketika berkuasa, ia justru berubah menjadi manusia yang rakus. Kekuasaan malah menjadi mimpi buruk bagi rakyat yang berada diluar kekuasaan.

Kekuasaaaan tak memandang bulu, kekuasaan hanya memandang untung dan rugi. Dan sama sekali tidak pernah berbicara tentang kemakmuran, kecuali dalam pemilihan. Rakyat pun semakin frustiasi, seakan-akan kematian adalah kenikmatan yang telah dinanti-nanti. Namun rakyat janganlah pernah lupa, bahwa kekuasaan bukanlah harga mati.

Gelombang arus bawah sebagai representasi politik kerakyatan memiliki kekuatan yang besar untuk menghalau laju kekuasaan angkara. Gelombang arus bawah harus berani mengantar seluruh massa aksi keluar dari lingkaran monopli politik kekuasaan. Pramodya Ananta Toer , mengajarkan kita bahwa mendidik rakyat dengan organisasi, sedangkan mendidik penguasa dengan perlawanan.

Oleh karena itu, keberadaan gelombang arus bawah sebagai bagian dari oposisi. Maka harus tetap dijaga keberadaanya. Tujuannya adalah untuk mengontrol dan menjaga kewarasan penguasa agar tidak menyimpang. Pada prinsipnya, meminjam ungkapan Tan Malaka, setiap orang yang hendak memerdekan orang lain maka harus bersedia untuk menanggalkan kemerdekaannya sendiri.


Rizki Maulana Hakim. Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Janabadra Yogyakarta

Reporter: KilatNews