Kilatnews.co – Kontestasi politik kian ramai diperbincangkan dalam ranah publik, beberapa parpol saling merapat membangun kemesraan koalisi tak mau kalah start membangun citra positif di hadapan publik.
Aroma koalisi tersebut setidaknya sudah tercium sejak awal pertemuan elite Parpol, yang saling merapatkan barisan demi menggalang dukungan. Juga demi tercapainya presidential threshold 20%, sebagai syarat mutlak dari KPU untuk mengusung capres-cawapres pada pemilu 2024 mendatang.
Peta Koalisi
Meskipun Pilpres masih menyisakan waktu cukup panjang, konstelasi politik nasional terus ramai. Setidaknya peta koalisi itu sudah terbaca dari kemesraan beberapa elite parpol untuk menselaraskan visi dan misi dalam ikatan koalisi.
Gerakan konsolidasi politik itu terlihat sejak bergabungnya tiga parpol besar, PAN 6,74%, Golkar 12,15%, dan PPP 4,51% suara, yang mengawali deklarasi sebagai koalisi Indonesia bersatu (KIB). Lalu menyusul beberapa parpol kemudian.
Partai Gerindra-PKB, misalnya. Kehadiran koalisi dua parpol ini semakin menghangatkan suasan politik nasional. Pasalnya koalisi Gerindra 12,51%, dan PKB 9,72%) ini secara konstitusional cukup syarat, ramping dan proporsional dengan total suara yang sudah mencapai ambang batas Pilpres (parliamentary threshold).
Kehadirannya sangat signifikan baik dalam menggalang dukukungan maupun daya gedor bagi parpol lain dalam mengambil sikap politik. Terbukti, NasDem yang dalam rakernasnya kemarin sudah mengajukan tiga tokoh Capres, mulai membangun komunikasi politik dengan PKS, menjalin pertemuan menyatukan visi dan misi yang menurut presiden PKS Ahmad Syaikhu, ada banyak kesamaan dan tujuan di antara kaduanya.
Serba-serbi koalisi demikian tentunya sangat menarik dan unik. Menariknya, nanti bakal lebih dari dua capres-cawapres yang akan berkompetisi karena banyaknya gerbong koalisi. Uniknya, parpol yang berbeda secara ideologi akhirnya bisa berkoalisi (PPP, PAN dan Golkar) dan yang nasionalis dan agamis (santri) bisa bersatu, Gerindra dan PKB, misalnya.
Lalu bagaimana dengan Demokrat dan PDI Perjuangan ? PDI Perjuangan tidak perlu diragukan kata Hasto Kristiyanto, sebab ia bisa berkompetisi melalui “jalur mandiri” mengajukan capres-cawapres melalui tiket 128 kursi di parlemen (viva.co.id/21 Mei 2022). Lain halnya dengan Demokrat yang harus bersanding dengan partai lain.
Demokrat yang memiliki suara 7,64% setidaknya “dipaksa” harus berkoalisi untuk mendapatkan tiket kompetisi di 2024. Kedekatan AHY dan Anies Baswedan sejatinya disinyalir menjadi lampu hijau bahwa Demokrat akan menjalin koalisi dengan Nasdem dan PKS, yang sudah terang-terangan mengusung figur capres. Apalagi secara histori politik, Demokrat dan PKS pernah sama-sama berada di jalur oposisi pemerintahan Jokowi. Jadi tiga parpol ini sangat mungkin untuk berlari bersama.
Merebut Hati Rakyat
Meskipun demikian, politik senantiasa selalu berjalan dinamis, koalisi yang sudah terbentuk sekarang bukanlah hal yang mustahil untuk bisa berubah mengingat Pilpres masih lama. Paluang untuk menarima harapan dan menolak koalisi masih terbuka lebar.
Peta komunikasi politik akan terus berjalan berbanding lurus dengan semangat koalisi sebagai kerja kolektif, sapanjang peluang kekuatan politik itu masih dibutuhkan untuk mengatur strategi dan membagi wilayah kerja politik dalam merebut kemenangan.
Kerja politik tentunya bukan hanya sebatas pembagian kinerja menaikkan elektabiltas koalisi parpol dan pembagian posisi pasca pemilu nanti, melainkan juga bagaimana koalisi bisa mengawal jalannya proses dialektika demokrasai sesuai harapan, yaitu politik yang berkebangsaan. Politik yang bisa menjadi jalan keluar (solusi) menyelesaikan problematika sosial, budaya, agama dan ekonomi yang sedang terjadi.
Jika itu bisa tercapai, strategi kerja kolektif takkan sia-sia, koalisi sangat dimungkinkan maraih simpati merebut hati rakyat pada tahapan proses demokrasi berikutnya. Simpati manjadi muara utama terciptanya kemenangan dari kalkulasi koalisi, selain upaya untuk memenuhi peraturan perundang-undangan yang mengharuskan partai untuk berkoalisi. Hati dan simpati pemilih merupakan entitas utama yang tak boleh terlupakan dari gerakan koalisi.
Walhasil, gerakan koalisi harus benar-benar diterjemahkan dalam upaya bersama-sama maraih kemenangan yang hakiki, yaitu kemenangan yang diperoleh dari hasil koalisi nantinya bisa menghasilkan sosok pemimpin yang mengerti suara hati rakyat, bukan sebaliknya, terbentuknya koalisi hanya berupaya merebut posisi-posisi strategis setelah proses pemilu selesai.
Iksan Basoeky. Panulis Adalah Analis di The Indonesian View Yogyakarta dan Alumni UIN Suka Yogyakarta