Konstruksi lahirnya sutau tulisan ini adalah sebuah keniscayaan. Begitulah ungkapan yang digaungkan oleh kader-kader muda Tala Ia melalui kajian bersama yang menyayangkan kecacatan pemahaman tentang arti sebuah kritikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sikap yang dilakukan itu mencerminkan kenihilan kualitas cara berpikir yang baik dan benar.
Kecacatan nalar pemahaman tersebut cukup memprihatinkan ketika melihat diberbagai media yang memberitakan laporan dugaan pencemaran nama baik oleh seorang anggota legislatif dan juga kepala eksekutif (Bupati) di Kabupaten Lembata kepada pihak penegak hukum terkait masalah pencemaran nama baik atas dirinya yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat pasca aksi demonstran.
Pemberitaan tersebut membuat suasana seperti semringah bercampur senyum sinis yang mengakibatkan dilema atau peristiwa traumatis terkait penyampaian kritik yang berujung bui. Tidak jarang bahwa momentum itu dianggap paradoks, kontras, dan juga bermuka dua.
Kritik dan Penghinaan
Biar jelas, patutnya kita memulai dengan memperjelas, apa itu teori kritik? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik diartikan sebagai bentuk tanggapan, kupasan, kecaman yang juga disertai dengan uraian dan pertimbangan atas baik atau buruk terhadap suatu hasil karya, pekerjaan, atau pendapat tertentu. Degan demikian, mencermati makna arti tersebut, Frasa kecaman memerlukan klarifikasi makna agar tidak berkonotasi yang negatif.
Makna kecaman dalam kamus KBBI menitikberatkan pada suatu teguran yang keras. Maka, konsepsi mengenai makna terhadap kritik memang meletakkan kegiatan tersebut dalam konteks memberikan masukan serta tanggapan terhadap suatu peristiwa yang dapat dilakukan dengan keras ataupun tidak. Makna kritik semacam itu melekat terhadap suatu penganalisisan dan pengevaluasian.
Kritik sejatinya juga disertai dengan bukti yang kuat untuk menguatkan argumentasi. Berbagai macam penyampaian krtitk itulah memerlukan pemahaman (social learning). Bahwa kritik dapat dilakukan dengan keras, pedas, dengan tidak selalu menggunakan cara yang santun.
Alhasil, bentuk dari kritik tidak hanya lingual, melainkan dapat pula berbentuk simbol. Hal yang tidak bisa terlepas dari proses tersebut adalah pertimbangan kadar baik dan buruk peristiwa yang dikritik sehingga akan menjadikan proses muatan krtitik tersebut penuh bukti. Titik berat daripada kritik memang mengacu pada muatan ataupun kontennya. Akan tetapi, secara defenisi, penyampainnya dapat dilakukan dengan pedas sesuai tawaran indeks KBBI yang memuat adanya kosa kata kritik pedas dengan tidak menyamakan makna terhadap penghinaan, apalagi pencemaran nama baik.
Argumentasi ini sangalah jelas bahwa, kritikan itu sangatlah berbeda dengan penghinaan. Tipisnya perbedaan makna dari dua kata tersebut tidak dapat dijadikan kesempatan untuk membungkam krtitik di era demokarsi. Sebab, pembelengguan kebebasan berpendapat menjadi menonjol apabila konsepsi makna kritik dijadikan sebagai kata penghinaan dan ujaran kebencian.
Runtutan logika berpikir inilah yang harus disosailisaikan atau mestinya sudah tertanam dalam benak masyarakat, terlebih pada aparat penegak hukum agar responsifitas terhadap kritikkan tidak dikaitkan dengan berbagai aspek lain yang berujung pada saling lapor-melapor dan saling memidanakan, seperti yang dilakukan oleh seorang anggota DPRD dan Bupati di Kabupaten Lembata.
Jika memang hal tersebut dikategorikan sebagai suatu bentuk penghinaan, maka kuburlah makna demokrasi berpendapat kita dan jangan pernah berharap masyarakat akan berani mengkrirtik terhadap kinerja pemerintah. Suatu bentuk proses yang yang dikategorikan menghina adalah ketika seseorang ataupun kelompok dengan sengaja merendahkan ataupun kenyataannya tidaklah sesuai.
Persoalan etika dalam kritik
Tidak ada etika dalam menyampaikan suatu kritik, kecuali ada kemauan atau minat untuk menyampaikannya kepada pihak tertentu. Etika akan berkonotasi dengan adab atau kesantunan berperilaku. Kurang relevan apabila etika kemudian dijadikan landasan perilaku dalam memberikan kritik. Jika demikian halnya, sebaiknya tidak perlu ada kritik, melainkan cukup hanya menjadi obrolan sambil lalu.
Tidak ada istilah “kritik” yang membangun, karena sesungguhnya istilah tersebut hanya mencoba untuk mengaburkan makna penyampaiannya. Kritik yang disampaikan dengan penyebutan “kesantuan” justru akan semakin tidak diperhatikan dan bukan disebut kritik, melainkan nasehat.
Suatu doktrin yang menjadi ambigu adalah , jika kritik yang membangun apabila kritik tersebut disampaikan berserta solusinya. Terlintas dalam benak pikiran, ada semacam kepincangan cara berpikir dan menjadi sebuah keanehan yang membudaya. Kenapa tidak sekalian saja bagi pihak yang mengkritik membuat makala?. Kritik adalah kritik, sedangkan mengenai solusinya diserahkan kepada pihak yang diberikan kritik.
Tentunya pihak yang mengkritik tadi mengetahui kapasitas (kemampuan) dari pihak yang diberikan kritik. Beberapa kritik mungkin berisikan pula dengan alternatif solusi, akan tetapi tidak dapat dipaksakan sebagai bentuk solusi. Dalam hal ini, cara untuk menciptakan solusi harus diserahkan kepada pihak yang diberikan kritik.
Bentuk lain dari sikap anti kritik berupa pernyataan apabila kritik sebaiknya disampaikan dengan santun, tanpa dilandasi sikap kebencian. Sikap dan pernyataan seperti ini menandakan bentuk penolakan atas kritik yang kurang menyukai atas sikap yang berseberangan atau berbeda pendapat. Sikap anti kritik semacam ini pula mencerminkan kurangnya pemahaman atas makna dari kritik.
Suatu kritik dalam bentuk dan dilandasi oleh kondisi apapun merupakan reaksi dari pihak tertentu terhadap sikap atau pandangan pihak tertentu pula. Sikap kebencian adalah rasa yang tentu saja timbul karena ada sebab tertentu, yaitu sebagai akibat adanya bentuk hubungan khusus.
Kesimpulan
Apapun bentuk dan cara penyampaiannya, suatu kritik tidak akan pernah terdengar menyenangkan bagi siapapun pihak yang ditujukan. Namun, tidak sedikit masyarakat yang kemudian keliru menginterpretasikan ataupun mempersepsikan. Dikatakan teror kritik, karena seringkali membuat gerah pihak yang diberikan kritik, bahkan menjadikannya sebagai ancaman. Sesuatu yang lumrah apabila dipandang sebagai bentuk aksi dan reaksi. Keliru dalam mempersepsikan kritik, maka akan keliru pula menyikapinya. Keliru dalam menginterpretasikan, maka akan keliru pula dalam mengartikannya.
Pemerintah adalah pihak yang diberikan amanat oleh masyrakat melalui konstitusi untuk menjalankan fungsi pemerintahan, termasuk fungsi pembuat kebijakan dan evaluasinya. Tidak semua masyarakat, bahkan mayoritas masyarakat memahami dengan baik fungsi pemerintahan yang telah dijalankan maupun kebijakan yang dibuat.
Sehingga keberadaan para pengamat untuk memberikan kritik akan menjembatani pemenuhan hak-hak politik masyarakat atas pemberian kewenangan maupun amanat. Pemerintah tidak bisa bersikap tidak suka kepada kritik apapun yang ditujukan kepadanya, termasuk apabila kritik tersebut menyerang pribadi si pemangku kebijakan.
Oleh karena itu, keterbukaan pola pikir seperti ini sangat diperlukan untuk memulihkan kepercayaan publik (public truch), sekaligus membangun komunikasi yang baik dan komperehensif antara masyarakat dan pemerintah serta institusi-institusi pemerintahan. Hal tersebut, sebisa mungkin masyarakat dapat menyampaikan masukan dan kritik harus dianggap bukan suatu bentuk tindakan kejahatan, melainkan suatu bentuk partisipasi dan pengawasan public, juga merupakan ekspresi masyarakat terhadap berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah.
Sebuah krtikan tidaklah serta merta di maknai menjadi sebuah penghinaan atau pencemaran nama baik, jika belum dianalisis secara baik untuk memenuhi sebuah pembuktian seluruh unsur kebenaran secara obyektif. Harapannya bahwa, semoga pemahaman tersebut dapat mewujudkan impian pemerintah serta konsistensi tugas dan tanggujawab masyarakat untuk tetap aktif memberikan kritikan yang berjalan dengan baik.
Catatan Kritis Mahasiswa Lembata Sekaligus Pengurus Tala Ia Yogyakarta