OPINI  

Problematik Penerapan Perda Muratara 17/2019 Tentang Pesta Rakyat

Foto: Dokumen Pribadi Nur Rahman

 

Pada Senin (17/5) kemarin, warga Desa Karang Anyar Kabupaten Muratara menggelar aksi pemblokiran Jalan Lintas Sumatera sehingga menyebabkan kemacetan sepanjang 500 meter dan menggangu kenyamanan pengguna jalan yang akan melintasi jalan tersebut. Oleh karena jalan tidak dapat dilewati, maka terpaksa pengguna jalan harus terhenti perjalanannya.

Aksi pemblokiran jalan yang dilakukan warga sebagai bentuk reaksi atas pelarangan pesta rakyat yang dilakukan malam hari sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Muratara No. 17 Tahun 2019 Tentang Pesta Rakyat. Aksi protes warga dengan menutup akses jalan, menurut penulis jelas tidak tepat sasaran. Pasalnya, yang membentuk perda pelarangan pesta rakyat adalah DPRD Muratara bersama Bupati Muratara.

Penyampaian aspirasi seyogyanya dilakukan digedung DPRD atau Kantor Bupati, bukan dijalan raya yang menjadi fasilitas publik atau umum. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan pesta rakyat yang dilaksanakan pada malam hari dengan hiburan Orgen Tunggal (OT) sudah lama dilakukan oleh masyarakat sejak zaman dahulu. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pesta rakyat dengan hiburan OT telah menjadi kebudayaan lokal. Sehingga, sangat sulit untuk menghilangkan budaya tersebut atau kalaupun akan dihilangkan pasti akan membutuhkan waktu yang lama.

Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Geertz (1992:5) yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan.

Pendapat ini menekankan bahwa kebuadayaan adalah hasil karya manusia atau sekelompok manusia yang dapat mengembangkan sikap mereka dalam kehidupan sehari-hari dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Sehingga untuk menghilangkan atau menggantikan budaya yang baru tentu membutuhkan waktu yang cukup lama dan keseriusan masing-masing kelompok untuk berkomitmen merubah budaya tersebut. Mengingat secara faktual juga pesta rakyat yang dilakukan pada malam hari dengan hiburan OT seringkali justru banyak menibulkan mudharat ketimbang mendatangkan manfaatnya.

Partisipasi dan Masalah Penegakan Hukum

Produk hukum Peraturan Daerah (Perda) merupakan payung hukum yang menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk menjalankan atau mengatur tata kehidupan disuatu wilayah tertentu. Inisatif pembentukan peraturan daerah dapat berasal dari eksekutif (Pemerintah Daerah) atau juga dari legeslatif (DPRD) yang tentu saja merupakan representatif dari kepentingan rakyat.

Dalam proses penyusunannya, masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi memberikan masukan atau saran baik secara lisan maupun secara tertulis terhadap rencana penyusunanan perda tersebut. Hal itu mengacu pada Pasal 96 Ayat (1) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaiamana yang telah diubah menjadi UU 15/2019.

Penyampaian masukan/saran dari masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar-seminar dan FGD. Selain memberikan masukan dan saran, maksud dari partisipasi masyarakat dalam penyusunan perda ialah agar masyarakat memahami apasaja yang akan diatur dalam perda. Sehingga ketika perda disahkan maka masyarakat paham tentang hak dan kewajibannya. Karena ketika suatu perda disahkan dan sudah masuk dalam Lembaran Daerah, maka masyarakat dianggap tau hukumnya disitulah berlaku yang dinamakan fiksi hokum. Sehingga tidak ada pemakluman bagi orang yang melanggar aturan tersebut

Dalam konteks Perda Muratara 19/2017 tentang Pesta Rakyat, harusnya proses partisipasi masyarakat dalam penyusunan perda tersebut sudah terlaksana secara maksimal. Sehingga, masyarakat ataupun kelompok yang mempunyai kepentingan sudah mengetahui bahwa terdapat batasan waktu penyelenggaraan pesta takyat, sebagaiamana yang telah tertuang pada Pasal 8 sehingga dalam implementasi pelaksanaannya tidak adalagi protes atau bahkan tawar menawar terkait penerapannya. Selain itu juga sebenanrnya di Perda tersebut ada Bab tentang Perizinan dan Pengawasan. Sehingga secara normatif harusnya sejak perda tersebut disahkan sudah tidak ada lagi pesta rakyat yang dilakukan pada malam hari, namun fakta dilapangan masih saja tetap ada.

Menurut hemat penulis tentu saja hal tersebut tidak lepas dari kurang maksimalnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak yamg berwajib. Karena efektif atau tidaknya penegakkan hukum menurut Lawfrence M. Friedman tidak hanya pada subtansi hukum (subtance of law), budaya hukum (legal culture), namun juga dari struktur hukum (structure of law) yaitu para aparat penegak hukum atau juga instansi-instansi yang berwenang.

Revisi

Apalah arti norma-norma yang tertera dalam teks jika tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya dalam kehidupan masyarakat. Tentu hal tersebut menjadi problem tersendiri. Bisa jadi ada subtansi materi dalam Perda tersebut yang tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Sehingga tidak dapat dilaksanakan. Pro dan kontra dalam penerapan aturan adalah sebuah keniscayaan, yang terpenting dalam konteks ini adalah bagaiamana Pemerintah Daerah selaku pelaksana dan DPRD selaku mewakili rakyat dan seluruh stakeholder yang mempunyai kepentingan duduk bersama untuk mencari solusi terbaik.

Penerapan pembatasan waktu penyelenggaran pesta rakyat tidak hanya berdampak pada komunitas orgen tunggal saja. Namun, juga pada komunitas lainya, seperti wayang kulit dan kuda lumping yang biasanya juga digunakan untuk pesta rakyat yang dilaksanakan pada malam hari. Pertanyaannya apakah hiburan malam hari selain orgen tunggal tersebut juga seringkali menimbulkan kerusuhan atau bahkan merusak generasi muda di daerah?

Tentu saja tidak. Penerapan perda tersebut juga memberikan dampak atau kerugian kepada komunitas lainnya. Sehingga, menurut hemat penulis sudah selayaknya Perda tersebut untuk dilakukan perubahan. Pertama, penulis menyarankan agar ditambahkan klausa larangan alunan musik remix pada orgen tunggal dan lampu tidak boleh dimatikan.

Selain itu juga terkait pembatasan waktu penyelenggaraan pada malam hari perlu kiranya dibahas bersama seluruh steakholder yang berkepentingan. Agar terdapat kesepatakan jam maksimal berlakunya dan tidak ada diskriminasi pemberlakuan jam pesta rakyat antara masyarakat maupun dengan pemerintah daerah sendiri. Kedua, berkaitan dengan ketentuan sanksi pidananya. Menurut penulis agar memberikan efek jera kepada orang yang melanggar maka perlu kiranya untuk pidana kurungan dan dendanya ditambah lagi.

 

Penutup

Roscoe Pound sosiolog hukum pernah mengemukanan teorinya, yaitu hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat (law as a tool of sosial engineering). Yang artinya bahwa diharapkan hukum dapat berperan merubah nilai-nilai sosial maupun budaya yang ada dalam masyarakat. Nilai-nilai yang akan diwujudkan secara ideal tersebut tercantum dalam teks-teks yang ada dalam peraturan perundangan-undangan, misalnya saja melalui peraturan daerah yang dalam hal ini Pemerintah Daerah Muratara bersama DPRD membentuk produk hukum Perda 17/2019 tentang Pesta Rakyat.

Dengan maksud dan tujuan untuk mewujudkan keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat dan menyelamatkan generasi muda didaerah. Namun, disisi lain subtansi materi dalam perda tersebut juga tidak boleh merugikan pihak-pihak yang berkaitan. Sehingga, perlu kiranya untuk dilakukan perubahan. Agar produk hukum tersebut memberikan keadilan bagi semua dan tentu saja dapat mewujudkan tujaun visi dan misi pemimpin daerah saat ini. Selain itu juga, perlu kiranya untuk perbaikan sistem pendokumentasi produk hukum agar masayarakat luas dapat mengakses setiap produk hukum yang dibuat guna sebagai bahan pemahanan masyarakat luas.

Penulis, Nur Rohman, S.H

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia