PP 99/2012 Dibatalkan MA, Koruptor Semakin Mudah Dapat Remisi
Oleh: Nur Rahman, S.H
KilatNews.Co– Pelemahan agenda pemberantas korupsi, nampaknya belum berakhir. Sebelumnya publik sempat dibuat gaduh dengan adanya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang berdampak terhadap eksistensi dan indepedensi dari lembaga antirausah tersebut.
Tidak hanya itu, implikasi dari adanya revisi UU KPK juga mengubah status pegawai KPK menjadi Aparatus Sipil Negara (ASN). Konsekuensi logis berubah status pegawai KPK menjadi ASN, maka seluruh pegawai KPK diwajibkan untuk melakukan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menuai kontroversi.
Tak ayal, hasil dari TKW tersebut mengakibatkan 51 orang pegawai KPK tidak lolos dan di pecat oleh KPK, kendati dari 51 orang yang tidak lolos TWK memiliki integritas dan menjadi garda terdepan dalam membongkar kasus-kasus korupsi besar di Indonesia.
Seakan memasuki babak sempurna dari agenda yang sistematis dan struktural dalam upaya pelemahan pemberantasan korupsi. Pada tanggal 28 Oktober 2012 melalui putusan perkara nomor 28 P/HUM/2021 Mahkamah Agung RI mengabulkan permohonan uji materil yang di ajukan oleh Subowo dan empat rekannya, yakni warga binaan yang sedang menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Sukamiskin, Bandung.
Baca Juga: Laura Kovesi, Putri Keadilan Romania dan Putri Suap Indonesia
Adapun pasal yang di mohonkan oleh pemohon untuk diuji adalah Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan b, pasal 34 A ayat (3), dan pasal 43 A ayat (1) huruf (a), pasal 43A ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Yang pada intinya pasal-pasal tersebut mengatur soal pemberian remisi kepada narapidana kasus kejahatan luar biasa yang salah satunya adalah korupsi.
Para pemohon uji materil menilai bahwa pasal-pasal yang disebutkan diatas pada PP Nomor 99 Tahun 2012 merugikan pemohon dan bertentangan dengan UU di atasnya.
Inkonsistensi Mahkamah Agung RI Dalam Memutus Uji Materil
Ada empat pertimbangan hukum MA dalam memberikan putusan Nomor 28 P/HUM/2021, yaitu:
Pertama, menurut MA PP 99/2012 a quo harus sejalan dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice.
Kedua, bahwa hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali kepada narapidana. Kecuali, di cabut oleh pengadilan dan persyaratan pemberian remisi tidak boleh dilakukan secara diskriminatif.
Ketiga, pemberian remisi harus mempertimbangkan dampak kepadatan penghuni (overcrowded) di Lapas. Keempat, pemberian remisi adalah otoritas penuh dari LAPAS yang tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain. Padahal sebelum putusan ini, MA juga sudah pernah memutuskan uji materi terhadap aturan yang sama yaitu PP 99/2021.
Dalam putusan Nomor 51 P/HUM/2013 MA menyatakan bahwa perbedaan perlakuan (pemberian remisi) merupakan konsekuensi etis untuk memperlakukan secara adil sesuai dengan dampak kerusakan moral, sosial, ekonomi, keamanan, generasi muda, dan masa depan bangsa, dari kejahatan yang masing-masing di lakukan oleh narapidana.
Selain itu, masih di tahun yang sama, MA juga memutus putusan Nomor 56 P/HUM/2013 yang pada intinya MA juga menyatakan bahwa pengetatan pemberian remisi untuk narapidana yang melakukan tindak pidana kejahatan luar biasa, salah satunya adalah korupsi untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat karena kejahatan tersebut merupakan kejahatan luar biasa yang mengakibatkan kerugian besar bagi negara, masyarakat dan mengakibatkan korban yang banyak.
Dalam pertimbangan hukum lainnya mencabut PP 99/2012 a quo, MA menyatakan pemberian remisi harus mempertimbangkan dampak kepadatan penghuni overcrowded di lapas. Terkait hal itu, sebenarnya tidak dapat dibenarkan. Sebab, berdasarkan data dari sistem database pemasyarakatan per bulan maret tahun 2020, jumlah terpidana korupsi sebenarnya hanya 0.7 persen atau 1.906 orang.
Baca Juga: Kejaksaan Agung: Harus Jujur dan Transparan!
Angka diatas berbanding jauh sekali dengan total keseluruhan warga binaan yang mencapai 270.445 orang. Artinya bahwa permasalahannya bukan terletak pada peraturan persyaratan pemberian remisinya, namun pada regulasi dalam uu yaitu narkotika.
Dengan dikabulkannya permohonan pemohon terhadap PP 99/2012 a quo memperlihatkan bahwa MA tidak konsisten terhadap putusannya sendiri. Selain itu, MA justru memberikan kelonggaran bagi terpidana kejahatan luar biasa, dalam hal ini pelaku kejahatan tindak pidana korupsi bisa mendapatkan remisi, jelas ini tidak sejalan dengan agenda pemberantasan korupsi yang acap digaungkan oleh pemerintah selama ini.
Syarat Pengaturan Remisi Bukanlah Tindakan Diskriminasi
Perlu kita pahami secara bersama bahwa remisi adalah hak narapidana yang memang harus diberikan oleh negara. Namun hak narapidana bukan merupakan HAM. Karena hak remisi hanya melekat kepada setiap narapidana, sedangkan hak asasi melekat kepada manusia dari mulai lahir sampai meninggal, atau dengan kata lain eksistensi manusia itu sendiri.
Hal itu sudah di perjelas melalui Putusan MK Nomor 54/PUU/XV/2017 pada sub-paragraf (3.8.5) bahwa remisi merupakan hak hukum yang diberikan negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Artinya, remisi bukanlah hak yang tergolong dalam hak asasi manusia dan juga bukan termasuk golongan hak konstitusional sehingga dapat dilakukan pembatasan terhadapnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam konteks ini, PP 99/2012 a quo sebenarnya hanya memberikan perbedaan remisi bagi terpidana. Dan hal itu bukanlah tindakan diskriminasi. Sebagaimana pertimbangan dalam Putusan MK Nomor 41/PUU-XIX/2021 Paragraf [3.8.7] hlm 43 yang menyatakan bahwa suatu norma dikatakan mengandung materi muatan yang bersifat diskriminasi apabila norma undang-undang tersebut memuat rumusan yang membedakan perlakuan antara seseorang atau sekelompok dengan seseorang atau sekelompok orang lainnya didasarkan atas perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan HAM seseorang atau sekelompok orang.
Oleh karena itu, patut dipertanyakan pertimbangan hukum MA, yang salah satunya terkait dengan larangan diskriminasi dalam pemberian remisi bagi terpidana.
Dengan dicabutnya PP 99/2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan tersebut, maka terpidana kejahatan luar biasa saat ini tidak perlu lagi bekerja sama dengan APH (Justice Collaborator) untuk mengungkapkan kejahatan luar biasanya agar bisa mendapatkan remisi hukuman.
Selain itu, secara tidak langsung MA ingin menyamaratakan bahwa tindakan kejahatan luar biasa yang salah satunya adalah korupsi sama dengan tindak pidana umum lainnya, meskipun korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinarycrime) sebagamiana yang telah diatur dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, Inpres dan Perpres Tentang Pemberantasan Korupsi. Sehingga dalam proses penanganannya pun memerlukan cara-cara yang luar biasa.
Menurut hemat penulis pengaturan syarat pemberian remisi bagi terpidana kejahatan luar biasa, salah satunya pelaku korupsi harus di perketat kembali. Itupun dengan catatan jika pemerintah memang masih serius dan berkomitmen untuk agenda-agenda pemberantasan korupsi kedepannya.
Upaya itu dapat dilakukan dengan memasukkan syarat pemberian remisi bagi terpidana kejahatan luar biasa. Misalnya, melalui RUU KUHP atau RUU Permasyarakatan yang saat ini sedang dibahas oleh DPR RI bersama Presiden.
Selain itu, juga dapat dilakukan dengan cara mendorong pengetatan atau penghapusan remisi terhadap narapidana kejahatan luar biasa melalui putusan pengadilan.
Nur Rohman, S.H. Penulis adalah Ketua Bidang Jaringan dan Advokasi IMAMAH FH Universitas Islam Indonesia.