Peran Pengusaha Dalam Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah

Ilustrasi Pilkada//ist

Sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung menjadi landasan sebagaiĀ  perwujudan kedaulatan rakyat.

[mks_dropcap style=”letter” size=”52″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#000000″]S[/mks_dropcap]istem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung menjadi landasan sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, rakyat dapat menentukan sendiri pemimpin di daerahnya, sehingga terjalin hubungan yang erat antara kepala daerah dengan rakyat yang dapat mendorong terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan partisipatif.

Namun proses Pilkada secara langsung memerlukan anggaran yang tidak sedikit, mulai dari pembiayaan kampanye, atribut, akomodasi transportasi dan konsumsi sampai kepada persoalan koalisi memerlukan biaya yang banyak. Semua itu demi kepentingan merebut kursi kekuasaan. Banyaknya biaya yang diperlukan dalam proses pemilihan tersebut membuka peluang calon kepala daerah untuk mendapatkan bantuan dari pihak luar dalam proses pemilihan.

Saat ini setidaknya sudah ada dua aturan hukum yang mengatur pengelolaan dana kampanye. Dana kampanye sudah diatur jelas dalam UU No. 10 Tahun 2016 Pasal 74. UU tersebut mengatur siapa yang berhak menyumbangkan dana, batas sumbangan dana kampanye hingga mekanisme penyimpanan dana kampenye dalam rekening bank. Lalu ada PKPU Nomor 5 Tahun 2017 sebagai petunjuk pelaksanaan tentang dana kampanye pilkada. Peraturan KPU mengharuskan sumbangan dana kampanye dilengkapi dengan identitas lengkap penyumbang.

Polemik sumbangan bantuan dana atau sokongan terutama dari pengusaha kepada calon kepala daerah ini layaknya dapat dijelaskan dengan menggunakan teori rent seeking. Yang dimaksud praktek rent seeking itu sendiri adalah perilaku pejabat publik dan/atau politisi yang hanya melayani dirinya sendiri atau penguasaan-penguasaan sumber-sumber daya yang memikirkan kepentingan pribadi dengan cara mencari celah-celah kebijakan publik atau pengalokasian anggaran dalam proyek-proyek pemerintah demi kepentingan memperkaya diri sendiri atau menguntungkan sebagian kelompok tertentu dengan tujuan penguasaan secara ekonomi-politik.

Selanjutnya, rent seeking ini terjadi dalam kerjasama yang sinergis antara oknum pengusaha yang mempunyai modal dengan birokrat atau pejabat yang memiliki akses perizinan dan birokrasi, fasilitas wilayah dan proteksi dari pengusaha lain. Pengusaha memperoleh keuntungan berupa sumber daya murah, akses atas informasi yang mudah dan kebijakan yang berpihak pada pengusaha. Sementara pejabat memperoleh keuntungan dalam imbalan suap dan peluang untuk melakukan kolusi dan korupsi.

Kisah tentang pengusaha yang menerobos kekuasaan, baik karena kedekatan, kolusi, maupun peran ganda, sesungguhnya telah masuk dalam kajian ekonomi politik sejak dulu. Pembahasan ini pertama kali dilakukan oleh Anne Krueger pada tahun 1973, yang membuat makalah mandiri dari karya Gordon Tullock. Teori yang mengkaji masalah itu dikenal dengan sebutan teori perburuan rente ekonomi (“Theory of Economic Rent- seeking”). Teori tersebut menjelaskan fenomena perilaku pegusaha untuk mendapatkan lisensi khusus, monopoli dan fasilitas lainnya dari pihak yang berwenang, yang mempunyai kekuasaan atas bidang tersebut.

Jika dikaji lebih jauh peranan pengusaha yang menyokong kandidat pada pemilihan kepala daerah sangat merugikan rakyat sebab kepala daerah memiliki kewenangan membuat dan menentukan arah pembangunan suatu daerah dari peraturan yang dibuatnya tidak lagi murni demi kepentingan rakyat dan melahirkan hukum yang responsif melainkan sudah diwarnai dengan kepentingan pengusaha. Proses penyokongan ini tidaklah serta merta diberikan oleh pengusaha secara cuma-cuma melainkan akan adat timbal balik yang mengiringi dukungan tersebut dikemudian hari yang harus diberikan ke pengusaha setelah pilkada selesai dan kandidat yang disokong terpilih.

Pemberian jasa timbal balik ini bisa dalam bentuk fisik maupun non fisik, pemberian dalam bentuk fisik bisa saja diberikan dalam bentuk uang dan benda berharga lainnya. Dan dalam bentuk non fisik bisa berbentuk kebijakan atau kebijaksanaan dalam wewenang selaku kepala daerah. Pemberian timbal balik oleh kepala daerah ke pengusaha penyokong dalam bentuk regulasi atau peraturan daerah yang syarat dengan kepentingan pengusaha akan melahirkan regulasi yang tidak otonom dan responsif melainkan akan melahirkan kebijakan yang konservatif atau ortodoks yaitu kebijakan yang karakternya lebih mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan yang dominan, sehingga proses pembuatanya tidak mengundang anspirasi masyarakat maupun partisipasi masyarakat.

Di dalam produk hukum yang seperti ini biasanya hukum hanya berfungsi sebagai sifat positivitas instrumentalis dan hanya sebagai alat bagi pelaksanaan ideologi/program penguasa.

Penulis, Dede Anggara Saputra
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia