Nasihat-Nasihat Agama dalam Naskah Qashidah Burdah Karya Imam Syarafuddin Al-Bushiri

Nasihat-Nasihat Agama dalam Naskah "Qashidah Burdah" Karya Imam Syarafuddin Al-Bushiri
Nasihat-Nasihat Agama dalam Naskah "Qashidah Burdah" Karya Imam Syarafuddin Al-Bushiri. (Foto: Naskah digital Qashidah Burdah Perpusnas RI)

Kilatnews.co Keragaman budaya suatu bangsa tak bisa lepas dari jalan panjang sejarah, ilmu, dan pemikiran yang dituangkan di dalam sebuah tulisan oleh para leluhur terdahulu.

Pelbagai macam tulisan tersebut sudah banyak ditemukan pada naskah-naskah kuno yang tersebar di Indonesia maupun di seluruh belahan dunia. Tak sedikit dari para leluhur kita yang menuliskan ilmu atau karyanya pada media daun siwalan (lontar), daluang, dan media tradisional lainnya.

Hal tersebutlah yang membuat penulis tertarik untuk menelisik dan mengulas secara singkat naskah Qashidah Burdah karya Imam Syarafuddin Al-Bushiri, dalam kajian filologi.

Achadiati Ikram (2019: 41), kata filologi yang berarti “cinta ilmu dan sastra” sebenarnya mengandung makna yang sangat luas. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, makna istilah tersebut menyusut menjadi studi tentang sastra dan dipersempit lagi menjadi studi tentang sastra dalam naskah lama.

Penulis berharap dengan mempelajari naskah-naskah kuno, kita bisa mengambil pengetahuan yang mungkin penting dan sekaligus menambah wawasan kita tentang dunia sastra, khususnya naskah lama.

Imam Al-Bushiri merupakan ulama muslim sufi dari Mesir. Qashidah Burdah sendiri telah ditulis pada abad ke 13 Masehi, yakni pada masa transisi perpindahan kekuasaan Dinasti Ayyubiyah ke Dinasti Mamluk.

Qashidah Burdah merupakan salah satu cara mengungkapkan kecintaan muslim terhadap utusan Allah Swt., Muhammad Saw. yang dilakukan dengan cara melantunkan puisi kepada Rasulullah Saw.

Latar belakang Imam Al-Bushiri menciptakan Qashidah Burdah ini adalah ketika beliau mengidap penyakit yang tak kunjung sembuh. Pada akhirnya beliau bertawassul dan memohon kepada Allah Swt. sembari membaca Qashidah Burdah lalu tertidur.

Dalam tidurnya beliau bermimpi bertemu nabi Muhammad saw. yang mengusap tubuh Imam Al-Bushiri dan memberinya Burdah (semacam kain).

Setelah ia bangun, penyakitnya selama ini akhirnya sembuh, dan terciptalah Qashidah Burdah yang terdiri dari 160 bait dan terbagi menjadi 10 pasal.

Namun, pada tulisan ini penulis tidak akan membahas mengenai pujian-pujian kepada nabi Muhammad saw., melainkan akan membahas dari perspektif yang berbeda, yaitu nasihat agama yang tertuang dalam Qashidah Burdah, sebagai berikut:

Berlomba Melawan Hawa Nafsu

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “hawa nafsu” merupakan desakan hati dan keinginan keras (untuk menurutkan hati, melepaskan marah dan sebagainya). Allah menciptakan manusia dengan sempurna di antara para makhluk-Nya yang lain, yaitu manusia diciptakan dan diberi anugerah berupa akal dan hawa nafsu. Dengan akal, manusia dapat mengetahui hal yang baik maupun buruk.

Dalam Qashidah Burdah dijelaskan dalam pasal 2 bait 18; “Dan nafsu itu bagaikan anak-anak yang jika ia dibiarkan, akan tumbuh dengan kegemaran menyusu. Dan jika ia kau sapih, ia akan berhenti dari kebiasaan menyusunya itu.” Hal tersebut dapat dimaknai bahwa sejatinya hawa nafsu itu bisa dikendalikan. Hawa nafsu akan menjadi berbahaya jika ia dibiarkan, karena akan menjadi semakin liar yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.

Baca Juga: Kajian Tauhid dan Sirahnabawiyah dalam Naskah Nadzom Aqidatulawam

Efek bahaya hawa nafsu kemudian dijelaskan pada bait berikutnya, yaitu bait ke 19; “Maka tinggalkanlah keinginan (nafsu) dan berhati-hatilah akan penguasaannya. Sesungguhnya hawa nafsu yang berkuasa akan menulikan atau membutakan.” Banyak orang yang telah terjerumus terlalu dalam kar na mengikuti hawa nafsu yang berakhir pada perbuatan kejahatan, asusila, dan bahkan menghilangkan nyawa manusia.

Maka benarlah hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Orang kuat bukanlah orang yang sering menang dalam berkelahi, akan tetapi orang kuat yang mampu mengendalikan hawa nafsunya ketika marah.” (HR. Abu Hurairah dengan derajat Muttafaq ‘alaih).

Amal Baik untuk Persiapan Bekal Kematian

Pada hakikatnya kita hidup di dunia memiliki tujuan untuk beribadah kepada Allah Swt. karena setelah menjalani kehidupan ini, kita juga akan mengalami kematian. Banyak orang yang beranggapan bahwa dirinya masih muda, sehat, dan kuat sehingga menunda-nunda untuk berbuat baik.

Terkadang anggapan itu tidak sepenuhnya benar, banyak orang yang meninggal dunia dalam keadaan muda dan sehat. Syarat kematian tidak ditentukan oleh usia, kesehatan, dan kekuatan. Semuanya sudah ditentukan oleh Allah Swt. dan tidak akan berubah sedikit pun.

Allah berfirman yang berbunyi; “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran : 185).

Berdasarkan ayat di atas, sudah jelas bahwa kita semua akan mengalami kematian. Oleh sebab itu sudah seharusnya kita menyiapkan bekal untuk menghadap Allah Swt.

Baca Juga: Memaknai Puisi “Tangan Waktu” Karya Sapardi Djoko Damono

Dalam Qashidah Burdah pasal 2 bait 27 yang berbunyi; “Aku menyuruhmu melakukan kebaikan namun aku sendiri tidak melakukannya. Dan aku sendiri tidak tetap pendirian (istiqomah), maka tidaklah perkataanku kepadamu dapat dipegang.” Dan bait 28 berbunyi; “Dan aku juga tidak membekali diriku, sebelum datangnya kematian, dengan amalan-amalan tambahan. Dan aku tidak salat maupun puasa kecuali hanya yang diwajibkan saja.” Dari bait tersebut dapat kita maknai bahwa seyogyanya kita harus mempersiapkan bekal kematian dengan amal baik yang istiqomah.

Memuliakan Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan kitap suci umat Islam di seluruh dunia. Di dalamnya terdapat hikmah bagi orang-orang yang membaca dan mengamalkannya. Kelak Al-Qur’an akan datang pada hari pembalasan dan memberi syafaat bagi orang yang sering mendawamkan untuk membacanya.

Dalam Qashidah Burdah bab 6 bait ke 93 berbunyi; “(Al-Qur’an) tetap bersama kita, maka (Al-Qur’an) melebihi semua mukjizat dari nabi-nabi yang ketika (mukjizat itu) datang tidak pernah bertahan lama.” Dari bait tersebut sudah jelas kebesaran dan kemuliaan Al-Qur’an. Bahkan kemurnian Al-Qur’an telah dijamin dan dijaga sendiri oleh Allah Swt.

Sebagai mukjizat nabi Muhammad saw. Al-Qur’an terus bertahan sampai saat ini dengan segala keagungannya. Al-Qur’an terus relevan dengan perkembangan zaman dan tidak pernah terbantahkan isi kandungannya.

Oleh karena itu sangatlah merugi jika kita jarang untuk membaca atau mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Harapan itu Bernama Doa

Sebagai manusia biasa, kita pasti tidak luput dari dosa dan kesalahan. Dosa-dosa tersebut yang kita anggap kecil, jika terlalu lama pada akhirnya akan menumpuk dan menjadi besar.

Sebaik-baiknya manusia adalah ketika sudah menyadari kesalahannya, maka harus segera memperbaiki diri dan bertaubat. Terkadang terbersit di pikiran kita akan dosa-dosa besar yang membuat kita ragu apakah akan diampuni oleh Allah Swt.

Imam Al-Bushiri dalam Qashidah Burdah, pasal 10 bait 155 yang memberikan penjelasan yang berbunyi; “Wahai jiwa, janganlah berputus asa karena dosa-dosa yang terlampau banyak. Sesungguhnya dosa-dosa besar itu di dalam ampunan-Nya bagaikan dosa-dosa kecil.”

Oleh karenanya, kita harus terus memperbaiki diri dan berdoa memohon ampun kepada Allah Swt. dan jangan pernah bosan atau bahkan ragu sedikit pun, sehingga kita menjadi hamba-Nya yang bertaqwa.

Itulah Nasihat-Nasihat Agama dalam Naskah Qashidah Burdah Karya Imam Syarafuddin Al-Bushiri. Semoga artikel ini bermanfaat.

Abdullah Bimo Prakoso Putro. Penulis adalah Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta