Penulis: Pudja Pramana Kusuma Adi, S.H.,M.H.
(Ketua Bagian Hukum Tata-Negara Fakultas Hukum Universitas Janabadra)
Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo (1913-1988) adalah mantan Rektor Universitas Janabadra yang terus menerus mengikuti perkembangan universitas itu sejak lahirnya pada 7 Oktober 1958.
Sebelum Universitas Janabadra dilahirkan, beliau–yang saat itu menjabat Wali Kota Yogyakarta dan juga duduk sebagai Anggota Konstituante dari fraksi Partai Nasional Indonesia–bersama dengan Dr. Muchasim Hadiprabowo (Ketua Dewan Daerah Partai Nasional Indonesia Yogyakarta), Mr. Bambang Soebekti (hakim pada Pengadilan Negeri) dan Ali Alboneh (dari Universitas Sawerigading) mengambil inisiatif mendirikan sebuah Yayasan Perguruan Tinggi.
Berempat, mereka akhirnya mengambil keputusan untuk mengundang beberapa orang untuk menghadiri rapat pendirian Yayasan Perguruan Tinggi, pada tanggal 6 Oktober 1958 jam 20.00.
Pada tanggal 7 Oktober 1958 jam 00.30 diambil keputusan-keputusan tentang pendirian Yayasan Perguruan Tinggi Janabadra yang berazaskan Pancasila. Ada 22 orang yang menghadiri rapat tersebut–termasuk Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo–dan kemudian tercatat sebagai Pendiri Yayasan Perguruan Tinggi Janabadra dalam Akte Yayasan Perguruan Tinggi Janabadra No. 30, tanggal 26 September 1959 (Akte Notaris R.M. Wiranto).
Adapun nama Janabadra diberikan atas usul salah seorang pendiri, Prof. Drs. Soetedjo Brodjonegoro. Para pendiri YPTJ yang terdiri dari 22 orang tokoh di bidang hukum, sosial, politik, pendidikan dll. Itu kemudian membentuk pengurus YPTJ yang diketuai oleh Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo.
Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo juga dikenal sebagai sosok manusia pejuang sejati yang pernah menjadi Ketua Angkatan Muda Yogyakarta, Anggota Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta, Wali Kota Yogyakarta, anggota Konstituante dari Fraksi Partai Nasional Indonesia dan masih banyak lagi amanah yang telah dipercayakan kepadanya. Dengan kerja keras sepenuh hati, keihklasan, kejujuran dan rasa tanggung jawab, beliau mengemban dan menunaikan berbagai macam tugas yang maha berat di Republik Indonesia ini.
Tanggal 29 Februari 1988 di pagi hari, Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo berpidato dalam rangka peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Tegalrejo, Yogyakarta. Siang harinya, beliau bekerja di kantornya di Jalan K.H.A. Dahlan, Yogyakarta. Sehabis jam kerja, beliau kemudian pulang ke rumahnya, beristirahat sejenak dan kemudian wafat.
Beliau meninggalkan istrinya, Ibu Soekatirah dan delapan anak-anak hasil perkawinan mereka, yaitu: Drs. Herbudiman, Ny. Heryudarini Wardojokoesoemo, Ny. Herkadarsini Soeharto Prawirokoesoemo, Hersudarmawan, Drs. Herdaru Purnawarman, Herpurnodaru Murtini, Drs. Herdaru Purnomo, dan Drs. Herwidijatmo, Ak.
Pada hari duka itu, bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Untuk mengenangkan genap 100 tahun Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo (22 Oktober 1913 – 22 Oktober 2013), melalui buku ini dicoba untuk memberikan tinjauan sepintas lalu mengenai perjuangan beliau semasa hayatnya.
PEMUDA SOEDARISMAN
Soedarisman muda adalah orang aktif dalam organisasi perjuangan. Menginjak umur 15 tahun beliau sudah menjadi anggota Jong Java dan pada umur 17 tahun menjadi anggota Indonesia Muda.
Jiwa kepemimpinan dalam berorganisasi, minat serta bakatnya–teristimewa dalam tulis menulis dan pemberitaan pers–segera terlihat. Dalam usianya yang ke-20, beliau menjadi Ketua Sangkara Muda dan Pemimpin Redaksi Majalah “Ngayogyokarto” dan pernah pers-delict. Kemampuannya kian terasah saat menjadi Pembantu tetap dan redaktur vertegenwoordinger Harian Sedyo-Tomo di Batavia dan membantu penerbitan beberapa harian dan majalah lain (1936).
Berbekal latar belakang di muka serta pendidikan cukup baik (beliau memperoleh ijazah dari HIS, MULO dan AMS B yang semuanya di Yogyakarta), dukungan dari Keraton Yogyakarta dan Prof. J.H.A. Logemann, Soedarisman muda melanjutkan pendidikan ke Batavia di Rechtshoogeschool (RHS) dan pada 1938 menjadi anggota Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI) yang merupakan wadah bagi pemuda pelajar nasionalis.
PPPI itu sendiri sudah dikenal sebagai organisasi berdasarkan kebangsaan Indonesia yang mengambil inisiatif diadakannya Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Karena Soedarisman belajar di RHS, maka di PPPI itu beliau ditugaskan sebagai pengurus Konsultasi Biro Hukum.
Sebagai pemuda pelajar Indonesia yang berasal dari Yogyakarta dan menaruh minat pada pelajaran Hukum Negara (Staatsrecht), Soedarisman lantas menyusun skripsi tentang Kontrak Politik – yang pada dasarnya merupakan studi konstitusi–di daerah khusus yang bernama Kasultanan Yogyakarta. Bahan-bahan hukum berupa Kontrak Politik di daerah khusus yang bernama Kasultanan Yogyakarta secara yuridis belum pernah ditulis sebelumnya.
Dengan demikian, Soedarisman Hardjodipoero–demikianlah namanya yang tercantum dalam skripsi–sesungguhnya menjadi pelopor dalam pelajaran dan penelitian ini sehingga rasanya bisa dipahami mengapa Profesor Mr. Dr. K.L.J. Enthoven dan Profesor Mr. Dr. Raden Soepomo memberikan pujian tertulis dan bersedia memberikan rekomendasi penempatan-penempatan dalam jabatan-jabatan dan karir yang terhormat. Hanya berselang enam hari sejak Profesor Enthoven memberikan rekomendasinya, Belanda menyerah kepada Jepang.
Pada zaman Jepang, Mr. Soedarisman Hardjodipoero memulai karirnya menjadi Pegawai Tinggi Balai Penerangan Umum Gunsei-Kanbu di Jakarta – antara lain bersama dengan Mr. Asaat dan Mr. Wilopo – kemudian menjadi Pegawai Tinggi Zai Mu Bu (Departemen Keuangan) Jakarta sebagai Kepala Bagian Umum dan Urusan Pegawai.
Pada 1943 beliau sempat menjadi anggota Komisi Bahasa Indonesia di bawah pimpinan Bung Hatta di Jakarta. Tak lama kemudian, beliau kembali ke Yogyakarta dan pada 1944 menjadi Pemimpin Latihan Kucho, Azachoo, Fucu-Soncho dan Yogyakarta Koo-ci (Kasultanan Yogyakarta). Setahun kemudian Mr. Soedarisman Hardjodipoero menjadi Kepala Bagian Penerangan dari Paniradyo Racana Pencarwara (Jawatan Penerangan dan Propaganda) dan pada April 1945 memperoleh kalenggahan Bupati Anom dengan gelar Kangjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) serta memperoleh nama Poerwokoesoemo.
Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo menghadiri Kongres Angkatan Muda di Bandung (Mei 1945) dan oleh Kongres dipilih sebagai anggota delegasi untuk menyampaikan keputusan Kongres kepada Bung Karno dan Pemerintah Jepang. Mengenai apa yang dicetuskan dalam Kongres tadi, Mr. Ahmad Soebardjo Djojoadisoerjo dalam otobiografinya Kesadaran Nasional menyatakan sebagai berikut (MCMLXXVIII: 272):
Kongres Bandung di Vila Isola mencetuskan dua resolusi:
Pertama, golongan-golongan Indonesia harus bersatu-padu dan tersentralisir di bawah satu kepemimpinan, dan kedua, kemerdekaan Indonesia harus terwujud secepat mungkin.
Nyatalah bahwa kedua resolusi ini adalah cetusan perasaan yang riil dan keluar dari ketulusan hati yang utuh untuk mewujudkan kebutuhan yang menyala-nyala akan kemerdekaan, serta menciptakan gerakan pendorong untuk bertindak ke arah kepentingan tujuan tersebut.
Setelah pulang ke Yogyakarta, Mr. Soedarisman dan Soebani, keduanya dari Angkatan Muda, membentangkan semua kesan dari Bandung itu dan disambut dengan gembira oleh hadirin di Yogyakarta sebagaimana diberitakan di Asia Raya, tanggal 29 Juni 1945 berkepala Siap berdjoeang menuntut Kemerdekaan.
Pada Juni 1945 itu pula Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo terpilih sebagai Ketua Angkatan Muda Yogyakarta dan sebagai leader, beliau mengambil inisiatif untuk menyebarluaskan resolusi yang dicetuskan dalam Kongres Angkatan Muda itu dalam sebuah tulisan berjudul Angkatan Moeda dan Kemerdekaan dan dikirimkannya ke Soeara Asia yang berbasis di Kota Surabaya. Harian itu memuatnya di halaman satu pada 3 Juli 1945, yang antara lain berisi pernyataannya yang progresif-optimistik-revolusioner sebagai berikut:
Angkatan Moeda menghendaki Indonesia merdeka selekas- lekasnja, oleh karena mereka jakin, bahwa itoelah jang djadi satoe- satoenja koentji soember semangat perdjoeangan, semangat berkorban dari bangsa Indonesia oentoek mempertahankan tanah airnja, oentoek menentang dan melawan pendjadjahan dari bangsa lain. Djika bangsa Indonesia telah merdeka, dengan sendirinja ia akan serentak madjoe, mengerahkan tenaganja, menjerahkan djiwa-raganja oentoek pembelaan tanah airnja, oleh karena ia insjaf, bahwa segala sesoeatoe itoe oentoek kepentingan negerinja. Tidak oesah diminta dan dipaksa, bangsa Indonesia dengan sendirinja setiap saat akan siap-sedia oentoek memberikan korban sebesar-besarnja oentoek menentang dan melawan tiap serangan jang hendak merampas kemerdekaan jang soedah dimiliki itoe.
Melalui tulisan ini siapapun bisa mengetahui bahwa hasrat Indonesia merdeka selekas-lekasnya adalah nyata telah timbul beberapa bulan sebelum Negara Republik Indonesia diproklamasikan. Kata-kata Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo itu terbukti setelah bangsa Indonesia merdeka. Namun karena kerendahan hatinya, beliau tidak pernah menunjukkan Angkatan Moeda dan Kemerdekaan sebagai alat perjuangan beliau untuk menentang dan melawan bangsa penjajah.
Di masa sekarang tulisan itu merupakan dokumen sejarah yang mengandung visi yang sangat jelas dari penulisnya mengenai tuntutan kemerdekaan yang telah nyata pada bangsa Indonesia dan juga dalam permusyawaratan Angkatan Muda, mengenai kesiapan Angkatan Muda untuk membantu mewujudkan persatuan, serta kesediaan Angkatan Muda membantu pemimpin-pemimpin bangsa untuk membangunkan negara Indonesia merdeka.
Pada 9 Juli 1945 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo bersama- sama Soebroto, Soeprapti (dari Angkatan Muda), dan Benjamin, mengobarkan semangat perjuangan pemuda-pemudi di lapangan S.M.T. Yogyakarta yang dihadiri lebih dari tiga ribu pemuda dan pemudi yang tergabung dalam Gakutotai. Peristiwa ini diberitakan di Soeara Asia, 11 Juli 1945 berkepala Pemoeda sanggoep mendjadi Sendjata Bangsa.
Sejak tanggal 22 Agustus 1945 dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) baik di Pusat maupun di Daerah-daerah. KNI harus meliputi semua golongan, lapisan dan aliran yang tugasnya untuk menggerakkan rakyat untuk mengisi Proklamasi Kemerdekaan, artinya untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang dan mempertahankan kekuasaan itu terhadap penjajah Belanda. Atas usaha Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang pada saat itu berhasil mendamaikan pihak Hokokai dan Angkatan Muda, pada akhir bulan Agustus 1945 akhirnya dapat dibentuk KNI Daerah Yogyakarta yang susunannya memuaskan bagi kedua belah pihak. Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo menjadi salah seorang anggota dalam Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta itu.
Berbekal restu dari Sri Sultan – yang jelas memihak kepada Republik Indonesia dan yang mempunyai kharisma yang besar sekali di Yogyakarta – KNI Daerah Yogyakarta berhasil menjalankan tugas menggerakkan rakyat untuk merebut kekuasaan Jepang. Dari tanggal 6 September 1945 sampai tanggal 26 September 1945 dapat dilakukan perebutan kekuasaan oleh rakyat di bawah pimpinan KNI Daerah Yogyakarta. Semua jawatan dan perusahaan-perusahaan Jepang bisa direbut oleh rakyat dan diduduki oleh rakyat. Pimpinannya diambil oper oleh Bangsa Indonesia dan bendera Jepang diturunkan dari gedung- gedung yang dipergunakan oleh jawatan-jawatan dan perusahaan- perusahaan Jepang itu dan kemudian dikibarkan Bendera Sang Merah Putih di gedung-gedung tersebut.
Pada 27 September 1945 dapat diterbitkan surat kabar pertama di persada Bumi Nusantara yang merdeka dan berdaulat. Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo-lah yang memberi nama surat kabar itu, ialah Kedaulatan Rakjat namun beliau tidak pernah mau mengaku langsung. Asrar mengatakan (dalam Pamuji, Suryanta, Budi Sanyata, dan V. Agus Sulistya [Tim Penyusun], 1998:58):
Kedaulatan Rakyat itu dari kerendahan hati Pak Poerwokoesoemo, lalu tidak mau mengaku langsung. Itu memang betul, hasil daripada omong-omong yang menemukan nama itu adalah Saudara Sumantoro. Dan oleh karena Bapak Poerwokoesoemo ada, adalah Kepala Bagian Penerangan, maka Saudara Poerwokoesoemo yang lalu mengijinkan atas nama Pemerintah Kasultanan dan Pemerintah KNI, benar.
Pada 5 Oktober 1945 Gedung Negara dapat direbut oleh rakyat dibawah pimpinan KNI Daerah Yogyakarta dan sejak itu Gedung Negara menjadi markas KNI Daerah Yogyakarta. Sehari kemudian rakyat digerakkan oleh Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk mengepung markas Jepang Kido Butai di Kotabaru. Pengepungan yang terjadi semalam suntuk itu diselingi dengan pertempuran. Pada 7 Oktober 1945 jam 10.30 markas Jepang Kido Butai menyerah, kemudian juga markas Jepang di Badug Meguwo menyerah kepada rakyat dibawah pimpinan BKR. Dengan demikian, sejak 7 Oktober 1945 semua kekuasaan penjajah di Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia dapat dienyahkan.
Di daerah-daerah sekitar Yogyakarta – seperti Semarang dan Surakarta – kekuasaan Jepang masih bercokol. Jepang bermaksud menyerahkan kekuasaannya tidak kepada bangsa Indonesia melainkan kepada Sekutu dan Sekutu akan menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda. KNI Daerah Yogyakarta dan BKR lantas mengadakan perjalanan keliling di daerah-daerah sekitar Yogyakarta dan mengajak rakyat agar berani merebut kekuasaan Jepang seperti yang terjadi di Yogyakarta. Ajakan tersebut membuahkan hasil, diantaranya adalah peristiwa pertempuran di Semarang pada akhir Oktober 1945.
Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo dengan konsisten melanjutkan usaha mengobarkan semangat proklamasi kemerdekaan dan perjuangan bangsa dan melalui tulisan-tulisannya. Tepat pada 1 Maret 1946 terbitlah Daerah-Istimewa Djogjakarta Selama Setengah-Tahoen Dalam Negara Repoeblik Indonesia yang dimuat dalam penerbitan resmi Pemerintah yaitu Berita Repoeblik Indonesia, Tahun II No. 8.
Tulisan ini memuat tinjauan yuridis-historis mengenai pemerintahan serta bagaimanakah keadaan Kesultanan Yogyakarta dan Praja Paku-Alaman dalam alam kemerdekaan, sekaligus sebagai petunjuk lahirnya istilah atau sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang sampai sekarang ini sudah memasyarakat.
Dalam karya itu Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo sebagai Pemimpin Badan Penerangan Daerah Istimewa Yogyakarta jelas sudah mempelopori penggunaan istilah atau sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta dan menerangkan konsepnya dalam alur sejarah hukum dan perjuangan rakyat. Karena kerendahan hatinya, Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo tidak pernah menunjukkan karya beliau sendiri ini kepada orang lain, sehingga banyak orang mengira bahwa istilah atau sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta baru ada setelah dikeluarkannya Maklumat No. 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakjat Di Daerah Istimewa Jogjakarta (Kasultanan dan Pakualaman) tanggal 18 Mei 1946.
Sampai dengan awal tahun 1947, ada rakyat Indonesia dalam daerah Republik dan ada pula yang masih berada di bawah kekuasaan de facto Belanda di luar Jawa Madura dan Sumatera. Meskipun demikian, kebutuhan masyarakat untuk memahami Undang-Undang Dasar telah mendesak sedangkan peninjauan tentang isi dan praktik UUD belum pernah dilakukan orang sebelumnya.
Pada sisi lain pihak reaksioner Belanda dalam bulan Februari 1947 justru melontarkan tuduhan-tuduhan yang kemudian diberitakan dalam surat kabar Kedaulatan Rakjat. Tuduhan awal mereka yaitu kemerdekaan Indonesia adalah hasil usaha Jepang, kemudian disusul dengan tuduhan kedua mereka yaitu Republik Indonesia dalam tingkatan belum punya Undang-Undang Dasar. Maksud Belanda mudah dimengerti: Indonesia harus dihancurkan sama halnya dengan Jepang dan harus diberi stigma inkonstitusional.
Dengan latar belakang itulah Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo menuangkan visi serta misinya yang dituangkan dalam puisi Pegangan Hidoep. Kemudian beliau menulis sebuah tinjauan secara pengetahuan- populer dan diterbitkannya dalam buku yang diberi judul Tafsir Oendang2 Dasar Negara Republik Indonesia (1947).
Buku itu sekaligus merupakan alat perjuangan Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo yang berisi pembelaan-pembelaan yuridis terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau cepat menanggapi tuduhan-tuduhan keliru yang menyesatkan dari pihak Belanda dan mengkritisinya secara bertanggung jawab berdasarkan keahliannya di bidang Hukum Negara.
MR. Soedarisman Poewokoesoemo Sebagai Birokrat
Pada 21 Juli 1947 terjadilah Clash I. Kabinet segera bersidang pada sore hari untuk menentukan langkah-langkah lebih lanjut menghadapi agresi Belanda ini. Beberapa putusan diambil antara lain menetapkan bahwa Presiden supaya pindah ke Gunung Wilis dengan disertai beberapa menteri, termasuk Menteri Pekerjaan Umum merangkap Wali Kota Yogyakarta, Moh. Enoch. Dengan demikian, maka jabatan Wali Kota dalam suatu kota yang sedang memikul beban sebagai Ibu Kota Negara dalam perjuangan, menjadi lowong.
Kabinet menyerahkan pencalonan jabatan Wali Kota tersebut kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang duduk sebagai Menteri Negara dan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri Paduka Sultan mengajukan kandidat Wali Kota ialah Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo yang pada waktu itu menjabat Sekretaris Dewan Pertahanan Daerah merangkap Kepala Jawatan Penerangan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sidang Kabinet berlangsung sampai jam empat pagi dan akhirnya pencalonan itu disetujui oleh Kabinet.
Pada 22 Juli 1947 Sri Sultan memanggil beliau di Gedung Wilis, Kepatihan dan menyampaikan Keputusan Presiden, keputusan mana mengangkat Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo menjadi Wali Kota Haminte Kota Yogyakarta. Sri Sultan sempat menyampaikan pesan pribadi kepadanya sebagai berikut: “Als puntje bij paaltje komt, laat alles aan mij over”.
Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo menafsirkan pesan pribadi Sri Sultan itu dengan menghubungkannya dengan situasi, jika sewaktu- waktu tentara penjajah Belanda menduduki Kota Yogyakarta. Beliau menafsirkannya sebagai berikut: “Jika sewaktu-waktu tentara penjajah
Belanda menduduki Kota Yogyakarta, maka beliau tidak boleh mengambil keputusan sendiri, melainkan segala-galanya harus beliau serahkan sepenuhnya kepada Sri Sultan.” Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo memegang teguh pesan Sri Sultan tersebut, juga pada waktu terjadi Clash II (19 Desember 1948-29 Juni 1949). Di masa itu juga ada istruksi umum yang berlaku bagi tiap-tiap Kepala Daerah yang berbunyi:
- Kepala Daerah tidak boleh meninggalkan
- Jangan sampai Kepala Daerah dapat ditangkap oleh
- Kepala Daerah jangan menyerah kepada
Sejak 19 Desember 1948 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo menjalankan tugasnya di bawah persembunyian di Kepatihan, Yogyakarta, sementara isteri dan anak-anaknya tetap berada di rumah kediaman mereka di Purwokinanti. Sebagai bagian dari penyamaran, beliau sengaja tidak menyukur kumis dan jenggotnya agar tidak mudah dikenali orang.
Pada 21 Februari 1949, bertempat di kantor Sekretariat Dewan Pertahanan Daerah di Kepatihan, diadakan rapat rahasia tentang persiapan rencana Serangan Umum terhadap tentara penjajah yang akan dilakukan pada siang hari bolong, yang hari D-nya masih dirahasiakan. Rapat itu dihadiri oleh wakil Pemerintah Kotapraja, wakil Gabungan Rukun Kampung, dan wakil dari Dewan Pimpinan Pemuda Daerah dan dipimpin oleh Komandan Sub Wehr Kreiss (SWK 101) Letnan I Marsoedi.
Pada keesokan harinya jam 5.30 di luar dugaan pasukan Belanda mendatangi Kepatihan dan hendak mencari bukti-bukti pembicaraan rahasia tadi. Rencana Serangan Umum itu ternyata bocor tanpa diketahui sebabnya. Mereka mencoba memasuki ruangan kantor tetapi dihadapi oleh Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo yang dengan tenang mengaku sebagai tukang jaga di sana bersama keluarganya. Kebetulan Ny. Soedarisman Poerwokoesoemo dan putera-putrinya sudah menyusul ke Kepatihan. Tentara Belanda tidak tahu bahwa orang yang mereka hadapi adalah seorang Wali Kota. Pasukan Belanda lantas mengobrak-abrik semua ruangan kantor, namun tidak menemukan apa yang dicarinya. Mereka melampiaskan kemarahannya dengan mengambil surat-surat penting termasuk skripsi Sri Sultan, lantas pergi meninggalkan Kepatihan dengan penuh kekecewaan. Sesungguhnya dokumen penting yang dicari pasukan Belanda itu disembunyikan di bawah kaki meja tulis, seolah-olah dipakai untuk mengganjalnya.
Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo mengatakan (Oktober 1984:6):
Rencana Serangan Umum 1 Maret yang telah ditulis di atas kertas, ternyata tidak dapat diketemukan oleh tentara penjajah Belanda. Sebab sebelum tentara penjajah Belanda masuk ke dalam, kertas itu telah dilipat oleh Staf kami dan kemudian dijadikan ganjel dari salah satu meja tulis yang banyak terdapat di tempat itu. Kalau, sekali lagi kalau seandainya kertas itu dapat diketemukan oleh tentara penjajah Belanda, mungkin sekarang saya tidak hidup lagi dan Serangan Umum 1 Maret pasti akan gagal.
Serangan Umum dilaksanakan pada hari Selasa Pon, 1 Maret 1949. Ternyata tentara Republik bersama-sama Rakyat di siang hari bolong berhasil menduduki Ibu Kota Republik Indonesia Yogyakarta selama enam jam. Serangan Umum itu membuka mata dunia dan dunia kemudian melihat kesanggupan tentara Republik dan Rakyat berjuang melawan tentara penjajah Belanda.
Djenal Hoesein Koesoemahatmadja dalam bukunya Fungsi Dan Struktur Pamongpraja antara lain menerangkan demikian (1978:vii):
Setelah Indonesia diakui kemerdekaannya jasa pamongpraja bukan saja kurang dihargai, bahkan jabatan pamongpraja itu akan dihapuskan karena dianggap bekas alat kolonial dan tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan. Tidak heranlah, apabila sejak tahun 1950 sebagian besar dari tenaga-tenaga terdidik dari Mosvia, Bestuuracademie dsb. pindah ke pelbagai lapangan, misalnya kepolisian, kejaksaan, ketentaraan, perguruan dan sebagainya.
Pada masa itu telah timbul keresahan yang meluas di kalangan Pamongpraja sehubungan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 yang masih harus disahkan oleh parlemen. Penyelenggaraan pemerintahan Pamongpraja yang telah berlangsung lama oleh undang- undang tadi akan dihapuskan. Sarekat Sekerja Pamong Pradja (SSPP) pada akhir tahun 1950 mengadakan kongres di Bandung.
Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo dihadirkan di kongres itu untuk memberikan prasarannya yang kemudian dibukukan pada 1951 dengan judul Pamong-Pradja Dan Pembangunan Daerah Autonoom. Beliau telah meninjau undang-undang itu dari segi demokrasi dan menurutnya sempurna namun sistemnya tidak dapat dijalankan sekaligus. Maka, cara menjalankannya harus mengingat faktor-faktor sosiologis dan psikologis agar tidak menimbulkan ekses-ekses dalam pelaksanaan demokrasi. Diberinya juga pedoman bagi Pamongpraja untuk dapat menyesuaikan diri dengan pembangunan daerah-otonom yang tengah dan akan diselenggarakan di Negara Republik Indonesia sehingga diharapkan dapat membantu mengurangi rasa kegelisahan di kalangan Pamongpraja.
Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo juga menulis buku Proses Demokratisering Daerah Istimewa Yogyakarta (1952). Tim Peneliti dari Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Yogyakarta (2003:4) mengakui buku Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo ini sangat penting untuk penelitian mereka karena berisi tentang proses demokratisasi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada zaman Hindia-Belanda dahulu, sekalipun di luar Yogyakarta di daerah gupermenan sudah ada Provinciale Raad, Regenschapsraad dan Gementee Raad dan di Kasunanan Surakarta sudah ada Balai Agung, namun di daerah Yogyakarta (baik Kasultanan maupun Paku-Alaman) tidak pernah ada Badan semacam Raad atau Balai Agung itu sebagai forum untuk mewakili rakyat. Sejak dikeluarkannya Amanat Bersama dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII pada 30 Oktober 1945, dimulailah adanya demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bertepatan dengan Hari Peringatan 200 tahun Kota Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1956, Wali Kota Yogyakarta Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo menerima kalung jabatan Wali Kota dari Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilakukan oleh Sri Paku Alam VIII sebagai Wakil Kepala Daerah dalam resepsi di Bangsal Kepatihan Danurejan. Disanalah Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo menyampaikan Pidato Wali Kota Jogjakarta Pada Peringatan 200 Tahun Kota Jogjakarta Tanggal 7 Oktober 1956 Di Bangsal Kepatihan, yang kemudian dimuat dalam buku Dasa – Warsa Kotapradja Jogjakarta 7 Djuni 1947 – 7 Djuni 1957.
Di dalam pidato itu, terdapat riwayat timbulnya ide untuk mengadakan peringatan kota yang dikemukakan oleh Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo pada 1954 di dalam sidang Dewan Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Ketua-Ketua fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Kotapraja Yogyakarta. Ide itu berawal dari sebuah blocknote kenang- kenangan yang disimpannya sejak 1952. Adapun dasar peringatan 200 tahun usia Kota Yogyakarta bukanlah hasil dari pengaruh feodal – sebagaimana dituduhkan oleh sementara orang dan disampaikan kepada beliau oleh wartawan Pravda dari Moskow saat wawancara – melainkan kelaziman di berbagai kota di dunia untuk memperingati usia sesuatu kota jika telah mencapai usia ratusan tahun, termasuk Kota Yogyakarta yang didirikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama-sama rakyat.
Peringatan itu bertujuan agar segenap penduduk mencintai kotanya, turut merasakan pahit getir kotanya, sehingga dapat diajak turut serta memecahkan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh kotanya sehingga dengan demikian dalam sanubari penduduk dapat dibangkitkan kesadaran untuk turut serta membangun kotanya.
Pada 1964, Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo menyusun teks pidato Lima Belas Tahun Jogjakarta Bebas Kembali yang dibacakan di Gedung Negara pada waktu diadakan peringatan resmi tentang itu. Pidato yang disusun dan diucapkan Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono IX itu memuat keterangan peristiwa penting yang terjadi pada 29 Juni 1949 yaitu keharusan tentara penjajah Belanda untuk meninggalkan daerah Republik Indonesia dengan dimulai dari Kota Yogyakarta sebagai ibukota sementara dari Republik Indonesia. Pada 30 Juni 1949, seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta sudah bebas sama sekali dari pendudukan tentara penjajah Belanda. Diterangkannya pula peristiwa-peristiwa bersejarah yang sebelumnya telah terjadi, yaitu Clash I (21 Juli 1947) dan Clash II (19 Desember 1948), serta Serangan Umum (1 Maret 1949).
Pada 29 Juni 1969, Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo membuat uraian tanpa teks yang dimaksudkan untuk memperingati peristiwa Yogya Kembali. Uraian tersebut dibuatkan makalahnya pada tanggal itu juga dengan judul Jogjakarta Sebagai Ibukota Republik Indonesia Dalam Revolusi. Dalam bulan Januari 1946 Presiden dan Wakil Presiden berhijrah dari Jakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta. Secara berangsur-angsur diikuti juga oleh pindahnya Kementerian- Kementerian. Kota Yogyakarta yang secara positif menjadi ibukota sementara Republik Indonesia menjadi sasaran penyerbuan tentara penjajah Belanda dalam Clash I dan Clash II. Sri Sultan dan Sri Paku Alam telah menjalankan politik non-cooperation terhadap tentara pendudukan Belanda sehingga Belanda tak berhasil membentuk Pemerintah Boneka.
Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo juga mengingatkan bahwa Republik Indonesia (Yogyakarta) yang ber-UUD 1945 – pada saat akan menjelmanya Republik Indonesia Serikat ke dalam Negara Kesatuan pada 17 Agustus 1945 – daerahnya sudah meliputi seluruh Jawa dan Madura, seluruh Kalimantan dan sebagian besar Sumatera. Sebenarnya sudah lebih dari 2/3 seluruh daerah Indonesia dan sudah lebih dari 2/3 seluruh penduduk Indonesia yang telah menyetujui untuk menggabungkan diri ke dalam RI (Yogyakarta) yang ber-UUD 1945, yang berarti pula menyetujui bahwa UUD 1945-lah yang harus menjadi UUD dari RI itu. Dengan demikian, yang dibela oleh rakyat dan ABRI dalam Clash II adalah Republik Indonesia yang ber-UUD 1945, yang ber- Pancasila dan yang dilahirkan berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan. Maka Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo lantas menegaskan bahwa andaikata Pancasila dan UUD 1945 mau diubah, maka hal itu berarti suatu pengkhianatan terhadap perjuangan para pahlawan bangsa.
Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat sebagai Wali Kota Yogyakarta oleh Presiden Ir. Soekarno pada tanggal 22 Juli 1947 dan berakhir pada tanggal 20 September 1966. Sejak berakhirnya itu beliau menjadi Pegawai Utama Madya diperbantukan pada Sri Paduka Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Disela-sela kesibukan beliau menyelesaikan buku yang diberi judul Daerah Istimewa Yogyakarta (1968) dengan maksud agar sejarah pembentukan dan sejarah perkembangan DIY – yang merupakan penjelmaan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman – dapat diketahui oleh generasi yang mendatang. Beliau akhirnya diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun (1 Nopember 1969).
Semasa menjabat Wali Kota Yogyakarta (1947-1966), Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo mengantongi tiga besluit, yakni dari Presiden, dari Menteri Dalam Negeri dan dari Sri Sultan sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal tersebut membuktikan bahwa beliau adalah sosok pemimpin rakyat yang terpercaya serta loyal baik terhadap pemimpin-pemimpin bangsa dan Negara Republik Indonesia.
SOEDARISMAN POERWOKOESOEMO SEBAGAI AKADEMISI
Pada Nopember 1945, Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo ikut mempersiapkan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada yang sekarang menjadi Universitas Negeri Gadjah Mada. Pada 1952, beliau menjadi anggota Dewan Kurator Universitas Gadjah Mada kemudian menjadi Ketuanya. Beliau bermurah hati menyumbangkan buku-bukunya demi memajukan perpustakaan universitas itu.
Dalam Seminar Ilmu dan Kebudajaan yang diadakan Universitas Gadjah Mada, Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo menyampaikan ceramahnya pada Sidang ke I yang berlangsung Senin, 25 Juni 1956 yang diberi judul Pengaruh Timbal Balik Antara Universitas “Gadjah Mada” Dan Masjarakat dan kemudian dimuat dalam Laporan Lengkap seminar tadi yang didokumentasikan pada tahun itu juga oleh Universitas Gadjah Mada.
Oleh karena pentingnya materi ceramah tadi, maka Panitya-Peringatan Kota Jogjakarta 200 Tahun mengutipnya dan dimuat dalam buku Kota Yogyakarta 200 Tahun, 7 Oktober 1756 – 7 Oktober 1956.
Dalam ceramahnya Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo mengungkapkan bagaimana proses pertumbuhan Universitas Gadjah Mada yang dimulai pada permulaan revolusi nasional. Adapun salah satu tugas Universitas Gadjah Mada menurut statutanya yaitu menyelenggarakan usaha membangun, memelihara, dan mengembangkan hidup kemasyarakatan dan kebudayaan. Dengan demikian, terdapat pengaruh timbal balik antara Universitas Gadjah Mada dan Masyarakat. Beliau mengemukakan contoh-contoh konkrit tentang hubungan pengaruh itu dalam lapangan sosial, kebudayaan serta politik. Hubungan itu akan lebih erat lagi kalau Universitas, dengan tenaga-tenaga pengajarnya, tenaga-tenaga penelitinya, dan mahasiswa-mahasiswanya lebih memperhatikan soal-soal kemasyarakatan dan pemerintahan serta lebih aktif memberikan penyelesaiannya.
Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo sebagai Dosen Luar Biasa dalam Hukum Negara telah menyampaikan pidatonya berjudul Maksud Membentuk Negara (1950) pada Diesrede pada Hari Ulang Tahun Pertama dari Sekolah Tinggi-Keuangan Yogyakarta. Menurut beliau, maksud membentuk negara ialah menyempurnakan masyarakat. Pada tahun 1950-an masih jarang – kalau tidak boleh dikatakan belum ada – ahli hukum Indonesia yang menyelidiki negara secara keilmuan dan menuliskan hasil penyelidikannya dalam sebuah buku. Jika ditinjau dari sudut Ilmu Negara, nyatalah bahwa beliau adalah salah seorang pelopor dalam studi ini di Indonesia. Tegasnya, Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo adalah Bapak Ilmu Negara Indonesia.
Kota Yogyakarta memiliki lambang Kota Yogyakarta sebagaimana ditetapkan oleh DPRD melalui Ketetapan DPRD Nomor 2 Tahun 1952 tentang Penetapan Lambang Kota Pradja Jogjakarta. Lambang itu memuat adanya semboyan mangayu hayuning bawana yang berarti cita- cita untuk menyempurnakan masyarakat.
Sebagai dosen, Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo merampungkan brochure berjudul Negara Hukum (1950) yang di dalamnya memuat pembahasan tentang Negara Hukum yang menghendaki terlaksananya azas Pancasila, kemudian disusul dengan brochure berjudul Ilmu Politik (1950) yang dapat digunakan sebagai petunjuk bagi sarjana-sarjana di masa kini bahwa perkembangan Ilmu Politik di Indonesia antara lain dipelopori oleh jurist dengan metode yang historis-sosiologis. Sejak 1951 beliau terus menerus menjadi dosen di berbagai akademi dan kursus aplikasi tentang Tata Negara, Ilmu Politik dan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia.
Pada 7 Oktober 1958 didirikanlah Yayasan Perguruan Tinggi Janabadra di Kota Yogyakarta oleh Para Pendiri Yayasan Perguruan Tinggi Janabadra yang telah dikenal luas di masyarakat sebagai tokoh- tokoh di bidang hukum, sosial, politik, pendidikan dll. Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo menjadi Ketua dari yayasan itu sekaligus sebagai Rektor Perguruan Tinggi Janabadra dan juga dosen di Fakultas Hukum Universitas Janabadra.
Dalam Konggres PERSAHI di Bandung (1959), Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo menyampaikan prasarannya berjudul Parlementairisme Di Indonesia yang kemudian dimuat dalam Hukum dan Masyarakat, majalah Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI), No. 1, 1960. Salah satu pemikiran beliau yang menarik dan merupakan suatu kepeloporan adalah soal perwakilan Presiden yang belum diatur dalam UUD 1945. Hal ini diakui terus terang oleh Profesor Dr. Ismail Suny, S.H., M.C.L. dalam otobiografinya (1982: 151):
Masalah pengwakilan tugas jabatan Presiden, bukanlah suatu masalah baru dalam sejarah ketatanegaraan kita. Karena ketidaklengkapan Pasal 8 UUD 1945 telah merupakan gevetigde mening, pendapat tetap para sarjana hukum. Dimulai dengan tulisan Saudara Soedarisman Poerwokoesoemo.
Pada tahun 1958-1959, tugas-tugas yang dibebankan di pundak Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo semakin bertambah karena selain di Perguruan Tinggi Janabadra, beliau masih pula mengemban tugas dan amanah sebagai Wali Kota Yogyakarta dan sebagai Anggota Konstituante dari fraksi Partai Nasional Indonesia.
Awalnya, Perguruan Tinggi Janabadra hanya memiliki dua fakultas, yaitu Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi. Setelah dikeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi, maka nama perguruan tinggi ini diubah menjadi Universitas Janabadra dan memiliki tiga fakultas, yaitu Fakultas Hukum (dipimpin oleh Mr. Bambang Soebekti), Fakultas Ekonomi (dipimpin oleh Dr. Muchasim Hadiprabowo) dan Fakultas Teknik (dipimpin oleh Ir. Soetomo).
Pada 1961, Universitas Janabadra bisa berkembang dengan baik demikian pula kerjasama Pimpinan, mahasiswa dan administrasi. Pembinaan Universitas Janabadra berlangsung dalam kesederhanaan dan kebersahajaan. Kemampuan pada waktu itu barulah untuk menyewa gedung untuk kuliah sedangkan tenaga mahasiswa merupakan tenaga administrasi bantuan yang berfungsi untuk menghubungi dosen/asisten dosen dan persuratan. Universitas Janabadra baru memiliki kampus sederhana di Kota Yogyakarta pada 1988.
Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo telah mengembangkan Universitas Janabadra melalui jalur kecendekiawanan yang kritis, jujur dan ilmiah. Beliau bukan saja menuangkan gagasan dan wawasan pemikiran yang berspektrum luas; melainkan juga mendalam dan hakiki tentang Kasultanan Yogyakarta dan Sri Sultan, Kadipaten Pakualaman dan Sri Paku Alam, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, Pemerintahan Daerah dan Hukum Negara, Kepemimpinan, Kebudayaan, Sejarah Perjuangan Bangsa dan lain-lain; termasuk pemikirannya tentang identitas Janabadra. Kesemuanya itu dapat disimak dari isi buku dan makalah yang ditulisnya yang pada umumnya dengan tinjauan Sejarah Ketatanegaraan (Historisch- Staatsrechtelijk).
Beliau memang ikut mengalami sendiri berbagai peristiwa bersejarah di Negara Republik Indonesia, terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jadi, rasanya tidak mengherankan manakala beliau dikenal cukup dekat dengan wartawan dari majalah, surat kabar, Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI).
Beliau telah berkali-kali diwawancarai dan telah pula menerangkan berbagai hal tentang sejarah kemerdekaan Republik Indonesia, peristiwa yang terjadi sekitar proklamasi, sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, peristiwa Serangan Oemoem 1 Maret, sejarah Jogja-Kembali, pemerintahan daerah dan otonomi daerah, sejarah Kota Yogyakarta, pendidikan dan kebudayaan dll.
Berdasarkan daftar buku dan makalah Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo yang disusun secara alfabetis oleh Soedrasman Tjitrosendjojo pada Juli 1991, dapat diketahui bahwa beliau sebagai Rektor Universitas Janabadra memiliki ketekunan serta kesabaran yang luar biasa sehingga mampu menghasilkan puluhan karya:
- buku-buku, yaitu: Daerah Istimewa Yogyakarta (1986), Kadipaten Pakualaman (1985), Kasultanan Yogyakarta (1985), Melacak Sejarah Yogya Kembali (judul tulisan di dalam buku Bahan Sastra Budaya), Peranan Beberapa Tokoh Wanita Di Puro Pakualaman, Sebuah Tinjauan Tentang Pepatih-Dalem (1983), Sumpah Pemuda Dan Javanologi (1984), Tanggapan Atas Disertasi Berjudul “Perubahan Sosial Di Yogyakarta” (1986);
- makalah-makalah, yaitu: Beberapa Catatan Sekitar Proklamasi, Beberapa Catatan Terhadap Buku Bapak Soehino, S.H. Tentang Hukum Tata-Negara, Biografi Dan Perjuangan Sri Sultan, Catur Dasa Warso Sebagai K.G.P.A.A. Praboe Soerjodilogo Dan
K.G.P.A.A. Pakoe Alam VIII, Dari “Proklamasi” Sampai “Yogya- Kembali”, Garis Besar Perjuangan Sri Sultan, GMNI 31 Tahun, Hari Kebangkitan Nasional Tanggal 20 Mei, Javanologi Dan Sumpah Pemuda, Kebudayaan Daerah Dalam Negara Proklamasi, Leadership, Melacak Sejarah Menuju Proklamasi Kemerdekaan, Meninjau Sejarah Pers Nasional, Mentrase Identitas Janabadra, P. Mangkoeboemi, Pembahasan Terhadap Buku Anak Agung Gede Agung, Pendidikan Politiek Untuk Meningkatkan Kesadaran Bernegara, Penggali Pancasila, Pergerakan Nasional Dan Taman Siswa, Perjuangan Menuju Proklamasi, Perkembangan Sistem Pemerintahan Di Yogyakarta, Sanggahan Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo Terhadap Sejarah Kadiri Kelompok III (Zaman Kemerdekaan), Situasi Agraria di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Terbentuknya Kota Yogyakarta.
Ditengara masih banyak lagi karya-karya beliau yang belum dicantumkan, termasuk yang berupa teks-teks pidato, naskah karangan yang dimuat di berbagai majalah, surat kabar dll. selama menjadi Rektor Universitas Janabadra.
Pada sisi lain, Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo juga memimpin Universitas Janabadra dengan prinsip menolong diri sendiri dan percaya pada dirinya sendiri. Universitas tidak minta bantuan dari kekuatan ekonomi diluarnya dan berkembang atas kemampuan sendiri. Universitas Janabadra hanya memperoleh bantuan dari Pemerintah dalam bentuk subsidi, bantuan alat-alat perlengkapan kuliah serta alat-alat perlengkapan administrasi, bantuan gedung – baik dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan maupun dari Bantuan Presiden – dan bantuan tenaga edukatif dengan dosen dipekerjakan (DPK).
Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo telah menuangkan pemikiran khusus tentang Janabadra yang terdapat dalam Pidato Pembukaan Rektor Universitas Janabadra Pada Peringatan Seperempat Abad Dies Natalis Ke XXV Universitas Janabadra Pada Tanggal 7 Oktober 1983 (1983) dan Mentrase Identitas Janabadra (1987). Meskipun keduanya memiliki sistematika tersendiri dan ditulis untuk keperluan yang berbeda, namun terdapat banyak kesamaan dalam materinya.
Identitas Janabadra tidak dapat dilepaskan dengan sejarah lahirnya pada 7 Oktober 1958 di Kota Yogyakarta. Menurut sejarah pulalah Kota Yogyakarta lahir pada 7 Oktober 1756. Sejarah juga mencatat hapusnya penjajahan di Bumi Mataram adalah keberhasilan rakyat yang terjadi pada 7 Oktober 1945 (Pertempuran Kotabaru).
Tokoh Janabadra secara ilmiah telah diselidiki oleh para ahli sejarah dan budaya sebagai tokoh historis dan bukan legendaris. Janabadra adalah seorang Pendeta Buddha yang ilmuwan serta termasyhur pada abad VII karena menguasai beberapa bahasa antara lain bahasa Sansekerta, bahasa Cina, serta bahasa Jawa Kuno. Janabadra pernah diminta bantuannya oleh seorang Pendeta Buddha bangsa Cina, Hwoening, untuk menterjemahkan Kitab Suci Agama Buddha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina.
Mentratrase Identitas Janabadra juga memuat keterus-terangan Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo mengenai situasi dan kondisi sebelum dan sesudah lahirnya Universitas Janabadra. Sebagai anggota Konstituante dari fraksi Partai Nasional Indonesia, bahkan ada kalanya ditunjuk sebagai juru bicara dari fraksi PNI (1956), Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo bersama-sama fraksi PNI waktu itu telah berpendirian bahwa Pancasila yang harus menjadi dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila seperti yang digariskan oleh Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. Pendirian beliau ini dipegang teguh sehingga ketika diadakan Seminar Pancasila yang Pertama di Sasono Hinggil “Dwi Abad” beliau diangkat sebagai Ketua Kehormatan dari Panitia Seminar Pancasila (Februari 1959).
Mentrase Identitas Janabadra memuat kesimpulan Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo tentang identitas Universitas Janabadra, ialah sebagai berikut (Juli 1987: 26):
- UNIVERSITAS JANABADRA, YOGYAKARTA, lahir pada hari Selasa Kliwon.
- UNIVERSITAS JANABADRA, YOGYAKARTA, lahir pada tanggal 7 Oktober.
- Nama Universitas diambil dari tokoh INDONESIA ASLI yang telah berhasil memimpin sebuah Perguruan Tinggi di Pulau Jawa dalam abad ke 7, yang terkenal sampai ke luar pulau Jawa. Tokoh ini bernama JENANABADRA, akan tetapi untuk memudahkan lidah Indonesia untuk mengucapkannya, diubah menjadi
- Sejak lahirnya pada tanggal 7 Oktober 1958 Universitas Janabadra sudah dengan tegas memilih PANCASILA sebagai
Setiap perguruan tinggi memiliki identitasnya sendiri, begitu pula dengan Universitas Janabadra. Identitas Janabadra tidak bertentangan dengan ideologi bangsa dan Negara Republik Indonesia. Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo optimis bahwa Universitas Janabadra akan menghasilkan alumni sebagai tunas-tunas baru yang mandiri dan oleh karena itu akan terus memajukan Universitas, bangsa dan Negara Indonesia.
Identitas Janabadra itu jangan sampai terdesak oleh identitas yang bukan identitas Janabadra. Dalam berbagai kesempatan di Universitas Janabadra, beliau kerapkali menegaskan secara lisan bahwa alumni adalah ahli waris Universitas Janabadra. Maksudnya adalah soal alih generasi yang memang amat penting dalam pengembangan Universitas Janabadra yang selaras dengan identitas Janabadra serta meneruskan perjuangan para pendiri Universitas Janabadra itu.
PENUTUP
Dari apa yang telah dikemukakan di muka, rasanya dapat diambil beberapa simpulan tentang Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo seperti di bawah ini:
- Soedarisman Poerwokoesoemo adalah sosok pemuda-pejuang, negarawan, pemimpin rakyat, birokrat, ahli hukum serta cendekiawan.
- Perjuangan Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo berlangsung dalam tiga zaman, yaitu zaman Hindia Belanda, zaman Pendudukan Jepang dan zaman kemerdekaan Negara Republik
- Soedarisman Poerwokoesoemo telah menunaikan tugas-tugas maha berat di dalam berbagai kedudukannya, baik sebagai Meester in de Rechten, Ketua Angkatan Muda Yogyakarta, anggota Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, Pimpinan Badan Penerangan Daerah Istimewa Yogyakarta, anggota Badan Pekerja Komite Nasional Daerah Yogyakarta, Wali Kota Yogyakarta, anggota Konstituante dari fraksi Partai Nasional Indonesia, Rektor Universitas Janabadra, dan lain sebagainya, termasuk dalam kalenggahan-nya sebagai Bupati Anom, Bupati Pamong Projo, dan Pangeran Sentono yang diperolehnya dari Kasultanan Yogyakarta.
- Perjuangan hidup Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo sejak masih muda hingga akhir hayatnya menunjukkan gambaran seorang manusia Indonesia yang berkepribadian kuat dan berkarakter yang patut
- Atas pengabdian serta dharma baktinya kepada bangsa dan Negara Indonesia, maka perlu suatu usulan kepada Pemerintah Republik.
Indonesia untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo.
M e r d e k a !
DAFTAR BACAAN
BUKU
Adi, Pudja Pramana Kusuma, Ilmu Negara, Graha ilmu, Yogyakarta, 1999.
Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Tim Peneliti, Demokrasi Dalam Perjalanan Sejarah: Studi Kasus Di DIY 1945 – Awal Reformasi, Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah DIY, Yogyakarta, 2013.
Dewan Pemerintah Daerah Kotapradja Jogjakarta, Dasa – Warsa Kotapradja Jogjakarta 7 Djuni 1947 – 7 Djuni 1957, Jogjakarta, 1957.
Djojoadisoerjo, Ahmad Soebardjo, Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi, Gunung Agung, Jakarta, MCMLXXVIII.
Koesoemahatmadja, Djenal Hoesen, Fungsi Dan Struktur Pamongpraja, Alumni, Bandung, 1978.
Marsoedi, dkk., Merebut Kota Perjuangan (S.U. 1 Maret 1949), Yayasan “Sinar Asih Mataram” cabang Jakarta, PT. Jayakarta Agung Offset, 1985. Pamuji, Suryanta, Budi Sanyata, dan V. Agus Sulistya (Tim Penyusun), Himpunan Informasi Sejarah Penyerbuan Kota Baru Yogyakarta Dan Peristiwa-Peristiwa Penting Di Yogyakarta Sekitar Proklamasi Kemerdekaan RI Tahun 1945, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Museum Benteng Yogyakarta, Yogyakarta, 1998.
Panitya-Peringatan Kota Jogjakarta 200 Tahun, Sub-Panitya-Penerbitan, Kota Yogyakarta 200 Tahun, 7 Oktober 1756 – 7 Oktober 1956, Pertjetakan-Kanisius, Jogjakarta, 1956.
Poerwokoesoemo, Soedarisman, Tafsir Oendang2 Dasar Negara Republik Indonesia, Poetjoek Pimpinan G.P.I.I. Bagian Penerangan & Penjiaran, Jogjakarta, 1947.
Poerwokoesoemo, Soedarisman, Pamong-Pradja Dan Pembangunan Daerah Autonoom, Pelopor, Yogyakarta, 1951.
Poerwokoesoemo, Soedarisman, Sebuah Tinjauan Tentang Pepatih-Dalem, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pendidikan Kebudayaan, Proyek Javanologi, Yogyakarta, 1983.
Poerwokoesoemo, Soedarisman, Kasultanan Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1985.
Suny, Ismail, Mencari Keadilan: Sebuah Otobiografi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.
JURNAL/MAKALAH
Adi, Pudja Pramana Kusuma, Telaah Permulaan Atas Ajaran-Ajaran Sudarisman Purwokusumo Mengenai Konstitusi Dan Maksud Membentuk Negara, Jurnal Konstitusi, PKHK-FH Universitas Janabadra Yogyakarta dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Vol I, No. 1, Oktober 2008.
Hadisutrisno, Bahasan Makalah: “Mentrase Identitas Janabadra” Yang Disajikan Oleh Bp. Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, makalah, Juli 1987.
Poerwokoesoemo, Soedarisman, Lima Belas Tahun Jogjakarta Bebas Kembali, makalah, Juni 1964.
Poerwokoesoemo, Soedarisman, Beberapa Catatan Sekitar Proklamasi, makalah, Agustus 1975.
Poerwokoesoemo, Soedarisman, Pidato Pembukaan Rektor Universitas Janabadra Pada Peringatan Seperempat Abad Dies Natalis Ke XXV Universitas Janabadra Pada Tanggal 7 Oktober 1983, Oktober 1983.
Poerwokoesoemo, Soedarisman, Melacak Sejarah “Yogya-Kembali”, makalah, Oktober 1984.
Poerwokoesoemo, Soedarisman, Daerah Istimewa Yogyakarta, makalah, Oktober 1986.
Poerwokoesoemo, Soedarisman, Mentrase Identitas Janabadra, makalah, Juli 1987.
Poerwokoesoemo, Soedarisman, Dari Proklamasi Sampai “Yogya-Kembali”, makalah, Agustus 1987.
Tjitrosendjojo, Soedrasman, Jati-Diri Universitas Janabadra: (Tinjauan Ideologis-Historis), makalah, Maret 1995.
SURAT KABAR & BERITA RESMI
Asia Raya, tanggal 29 Juni 1945.
Berita Repoeblik Indonesia, Tahun II No. 8, tanggal 1 Maret 1946. Soeara Asia, tanggal 3 Juli 1945.
Soeara Asia, tanggal 11 Juli 1945.
SUMBER FOTO
Koleksi : Surjadiman.
Koleksi: Indonesia Newspaper Project Nion Institute For War, Holocaust, Genocide Studies.
Foto Koleksi : Pudja Pramana Kusuma Adi.
Dasa-Warsa Kotapradja Jogjakarta 7 Djuni 1947-7 Djuni 1957.
Koleksi: Yayasan Perguruan Tinggi Janabadra.
Koleksi: Universitas Janabadra.
Koleksi: Indonesian Newspaper Project (The NIOD Institute for War, Holocaust, and Genocide Studies).