Meraba Denyut Eksistensi Mahasiswa Di Masa Pandemi

Oleh : Rozinul Khalid

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Kilatnews.co- Beberapa waktu lalu, saya cukup tersentak membaca salah satu postingan instagram punya teman. Kira-kira begini bunyinya, “Akan tiba suatu masa ketika suatu hari BEM mana pun mau teriak apa pun tidak bakal dihiraukan lagi oleh rakyat. Kenapa? Sebab rakyat sudah punya alasan untuk menduga, bahwa teriakan-teriakan itu hanya cara bocah-bocah kemarin sore membangun jalan pintas mendapat jabatan orang dewasa.”

Argumentasi ini berhasil membuat saya tertegun sejenak. Mengingat  posisi saya sendiri yang juga merupakan mahasiswa (baru). Saya mencoba menerka ulang argumentasi tadi, “Apa iya ekspresi turun jalan mahasiswa sudah terkontaminasi dengan kepentingan politik tertentu, sehingga masyarakat tidak lagi percaya?

Jelas ini adalah perkara sulit. Bukan soal aksi demonstrasi yang dianggap rengekan anak kecil, tetapi lebih kepada ranah substansi. Soal ‘kepercayaan masyarakat’ terhadap mahasiswa. Kalau benar masyarakat sudah kehilangan  kepercayaan, berarti persis di detik inilah eksistensi mahasiswa dipertanyakan. Bukankah mahasiswa kerap dielu-elukan sebagai agent of change, sosial control dan iron stock? Sebab demikian, stempel stigmatis di atas perlu ditinjau kembali keabsahannya. Terlepas faktanya benar ada, saya yakin masih banyak mahasiswa lain, sampai hari ini, yang kukuh mempertahankan idealismenya. Tetapi satu poin penting yang perlu digaris bawahi, argumen di atas tidak lebih dari opini publik, yang validitasnya masih menggantung.

Baca Juga:

Rumor Tudingan Penyelewengan Rektor Amany Lubis dan Aksi Akademisi

Dalam sejarah, mahasiswa selalu punya peranan urgent dalam lika-laku perjalanan bangsa ini sejak pra-kemerdekaan sampai pasca-kemerdekaan. Boedi Oetomo, misalnya, ia adalah wadah perjuangan pertama di Indonesia sebelum kemerdekaan, yang dimotori para mahasiswa. Pun pasca kemerdekaan, tahun 1998, aksi mahasiswa kembali meletus menuntut reformasi dan dihapuskannya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), sehingga Soeharto yang memimpin 32 tahun lamanya, pun lengser dari kursi presiden kala itu.

Pada babak selanjutnya adalah tanggung jawab sebagai mahasiswa untuk selalu tampil di garda depan membela yang lemah, mendongkel kebusukan pemerintah dan selalu berjalan beriringan dengan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik dan berkeadilan.

Keresahan Masyarakat di Tengah Pandemi

Kini bangsa kita sedang menghadapi masalah krusial yang dampaknya berhasil menggemparkan, tidak hanya di Indonesia. Tapi hampir di seluruh negara di belahan dunia. Ini soal kedatangan (wabah) virus corona (corona virus disease). Tiba-tiba datang, dan tiba-tiba pula melenyapkan jutaan jiwa manusia. Kondisi sosial masyarakat kita terobrak-abrik, baik dari bidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan.

Angka kematian menanjak setiap harinya, mencipta kecemasan dan ketakutan di tengah masyarakat. Disusul disinformasi (fake news), sekaligus tidak meratanya informasi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat, semakin memperkeruh keadaan.

Yuval Noah Harari dalam bukunya, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, menyebutkan ada tiga masalah yang sama menyibukkan pikiran orang China abad ke-20, orang India abad pertengahan dan orang Mesir kuno. Kelaparan, wabah dan perang senantiasa ada di puncak daftar. Yuval melanjutkan, kondisi yang selama ribuan tahun telah menjadi musuh terburuk kemanusiaan itu (kelaparan, wabah dan perang), akhirnya berhasil diatasi secara perlahan dan berkala ketika—meminjam istilahnya Yuval—fajar milenium ke-3 mulai menyingsing.

Saya kira, teror masa lalu kembali mengintai. Bagaimana tidak, wabah covid hingga kini belum seutuhnya hilang di beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Segala bentuk kecanggihan mutakhir, nampaknya belum bisa memberikan solusi yang kongkret supaya wabah ini sempurna menghilang. Dan, masyarakat bisa beraktivitas kembali dengan tenang dan aman.

Hampir dua tahun bangsa kita melawan amuk badai kematian. Ada 100 ribu lebih orang mati. Masyarakat beraktifitas di tengah keresahan. Menko Polhukam Mahfud MD menyebut keresahan itu muncul dalam dua bentuk. “Satu takut mati karena covid. Kemudian di seberangnya itu takut mati karena ekonomi”. (baca: detik.com).

Baca Juga:

Mahasiswa UB Ciptakan AUTOWASTER, Teknologi Pemilah Sampah Otomatis

Dalam situasi yang serba genting ini, masyarakat membutuhkan peran manusia yang bisa diandalkan untuk meredam kobaran api keresahan tadi. Sebab demikian, mahasiswa mesti tampil sebagai subyek yang bisa diandalkan oleh masyarakat. Cara paling minimal yang dapat dilakukan adalah dengan memberi informasi yang benar dan sehat kepada masyarakat. Karena tak bisa dipungkiri, gelombang panik berlebih di tengah masyarakat dipicu oleh merebaknya informasi yang salah dan tidak sehat.

Meskipun dalam realitasnya, ada sebagian pihak yang meremehkan peran dan eksistensi mahasiswa. Yang beranggapan bahwa mahasiswa kini jauh berbeda dengan dulu. Dulu punya idealisme, kini menjual idealisme. Katanya, sih, begitu. Padahal, perkara idealisme bukan semata apa yang tampak. Sebab, ia dimensi bathin, hati. Dan faktanya, tak ada manusia yang bisa menebak perkara hati manusia lainnya.

Saya kira, di masa pandemi ini, momentum yang tepat untuk menunjukkan (kembali) eksistensi mahasiswa kepada masyarakat melalui agenda-agenda yang diformulasikan dalam usaha meredam percikan api ketakutan, kecemasan, panik berlebih yang mengungkung pikiran masyarakat selama ini. Dan, mahasiswa juga harus memberikan contoh yang baik terhadap masyarakat. Sebab idealnya, mereka adalah panutan, suri tauladan. Dalam hal ini, mematuhi seabrek protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran virus adalah cara paling minimal yang mesti dilakukan seorang panutan.

Peran Mahasiswa

Ada banyak fakta rill di lapangan mengenai peran aktif mahasiswa dalam ikut serta melakukan perubahan-perubahan kecil di masyarakat, utamanya di masa pandemi ini. Berikut di antaranya:

Pertama, seruan vaksinasi masal yang dimotori BEM Nusantara pada 29 Juli kemarin. Kegiatan ini tentu menjadi salah satu usaha, mahasiswa dan masyarakat, dalam melawan pandemi dengan bersinergi bersama. Agenda BEM Nusantara dapat publik saksikan dilaman Instagram @bemnusofficial.

Baca Juga:

Aksi Besar-Besaran BEM Nusantara akan Digelar Setelah Konsolidasi Dengan Seluruh Presiden Mahasiswa

Kedua, gerakan 1.000 porsi makanan yang dibagikan ke 12 titik di Jabodetabek pada awal Agustus kemarin. Gerakan sosial ini juga dimotori para mahasiswa, tepatnya Aliansi BEM seluruh Indonesia sebagai salah satu jalan untuk saling membantu saudara kita dengan cara menebar kebaikan kepada seluruh masyarakat untuk berdonasi dalam gerakan 1.000 porsi makanan tersebut. (Lihat: Instagram @bem_si).

Ketiga, aksi tolak kebijakan terhadap pemerintah yang dianggap tidak tegas, dan terkesan ‘membingungkan masyarakat bawah’. Salah satunya, aksi tolak kebijakan, yang digalakkan oleh aktivis IMM Malang Raya pada 9 Agustus kemarin. Aksi tolak kebijakan digelar tepat di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). (Lihat: Instagram @imm_malang).

Baca Juga:

Musim Semi Idealisme Mahasiswa

Dengan keberanian tinggi, para mahasiswa ini turun jalan meminta kejelasan kebijakan dan solusi. Karena hampir dua tahun lamanya, masyarakat serba dibatasi untuk banyak hal dan tidak bisa berbuat apa-apa, segala solusi yang diberikan pemerintah hanya indah dalam retorika. Tetapi naif dalam dunia nyata, karena kasus covid yang kian meningkat.

Deretan fakta di atas adalah bukti nyata bahwa stigma negatif yang ditujukan kepada mahasiswa tidak (seutuhnya) benar. Anggapan bahwa mahasiswa itu apatis, merengek bak anak kecil, menggadaikan idealismenya dan semacamnya, perlu diperbaiki kembali—berdasarkan fakta di atas.

Akhirnya, mahasiswa harus senantiasa berada pada khittah-nya sebagai agent of change, social control dan iron stock. Siapa yang setuju, ayo angkat tangan! Wallahu A’lam.


Rozinul Khalid. Penulis adalah santri Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa, Guluk-guluk Sumenep Madura.