Setelah proses panjang disahkannya Undang-undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menuai kontroversi dan memunculkan aksi demonstrasi dibeberapa daerah. Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan yang mengejutkan publik, yaitu membubarkan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Front Pembela Islam (FPI) pada, 30 Desember 2020.

Kebijakan ini ditetapkan melalui Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor 220-4780 Tahun 2020, Nomor M.HH-14.HH.05.05 Tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII/2020, Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Tentunya, Surat Keputusan Bersama (SKB FPI) memiliki pertimbangan yang matang antara lain adalah, bahwa Pemerintah ingin menegakkan eksistensi ideologi bangsa yaitu Pancasila sebagai Konsensus dasar bernegara. Anggaran Dasar Front Pembela Islam (FPI) menurut Pemerintah bertententangan dengan pasal 2 UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Keputurusan Mendagri No. 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 tentang surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI berlaku sampai dengan tangal 20 Juni 2019. Dan belum diperpanjang oleh Front Pembela Islam (FPI).

Meskipun demikian terdapat juga pengurus dan/atau anggota Front Pembela Islam (FPI) sebanyak 35 orang terlibat dalam kasus tindak pidana terorisme, dimana 29 orang telah dipidana serta sejumlah 206 orang terlibat tindak pidana umum dan 100 orang telah dijatuhi pidana.

Selain itu FPI kerap melakukan razia (sweeping) ditengah masyarakat yang seharusnya razia meruapakan tugas dari aparatur penegak hukum.

Sikap Kritis

Pada dasarnya, diterbitkannya SKB FPI menarik untuk ditilik lebih jauh. SKB FPI diterbitkan dengan berlandaskan pada UU No. 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan dimana dalam tataran aturannya memang diberikan keluasan bagi Pemerintah untuk dapat membubarkan Ormas tidak melalui putusan pengadilan.

Hal ini terlihat dari muatan materi Pasal 61 UU No. 16 Tahun 2017. Sejatinya pula ketentuan mengenai ini menegaskan bahwa Organisasi kemasyarakatan yang melakukan pelanggaran dapat dijatuhkan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Bunyi ketentuan semacam ini menurut saya sangatlah membahayakan karena dapat dijadikan dasar politis bagi Pemerintah untuk membatasi ruang kebebasan berkumpul dan berserikat seperti apa yang telah diamanatkan dalam pasal 28 UUD 1945.

Terlihat jelas bahwa bagaimana prosedur pembubaran Organisasi Kemasyarakatan serta mekanisme penjatuhan sanksi terhadapnya bukan melalui mekanisme peradilan, namun dapat dilakukan secara sepihak oleh Pemerintah.

Ironis memang, karena setiap pertanggungjawaban atas kesalahan yang dituduhkan oleh setiap subyek hukum haruslah dibuktikan dihadapan pengadilan sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka sebelum subyek hukum tersebut dijatuhi sanksi.

Penjatuhan sanksi yang berupa larangan kegiatan hingga pembubaran Organisasi kemasyarakatan secara sepihak oleh Pemerintah dengan dasar UU No. 16 Tahun 2017 sangat bertentangan dengan prinsip negara hukum (Rull Of Law).

Menukil pendapat A.V. Dicey bahwa dalam negara hukum salah satu prinsip negara hukum terpenting adalah penegakkan terhadap due process of law, yakni proses hukum yang adil dimana negara harus menghormati hak hukum dalam negara hukum.

Oleh karena itu seharusnya pembubaran suatu Organisasi Kemasyarakatan seperti FPI haruslah dilaksanakan menurut proses hukum yang berlaku dimana proses pembubaran haruslah dilakukan melalui peradilan.

Menyoal SKB FPI

Menyoal pertimbangan Pemerintah diatas setidaknya ada beberapa hal yang patut untuk dikritisi. Dalam pertimbangan pada Keputusan Mendagri No. 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 tentang Surat Keterangan Terdaftar FPI berlaku sampai tanggal 20 juni 2019, dan, belum diperpanjang oleh FPI. Dengan demikian secara de jure, FPI secara kelembagaan dinyatakan bubar terdapat ketidak konsistenan.

Bahwa setipa Organisasi Kemasyaraktan haruslah mendaftarkan diri kepada negara untuk mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar sebagaimana dalam pasal 16 ayat (3), pasal 17 dan pasal 18 UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945 Oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 82/PUU-XI/2013, dalam pendapatnya MK mengatakan bahwa Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 dn Pasal 18 UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan tidak memiliki kekutan hukum mengikat karena ketentuan hukum mnegenai pendaftaran Ormas yang dikaitkan dengan lingkup suatu Ormas harus dinyatakan inkonstitusional pula.

Ormas yang menghendaki untuk mendaftarkan suatu Ormas yang tidak berbadan hukum, dapat saja melakukan pendaftaran Ormasnya ditempat kedudukan Ormas yang bersangkutan, tanpa memerlukan surat keterangan terdaftar baik dari bupati/walikota, gubernur maupun Menteri.

Maknanya bahwa dalam prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat dalam negara hukum tentu suatu Organisasi kemasyarakatan yang terdaftar maupun tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan SKT bukanlah suatu problem atau Ormas tersebut terlarang. Bahkan negara melarang kegiatan Ormas sepanjang Ormas tersebut tidak mengganggu keamanan, ketertiban umum, serta melanggar hukum.

Hal yang lain juga yang patut di telaah bahwa Pemerintah melalui SKB FPI tersebut menegaskan bahwa sejak tanggal 20 Juni 2019 secara du jure telah buabr sebagai Ormas, tidak memiliki legalitas yang jelas. Baik dalam UU No. 17 tahun 2013, UU No. 16 Tahun 2017, hingga pada Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 tidak menegaskan maksud secara de jure dalam konteks tersebut dengan pasti.

Inkonstitusional terkait maksud secara du jure tersebut memberi ketidakpastian bagi bubarnya Organisasi kemasyarakatan FPI, juga berakibat hukum pula tidak dapat dinyatakan bubar secara du jure atas dasar tidak memperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT).

Larangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI juga harus di pertanyakan dasar hukumnya, karena dalam Pasal 59 UU No. 16 Tahun 2017 hanya mengatur kegiatan yang pada pokoknya mengganggu ketertiban umum dan/atau melanggar peraturan.

Pasal 59 ayat (4) UU No. 16 Tahun 2017 yang paling mendekati alasan pelarangan tersebut belum memberikan suatu definisi yang jelas mengenai larangan penggunaan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi separatis atau terlarang sehingga memicu perdebatan publik.

Surat Keterangan Pembubaran FPI ini juga menimbulkan banyak pro dan kontra. Ada beberapa pandangan yang setuju FPI dibubarkan dengan alasan karena kerap mengganggu ketertiban umum, keamanan, melanggar hukum sampai membuat kegaduhan ditengah umat.

Jelas terlihat dari ceramah-ceramah yang dilakukan oleh pimpinan FPI Habib Rizieq Shihab yang justru terkesan tidak mencerminkan keislaman yang santun dan menyenangkan. Ada beberapa kali kegiatan ceramah yang dilakukan olehnya terkesan memicu ujaran kebencian, kalimat provokatif juga menimbulkan keresahan publik.

Pada nafas yang lain kegiatan FPI juga terkadang menimbulkan perpecahan dikalangan masyarakat. Bagaimana keresahan dilanggengkan atas nama agama. Begitu juga FPI juga seringkali mengambil peran lebih dalam penegakkan hukum. Melakukan kegiatan sweeping terhadap masyarakat yang tidak sesuai dan sepaham dengan FPI. Tidak jarang kekerasan, terror, hingga tindak pidana terjadi pada saat dilakukan sweeping tersebut.

Kesimpulan dan Saran

Dengan melihat berbagai uraian diatas, hemat saya sebagai negara hukum tidak pada koridornya jika memperlihatkan kekuasaaannya dengan mengesampingkan pilihan yang seharusnya, yaitu pembubaran harus melalui proses hukum yang berlaku.

Surat Keterangan terdaftar FPI ini mudah dijadikan sebagai suatu preseden bagi siapapun penguasa kedepan untuk tetap disalahgunakan. Selain itu SKB FPI bukan hanya menjadi suatu keputusan politis, namun dipandang sebagai suatu gambaran pemerintah terhadap organisasi yang memiliki haluan serta pandangan yang berbeda dengan Pemerintah.

Hakikatnya semua warga negara sepakat atau paling tidak saya secara pribadi setuju bahwa untuk melawan bentuk kekerasan atas nama agama apapun caranya dan alasannya, yang jelas dengan menggunakan kekuasaan negara untuk membubarkan Organisasi Kemasyarakatan diluar mekanisme peradilan sangatlah berbahaya dalam prinsip negara hukum dan demokrasi.

Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi secara kompherensif tehadap UU Organisasi Kemasyarakatan kedepan agar prinsip negara hukum dan demokrasi terejawantahkan dengan baik dan sejalan dengan semangat atau cita reformasi.

Dalam rangka untuk mengantispasi agar tidak ada lagi pembubaran Organisasi Kemasyarakatan secara sepihak dengan menggunakan kekuasaan jelas membahayakan demokrasi dan juga menciptakan bom waktu yang suatu saat meledak dan mengakibatkan permasalahan semakin kompleks.

Selain itu, hal lain yang tidak kala penting adalah menegaskan kembali pentingnya praktik demokrasi dalam berhukum yang demokratis, yakni menggunakan mekanisme hukum yang berjalan pada rellnya untuk memecahkan suatu permasalahan yang terjadi.

Jika tidak demikian Pemerintah akan cenderung memperlihatkan kepincangannya dengan mengarah kepada pemeritahan yang otoritarianisme gaya baru. Bagaimana stigmatisasi terjadi kepada organisasi-organisasi yang berseberangan dengan Pemerintah atau memiliki pandangan yang berbeda, juga untuk menghindari kesewenang-wenangan penguasa terhadap kelompok atau Organisasi Kemasyaraktan.

Penulis : Syahfuad Nur Rahmat, Mahasiswa Hukum Universitas Janabadra, Wakil Direktur Keorganisasian LKBHMI Cab. Yogyakarta.