OPINI  

Mengapa Capres Kalangan Militer Tidak Laku di Pilpres 2024?

Mengapa Capres Kalangan Militer Tidak Laku di Pilpres 2024?

Mengapa Capres Kalangan Militer Tidak Laku di Pilpres 2024?

Kilatnews.co Dulu, di era orba maupun di awal reformasi, topik sipil-militer begitu hangat dalam pembahasan dari kelompok diskusi mahasiswa hingga seminar dan simposium kalangan elite. Dikotomi sipil-militer dalam top leader politik (presiden) Indonesia menjadi pertaruhan jalannya roda pemerintahan, negara dan bangsa selama 5 tahun ke depan.

Saat itu, ada dua presiden yang paling terkenal yakni Ir Soekarno (sipil) dan Soeharto (militer). Keduanya selalu dibandingkan secara karakter kepemimpinan. Bung Karno lebih demokratis meski dianggap lemah atau tidak tegas. Sementara Soeharto cenderung otoriter dan militeristik. Paska era keduanya, masyarakat Indonesia berembug soal pilihan sipil-militer.

Di ranah kampus, secara tegas mahasiswa menolak gaya militeristik kembali memimpin negeri ini. 32 tahun pengalaman di bawah kepemimpinan Soeharto membuat para aktivis bersuara anti militer. Militer ketika itu menjadi momok bagi aktivis. Salah satu tuntutan reformasi pun adalah mengakhiri konsep Dwi Fungsi ABRI. Reformasi di tubuh ABRI pun terjadi.

Baca Juga: Potret Manusia dalam “Kitab Toriqoh Syekh Abdul Qodir Jailani”

TNI-Polri dipisah (tidak ada lagi ABRI). TNI kembali ke barak, bahkan di parlemen pun dihapus yang namanya utusan golongan dari fraksi ABRI. TNI-Polri harus profesional tidak boleh berpolitik. Bandingkan di era orba di mana banyak anggota ABRI aktif kemudian “dikaryakan” menjadi penjabat daerah (bupati, walikota, gubernur) melalui sistem pengangkatan di DPRD tk I atau II.

Sejak lengser nya Soeharto, maka tidak ada lagi penyokong utama TNI-Polri aktif menjadi pemimpin sipil. Paska Orba, berturut-turut orang sipil menjadi presiden (BJ Habibie, Gus Dur, Megawati), hingga sistem pemilihan diganti melalui pemilu langsung tahun 2004. SBY dari trah militer kembali berkuasa hingga dua periode (2004-2014). Kemenangan SBY cukup mengagetkan kala itu.

Selain soal dikotomi dan trauma militer di kalangan masyarakat, PDIP dengan calonnya Megawati pun dianggap masih terlalu kuat ketika itu, terlebih melawan partai baru lahir bernama “Demokrat”. Lepas seperti apa “permainan” politik yang terjadi, masyarakat sipil dianggap kalah oleh masyarakat yang rindu pemimpin militer kembali menjadi presiden. Sebuah pembelajaran.

Namun menjadi pembelajaran pula bagi penguasa ketika itu SBY yang terlambat menyiapkan kader penerusnya. Bahkan partainya sendiri, Demokrat seperti terlena. Di tahun 2014, Demokrat kalah telak tidak lagi jadi penguasa parlemen. Begitu pun tidak ada yang menjadi penerus SBY dari kalangan militer sebagai presiden. Sipil kembali menang diwakili Joko Widodo.

Baca Juga: Pengen Banjir Orderan, Gunakan Strategi Email Marketing

Joko Widodo (Jokowi) sebagai petugas partai (kader) PDIP otomatis pula mendongkrak posisi PDIP sebagai juara di parlemen, winner takes it all. Jokowi pula berhasil melalui dua periode, namun tidak ingin “kecolongan” seperti SBY. Peralihan kekuasaannya kelak benar-benar disiapkan agar dapat meneruskan semua program kebijakan di era pemerintahannya.

Pun dengan PDIP tidak mau lengah paska 2024. Mereka bertekad ingin mendapat hatrik, 3 kali berturut-turut memenangi pemilu. Lantas siapa yang akan meneruskan tongkat estafet dari Jokowi? Calon dari sipil atau militer? Dikotomi sipil-militer di tahun-tahun ini sepertinya sudah mulai hilang. Hanya saja memang belum muncul lagi sosok dari kalangan militer yang dianggap pas menjadi capres.

Capres yang kini muncul ke permukaan dikuasai kalangan sipil. Hanya satu orang dari latar belakang militer, yakni Prabowo. Itu pun, sebagian orang sudah menganggap Prabowo sebagai sipil karena sudah dipecat dari kesatuannya oleh presiden BJ Habibie, 1998. Beberapa kali Prabowo pernah maju dalam kontestasi pilpres, namun selalu gagal. Terakhir, 2 periode dikalahkan Jokowi.

Ada satu nama lain yakni Panglima TNI saat ini, Andika Perkasa, namun nama itu hanya sempat muncul di hasil survei dan wacana beberapa kelompok masyarakat saja. Andika sendiri sama sekali tidak menunjukkan diri berhasrat ikut pencapresan. Sedangkan Gatot Nurmantyo yang dulu getol dipromosikan oleh KAMI sebagai capres, justru kini tidak terdengar lagi jejaknya. Kemanakah?

Jokowi sepertinya berhasil menekan TNI-Polri menjadi profesional atau tidak berpikir soal politik. “TNI-Polri memang tidak berpolitik tapi harus mengerti politik, konstelasi dan arahnya ke mana harus tahu,” ujar Jokowi saat memberi pengarahan kepada Kapolda dan Kapolres seluruh Indonesia beberapa waktu lalu. Jikapun ada TNI-Polri aktif ingin nyapres, mungkin harus izin dan mendapat restu dulu dari Jokowi.

Penulis: Agung WibawantoEditor: Redaksi