Laura Kovesi, Putri Keadilan Romania dan Putri Suap Indonesia
Oleh: Arif Budiman.
SEJARAH panjang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di indonesia, perjalannya sarat melibatkan pejabat negara. Perkembangan korupsi pun sudah sangat sistemik. Parahnya lagi, pejabat negara yang memiliki sifat dan kecenderungan korupsi, menganggap perilaku terkutuk ini sebagai suatu kelaziman.
Memang demikian, pejabat negara yang bernafsu besar menjadi kaya dalam sekejap, maka korupsi menjadi satu-satunya jalan pintas untuk menjadi konglemerat kelas atas.
Pemahaman korupsi sebagai suatu perilaku yang lazim, tentunya bukan fenomena baru. Sejak zaman kuno, pemahaman demikian seperti suap, uang pelicin dan/atau gratifikasi, sudah dianggap perilaku timbal balik, atau, Resiprositas.
Justru menjadi suatu keanehan, kalau pejabat yang diberi hadiah tersebut menolak hadiah dari orang yang memberi. Norma ini pun sampai sekarang masih mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat kita, sebagai sebuah norma, kultur dan budaya agar terciptanya keteraturan hidup bersama.
Baca juga:
Amanah Adalah Solusi Atasi Korupsi
B. Herry Priyono, 2018, dalam bukunya berjudul, “KORUPSI, Melacak Arti, Menyimak Implikasi”. Menyitir pendapat Marcel Mauss, dalam studi masyhurnya Essai sur le don (The Gift), 1925. Dikatakannya bahwa Hadiah adalah mekanisme kesalingan yang membentuk siklus abadi pertukaran, dan kinerja siklus hadiah inilah yang memungkinkan tatanan masyarakat itu sendiri.
Dikisahkannya pula, sekitar 1500 SM yang menyangkut Kushshiharbe, wali kota Nuzi, Mesopotamia, dan Peskilisu pembantunya. Kasus tersebut terkait dengan seorang warga bernama Hinzurima, ketika itu ia sedang berpekara dengan seorang bernama kariru.
Pada saat di pengadilan Hinzurima mengatakan kalau ia telah memberi hadiah berupa satu domba, semangkuk perunggu, dua almari, dan enam keeping perak murni kepada Peskilisu agar wali kota Kushshiharbe dapat membantu perkaranya. Baik Pekilisu, pun wali kota karena tidak memberi timbal balik setelah menerimah hadiah, lalu mereka dinyatakan bersalah.
Fenomena klasik ini, menjadi potret sempurna, dimana pejabat negara masih menganggap korupsi, misalnya, suap suatu perkara biasa. Sama biasanya, ketika Jaksa Pinangki menerima suap dari Joko Tjandra, koruptor kelas lodan, bukan lagi kelas kakap. Dan sama biasanya pula uang korupsi yang dirampas untuk negara, kerap menjadi misteri. Salah satunya, uang sebesar Rp. 546 Miliar, dirampas untuk negara, yang dititipkan ke rekening escrow di bank swasta, yakni Bank Permata.
Sampai sekarang uang itu tidak jelas kemana juntrungnya. Apakah sudah di eksekusi atau belum? Fakta ini masih menjadi misteri?
Fenomena ini terang saja membuat spekulasi publik begitu sangat liar. Publik kemudian mencoba melakukan analisis sederhana untuk mengkaitkan antara kejadian terbakarnya gedung utama Kejaksaan Agung RI, dengan penghilangan berkas perkara, dimana perkara itu berkaitan dengan uang Rp. 546 Miliar ?
Baca Juga:
Korupsi Politik dan Diktatorian Demokrasi
Putri Keadilan dari Romania
Laura Codruta Kovesi, jelas jauh berbeda dengan Jaksa Pinangki, ibarat langit dan bumi.
Laudra Kovesi, seorang perempuan hebat, ia pernah menjabat sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Direktorat Nasional Anti Korupsi (DNA), Romania, sejak 2013. Namun, karirnya berakhir karena Presiden Romania, Klaus Werner Lohannes ketika itu memecat Laura pada 9 Juni 2018. Pemecatan Laura Kovesi disinyalir karena pada tahun 2018, DNA memenangkan kasus melawan politisi dari PDS. Ketika itu politisi yang sedang berkuasa-kuasanya di Romania.
Jika dicermati, pemecatan Laura Kovesi cenderung politis. Sebab, pemecatan tersebut merupakan permintaan dari Mahkamah Konstitusi (MK), Romania. Sedangkan MK, ketika itu dikendalikan oleh partai politik beraliran kiri tengah, yaitu Partidul Social Democrat (PSD).
Tak ayal, masyarakat Romania, menjuluki Laura Kovesi sebagai ‘Putri Keadilan’. Bagi para politisi korup Romania, Laura Kovesi menjadi pintu penghalang, bahkan mimpi buruk bagi mereka. Pasalnya, pada tahun 2013, penuntut yang gigih itu telah berhasil membawa lebih dari seribu pejabat, pebisnis, dan politisi, termasuk sembilan menteri (Baca : ‘Miss Justice’, The Economist, 21 Juli 2018).
Pertanyaannya, bagaimana kondisi di indoensia, apakah sudah melakukan hal yang sama seperti Laura Kovesi, menyeret setiap orang yang melakukan suatu perbuatan pidana, termasuk pidana korupsi ?
Apabila dicermati dengan saksama dan pemikiran yang jernih. Fenomena Jaksa Pinangki, menjadi potret sempurna dimana Kejaksaan RI, jauh berbeda dengan DNA di Romania, hampir seratus derajat.
Kalau DNA Romania, ada sosok Laura Kovesi, seorang Penuntut Umum yang berani menyeret koruptor kepenjara, dan dijuluki Putri Keadilan. Sedangkan oknum Jaksa di Indonesia, malah sebaliknya, yakni menjadi bagian dari perilaku tercela tersebut dengan menerima suap dan membantu koruptor agar jalannya mulus dalam berperkara.
Menurut hasil penyidikan, uang suap yang dijanjikan oleh Joko Tjandra, sebesar US$ 500 ribu. Ya.. setara Rp 7,3 miliar. Suap kepada Pinangki ini bertujuan untuk memuluskan langkah sang Joker, dalam mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA).
Oleh karena itu, masyarakat mendesak agar jaksa yang membantu Joko Tjandra, bukan saja dipecat, melainkan segera diproses secara pidana. Pun masyarakat berharap besar agar kasus ini dikembangkan lebih jauh lagi. Bisa jadi kasus ini, melibatkan orang-orang besar lainnya.
Pada gilirannya, asumsi liar masyarakat dengan sendirinya dapat teredam. Selain itu, kasus Jaksa Pinangki ini dapat dijadikan momentum bersih-bersih bagi institusi kejaksaan, dari oknum-oknum jaksa yang rakus dan tamak.
Arif Budiman. Penulis adalah Peneliti dan Pemerhati Hukum