Kilatnews.co – L.B. Moerdani atau yang lebih dikenal sebagai Beny Moerdani, lahir pada 2 Oktober 1932 dan meninggal 29 Agustus 2004. Kisah Beny Moerdani saat masih berusia belasan tahun juga terbilang heroik. Selain itu, Beny Moerdani menjadi salah satu jenderal kesayangan mantan Presiden Soeharto.
Melansir serdadu.id, beliau adalah salah satu tokoh militer Indonesia paling berpengaruh di era Orde Baru. Sebagian besar karier militernya dihasbiskan di dunia intelijen, sehingga sosok dari Beny Moerdani dianggap misterius. Beny lahir di daerah Cepu Blora Jawa Tengah dari pasangan R.G. Moerdani Sosrodirjo dan Ibu Eurasia Jeanne Roech. Ayahnya seorang pekerja kereta api dan ibunya merupakan seorang Indo yang memiliki darah setengah Jerman.
Beny anak ke-3 dari 11 bersaudara. Keluarga Beny sendiri dikenal sangat toleran. Meskipun seorang muslim ayahnya Moerdani Sosrodirjo menoleransi istrinya dan anak-anaknya memilih cara beragama lain.
Beny merupakan salah satu perwira TNI yang ikut terjun langsung dalam operasi militer penanganan pembajakan pesawat Garuda Indonesia 206 di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand pada 28 Maret 1981. Peristiwa itu dicatat sebagai pembajakan pesawat pertama dalam sejarah maskapai penerbangan Republik Indonesia dan terorisme bermotif jihad pertama di Indonesia.
Selain dikenal sebagai Panglima ABRI, kisah Beny Moerdani yakni pernah berkiprah di dunia politik dengan jabatan Menteri Pertahanan dan Keamanan dan juga Pangkopkamtib. Sebagai seorang prajurit tangguh, Beny sejak kecil sudah terdidik angkat senjata berjuang di dunia militer.
Baru setelah era proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Beny yang kala itu berusia 13 tahun turut serta dalam serangan terhadap Markas Kempetai Jepang di Solo. Kala itu pada bulan Oktober 1945, Kempetai menolak menyerah kendati Jepang sudah bertekuk lutut kepada Sekutu. Berikut Kisah Beny Moerdani Muda dalam perang Solo.
Kisah Beny Moerdani Muda Pingsan Dipopor dalam Perang Solo
Moerdijo Djoengkoeng sudah bersiap melakukan penghadangan, sesuai instruksi komandan Slamet Riyadi jika Belanda masuk Solo. Perkiraan awal tentara Belanda masuk melalui jalan utama, dengan begitu ia memusatkan pasukan Tentara Pelajar yang ia pimpin menunggu di kampung Baron.
Namun tiba-tiba dari arah selatan terdengar deru kendaraan dan suara rentetan tembakan. Tanpa aba-aba, tidak menunggu lama kendaraan bren-carrier Belanda muncul secara beriring-iringan. Rupanya tentara Belanda masuk ke Solo tidak melalui jalan utama Solo-Jogja, akan tetapi melalui jalur lain. Mereka lewat Selatan yakni jalur alternatif.
Moerdijo kaget, walau tak lama ia memerintahkan anak buahnya merubah posisi mereka ke arah datangnya rombongan tentara Belanda. Belum hilang kaget Moerdijo, sebuah jeep tentara Belanda muncul dari arah utara. Ternyata mereka dikepung.
“Wah musuh menyerang dari dua arah” batin Moerdijo. Bersama anak buahnya, Moerdijo yang sedang disergap secara serentak dari dua sisi tetap melakukan perlawanan sengit.
Dilain tempat, pasukan Tentara Pelajar dari Solo tersebut saat itu tidak sadar, bahwa dari Kartasura menuju Solo terdapat dua jalan sejajar, yakni Jalan raya baru dari simpang tiga Kartasoera langsung ke tengah kota lewat Stasiun Kereta Api Poerwosari. Yang kedua, setengah kilo meter menuju Selatan, ada sebuah jalan lama yang berawal dari depan bekas Keraton Kartasura lurus menuju ke Keraton Surakarta.
Faktanya tentara Belanda menyerbu Solo tidak melalui jalan utama, namun malah memanfaatkan jalan lama seperti ketika mereka menyerbu Jogja. Dengan demikian Belanda langsung bisa mendobrak sekaligus menggunting garis pertahanan pasukan Republik di Solo.
Moerdijo Djoengkoeng segera melompat keluar dari selokan, sambil memerintahkan anak buahnya lari mundur. Saat berlari mundur itu ia melihat seorang anak buahnya yang masih bocah kira-kira umur 14 atau 15 tahun. Ia terlihat clingukan, mungkin tidak sadar bahwa musuh sedang menyergap dari dua arah.
Moerdijo segera teriak, “Ben….Ben, mundur!, mlayuo ngetan!” sambil sesekali merunduk menghindari tembakan gencar musuh. Anak muda yang clingukan tadi menengok komandannya lalu ikut melompat keluar dari selokan dan ikut lari sambil merunduk.
Pasukan Tentara Pelajar itu mundur sampai daerah Banjarsari. Mereka terus lari sambil membalas tembakan sampai peluru habis. Tapi tentara Belanda terus mengejar mereka sampai dipinggir sungai bengawan Solo.
Sore hari rombongan Tentara Pelajar Solo sampai di kampung Sekarpace, mereka beristirahat sambil berbaring di pinggir tanggul Bengawan. Saat menunggu datangnya rakit untuk dipakai menyeberang, mendadak muncul sebuah bren-carrier di atas tanggul, yang langsung memuntahkan peluru senapan mesinnya pada pasukan Republik.
Kisah Beny Moerdani menunduk sembari merayap mencari tempat berlindung, tanpa di duga popor senjata yang ia pegang pecah tersambar peluru. Beny pemuda yang baru berusia 14 tahun itu melepas senjata nya karena kaget. Mukanya berdarah karena terkena serpihan kayu popor senjata nya sendiri lalu ia ambruk, pingsan.
Pemuda itu sempat dibopong kawan-kawannya menyebrang dan di rawat beberapa hari di Bekonang. Kelak pemuda itu menjadi Panglima ABRI dan orang mengenalnya sebagai Beny Moerdani. Itulah pengalaman tempur pertama seorang Beny Moerdani.
Itulah Kisah Beny Moerdani Muda Pingsan Dipopor dalam Perang Solo. Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan wawasan sejarah tokoh militer Indonesia.
Artikel ini disalin dari Serdadu.ID dengan Judul Histori: Beny Moerdani Muda Pingsan Diterjang Serpihan Popor Pecah.